Tidak terasa organisasi yang melahirkan banyak intelektual muslim ini sudah mencapai usia 73 tahun. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai organisasi kaum akademis yang berideologi dan bernafaskan Islam ini, telah melalui lika-liku perjuangan hingga mampu bertahan sampai saat ini. Tanpa dedikasi dan peran aktif dari para kader, tidak mungkin organisasi mahasiswa ini dapat bertahan.
Melihat realita generasi muda di era milenial, berbagai masalah bermunculan, mulai dari hasil pendidikan yang tidak sesuai harapan, kualitas pribadi yang menyangkut moral dan spiritual, hingga masalah-masalah yang hampir saja membunuh masa depan generasi milenial seperti narkoba, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan Himpunan Mahasiswa Islam, sebagai organisasi mahasiswa tertua yang selalu eksis menyuarakan aspirasi dan mengkritik kinerja pemerintah sekaligus sebagai kaum akademis yang mempunyai semangat juang, kini tampaknya telah hilang kendali. Tatanan kehidupan HMI yang kaya akan marwah ke-Islaman perlahan-lahan dirasakan mulai memudar.
HMI yang selalu tampil di panggung demokrasi, dewasa ini tidak lagi terlihat galak gelagatnya, sebagaimana era reformasi dan sebelumnya. Sebagian kader HMI seperti terserang virus amnesia. Mereka lupa. Ya, mereka seakan tidak ingat akan peran dan khittah-nya sebagai kader HMI yang digadang-gadangkan menjadi penerus bangsa yang tangguh dan progresif. Kemajuan teknologi yang semakin canggih terus menggerus mereka hingga benar-benar menjadi butiran debu yang berhamburan dan hilang diterpa angin politik di negeri ini.
Sebagian kader yang sudah berproses panjang di dunia himpunan yang seharusnya menjadi penengah permasalahan demokrasi yang kian dirasa cukup memanas ini. Akan tetapi, mereka masih sibuk mencari eksistensi diri di hadapan para juniornya. Kesadaran terhadap peran sebagai uswatun hasanah bagi para kader mungkin tidak lagi menjadi nilai penting. Rusak, mungkin itulah kata terburuk yang bisa menggambarkan kondisi organisasi kita tercinta. Tidak bisa dipungkiri, kegelisahan para senior terhadap isu HMI sangatlah tinggi. Khawatir himpunan yang mereka pertahankan ini akan lenyap dengan sendirinya dikala kalang kabut menyelimuti negeri demokrasi, maka berbagai strategi mereka keluarkan untuk menjawab permasalahan yang ada.
Lantas kapankah semua hal tersebut akan berakhir? Kesadaranlah yang diperlukan saat ini. Kesadaran untuk kembali kepada khittah dan fungsi HMI sebagai garda depan pembangunan di negeri yang di anggap penuh dengan manipulasi. Namun, tanpa pemantik yang disodorkan kepada para kader, kesadaran tidak mungkin muncul begitu saja. Dan oportunisme mulai merambat dan menjalar ke arah pola pikir para kader yang kemungkinan menyebabkan himpunan semakin menduduki keadaan yang mengkhawatirkan.
Sebenarnya kesadaran itu muncul dari niat yang harus ada pengimplemantasian dan manifestasinya terhadap badan sendiri. Sebernarnya, para kader pun juga merasa bahwa yang mereka lakukan saat ini bukan ciri kader HMI. Namun, mayoritas kader HMI dirasa belum mampu merumuskan gagasan untuk diaplikasikan ke dalam kegelisahan-kegelisahan yang muncul di hiruk pikuk zaman milenial ini. Selain itu, gagasan yang sudah ditawarkan untuk mengatasi masalah yang muncul mungkin tidak diaplikasikan dengan baik oleh para kader, sehingga belenggu masih mengikat terhambatnya kemajuan himpunan.
Berbagai kajian berulang kali dilakukan, dan kajian tersebut juga tidak hanya fokus pada satu pembahasan saja. Kajian untuk meningkatkan marwah ke-Islaman dan meningkatkan kualitas intelektualpun menjadi prioritas dalam setiap kajian yang diselenggarakan. Tidak jarang sebagian kader ikut kajian karena terpaksa dan disuruh oleh seniornya.
Dalam menanggapi berbagai permasalahan di atas, sebenarnya masalahnya berporos pada ke-Islaman. Keislaman inilah yang menjadi tonggak adanya semua perubahan dan paradigma mengenai maju mundurnya sebuah organisasi. Ke-Islaman yang dimaksud bukan hanya melaksanakan rukun Islam dan rukun iman. Akan tetapi, ke-Islaman dalam hal ini mencakup segala aspek dalam kehidupan, hablun min Allah wa hablun min an-nas.
Menyandarkan segala aspek kehidupan mengikuti pedoman yang ada sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits itulah yang seharusnya dilakukan. Dalam jenjang training idealis ke-Islaman selalu digaungkan, tetapi practice-nya tidak sesuai dengan apa yang telah digaungkan. Hal ini menjadi masalah yang memungkinkan seseorang berlaku layaknya seorang dhalim, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Sebenarnya nilai ke-Islaman itu akan bisa berjalan dengan semestinya apabila seseorang memaknai segala hal tersebut merupakan ketetapan Allah dan seseorang harus berjuang mendapatkan hal tersebut dengan upaya amar ma’ruf nahi munkar. Fastabiq al khairaat menjadi sebuah slogan yang dianggap basi dan tidak memiliki pengaruh apapun karena selalu digaungkan.
Tidak hanya itu, forum muhasabah yang sering dilakukan membuat seseorang semakin yakin bahwa apa yang Ia lakukan harus karena Allah semata. Sebab, tujuan utama diciptakan manusia itu hanya untuk menyembah Allah. Beramal shalih sebagai wujud keimanan seseorang harus dibarengi niat tulus semata-mata apa yang kita lakukan di dunia ini hanya untuk Allah.
Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas yang positif dan berkumpul bersama orang-orang shalih akan membuka pikiran dan hati seseorang yang tertutup oleh nafsu duniawi. Maka, dalam hal ini lingkungan juga mempunyai andil besar dalam meningkatkan kualitas ke-Islaman kader. Karena di situlah seseorang saling berinteraksi. Membentengi diri dan selalu meningkatkan keimanan dengan cara memperbaiki hubungan kepada Allah membuat seseorang tidak mudah terpengaruh dengan berbagai hal yang membuat jauh dari marwah ke-Islaman.
Setelah masalah ke-Islaman tuntas, semua hal akan berjalan lancar dengan sendirinya apabila ia paham betul apa yang ada dalam al-Qur’an dan Hadist. Semua hal telah dituliskan di dalamnya termasuk ilmu pegetahuan. Semua ilmu dan cara pengaplikasiannya serta berbagai madharat tentang keilmuan tersebut sudah ditulis dan juga dipaparkan dalam kitab umat Islam tersebut.
Begitu pula kualitas intelektual yang harus dimiliki oleh kader HMI. Organisasi yang dipandang orang memiliki kualitas intelektual sangat baik ini harus terus ditingkatkan. Dengan kemampuan mengkritisi berbagai permasalahan dan peka terhadap kondisi sosial masyarakat, harus terus dilakukan karena organisasi ini sebagai pengawal kemajuan sebuah negara.
Oleh karena itu, kualitas kader harus sangat diperhatikan. Kesadaran akan fungsi dan peran sebagai agent of change, agent social control dan iron stock harus lebih dipupuk lagi. Pembimbingan dan penggemblengan kader yang dilakukan secara konsisten dengan berbagai inovasi perlu dilakukan. Bukan hanya pandai loby-loby-an dengan pemmerintah, namun, out put nya tidak ada.
Berpikir kritis dan objektif disertai dengan argumen yang kuat menjadi ciri khas kader HMI dalam mengutarakan pendapat. Al-Qur’an, al-Hadist dan berbagai buku bacaan harus menjadi pendukung setiap perkataannya. Budaya literasi yang hampir punah harus segera diselamatkan. Karena literasi merupakan paru-paru dari sebuah organisasi ini.
Muslim berintelektual tinggi dan berwawasan luas harus tergambar dari kader-kader HMI. Hal ini sangat ditekankan, karena HMI berada dalam peredaran zaman yang selalu mengalami siklus perubahan. Kaum muslim intelektual profesional dan berbudi moral sangat dibutuhkan bumi pertiwi.
HMI harus mengadakan evaluasi secara besar-besaran untuk membenahi kondisi yang ada. Hal yang dapat dilakukan diantaranya: pertama, mengevaluasi training Latihan Kader I. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian training tersebut. Memgingat target LK I adalah memiliki kesadaran untuk menjalankan ajaran agama Islam, mampu meningkatkan kualitas akademis serta faham akan perannya dalam berorganisasi.
Kedua, hal yang perlu dilakukan adalah pelatihan untuk meningkatkatkan kualitas intelektualitas yang lebih masif lagi. Banyak membaca dan menanggapi berbagai masalah yang didapatkan dari buku, koran, maupun internet. Selain itu, menjadi seseorang yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar juga dapat mengasah kemampuan intelektualitas.
Solusi terakhir yang Penulis tawarkan adalah menghidupkan kembali kebiasaan membaca dan menulis sebagai ciri khas kader HMI. Membaca merupakan sebuah gerbang untuk memperluas cakrawala pengetahuan kita, selain itu dengan membaca kita tidak akan ketinggalan informasi yang ada di berbagai belahan dunia. Selain membaca, menulis adalah salah satu cara mengungkapkan ide dan aspirasi kepada khalayak umum setelah kita mendapatkan permasalahan yang ada. Selain itu, dengan menulis kita dapat menorehkan sejarah bahwa kita akan dikenang orang karena tulisan kita.