Saya Bertindak, Maka Saya Ada

Pengetahuan yang berwujud tindakan jauh lebih bermakna daripada hanya sekedar pemahaman atau teori saja. Pemahaman sebelum bertindak jelas sangat penting, namun tidak sedikit pemahaman yang didapat justru setelah kita melakukan tindakan. Jika kita mengamalkan apa yang kita ketahui, menurut Nabi, niscaya Allah akan mewariskan kita hal-hal yang kita tidak ketahui. Konon, kepada santri-santrinya K.H Ahmad Dahlan mengulang-ulang tafsir Surah Al-Ma’un. Sang pendiri Muhammadiyahh itu bertanya, “Apakah kalian sudah mengerti isi Surah Al-Ma’un?”

“Sudah, jawab santri-santrinya.

“Apakah kalian sudah mengamalkannya?”

“Belum.”

“Berarti kalian belum mengerti. Mengerti berarti mengamalkannya.”

Percakapan beliau dengan santri-santrinya itu bisa diambil pelajaran, bahwa sangat penting mengamalkan ilmu yang sudah kita ketahui. Agama sebagai pengalaman menjadi kategori yang lebih penting daripada agama sebagai rumusan atau pemahaman. Seseorang tidak cukup memikirkan atau merasakan agamannya, melainkan harus hidup di dalam agamanya sebisa mungkin. Jika tidak, agama baginya tidak lebih dari sekedar fantasi atau kekosongan spiritual. Sebab, ujung dari suatu keyakinan adalah tindakan; tanpa tindakan berarti kita tidak yakin. Sebagai contoh, misal kita percaya adanya Allah, namun kita masih enggan untuk menyembah-Nya, masih enngan untuk patuh dan tunduk terhadap-Nya, itu sama saja kita bohong atas keyakinan kita sendiri. Begitu juga apabila kita menyukai seseorang, pasti kita melakukan suatu tindakan agar mendapatkan apa yang kita cintai. Itulah kehidupan, semua butuh tindakan untuk melakukan suatu perubahan.

Secanggih apa pun sebuah teori, ia tetap tidak bisa menggantikan proses pengalaman. Karena pengalaman. Tidak semua yang bisa dipelajari dapat diajarkan. Bahkan untuk pemahaman-pemahaman terpenting, pada umumnya kita harus menemukannya sendiri. Karena itu, lebih mudah mendapatkan inspirasi ketika kita bekerja menjalankan gagasan daripada ketika berdiam diri. Kita yang hanya duduk-duduk saja, melamun, dan tidak mengerjakan apa pun, hanya berteori dan berteriak, benar-benar tidak akan menghasilkan apa pun yang berguna, selain sifat pemalas dan penghujat. Sebab, tidak sedikit kata-kata yang kita baca di buku pada hakikatnya hanya lambang-lambang tanpa arti. Misal, kata “miskin” belum tentu berarti apa-apa, jika kita tidak mengetahui makna dari kata itu. Jika kita ingin mengetahuinya, maka hiduplah bersama mereka yang hidup di kolong jembatan. Lihatlah mereka, betapa susah hidupnya. Sembari melihat, kita hayati kehidupannya.

Tindakan adalah langkah terakhir dan penentu dalam seluruh proses pembelajaran. Keberadaan seseorang akan dinilai dari baik buruknya tindakan dan perilakunya. “Menjadi baik itu mudah dengan hanya diam, maka yang tampak adalah kebaikan. Yang sulit adalah menjadi bermanfaat karena itu butuh perjuangan”, dawuh KH Sahal Mahfudz. Kita tak akan pernah dianggap ada, apabila terus berdiam diri, tanpa melakukan suatu tindakan atau gerakan perubahan di masyarakat. Gerakan untuk menuju perubahan memang tidak semulus yang kita bayangkan. Pasti ada halangan dan rintangan yang menghadang, bahkan peluang kegagalannya pun sangat mungkin terjadi. Namun, berani mencoba lebih baik daripada hanya berteori belaka. Maka, kita tidak perlu mencemaskan jika ada orang yang berusaha lalu gagal. Sebaliknya, kita harus cemas pada orang yang tidak mau berusaha. Jelas lebih baik mencoba lalu gagal daripada terus-menerus dilanda kebingungan, keraguan, ketakutan, dan kecemasan. “Kebenaran lebih mudah datang dari kesalahan daipada dari kebingungan”, kata Francis Bacon.

Oleh: Nur Koles, Mahasantri Ponpes Darul Falah Be-Songo Semarang, Aktivis PKPT IPNU IPPNU UIN Walisongo dan PC IPNU Kota Semarang, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *