Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ
Perceraian bisa menimpa siapa saja, tidak pandang status, kepemilikan harta kekayaan, bahkan juga penguasaan ilmu pengetahuan. Ia bisa terjadi pada kalangan penguasa, pengusaha, profesional, artis, intelektual, pejabat, pendidik, kiai, bahkan juga penceramah dengan popularitas viral. Penyebabnya bisa bermacam ragam. Bisa saja disebabkan oleh sesuatu yang besar. Namun, tidak sedikit pula yang disebabkan oleh hal-hal yang sesungguhnya kecil atau sepele, tetapi kemudian dibesar-besarkan karena ego salah satu atau kedua belah pihak, sehingga tidak lagi bisa terdamaikan.
[blockquote footer=”Abana Mohammad Nasih”]Jika konflik sudah tidak terdamaikan, dan kebersamaan tidak lagi bisa diharapkan bisa mendatangkan kebaikan untuk kedua belah pihak, maka perceraian sudah menjadi kebutuhan. Sebab, jika kebersamaan dilanjutkan, maka salah satu pihak bisa menjadi korban dengan efek yang jauh lebih besar.[/blockquote]
Apa pun penyebabnya, perceraian memiliki potensi akibat buruk yang berat. Kemungkinan, itulah di antara yang menyebabkan perceraian, walaupun dihalalkan, disebut oleh Nabi sebagai yang paling dibenci oleh Allah. Terlebih lagi, dua orang yang sudah menjalani kehidupan bersama, sedikit atau banyak pasti memegang rahasia masing-masing. Jika terjadi perceraian, maka rahasia itu dipegang oleh orang yang “sama sekali lain”.
Di antara akibat buruk perceraian adalah:
Pertama, putusnya hubungan antara dua keluarga. Bagi sebagian orang, pernikahan adalah menyatukan dua keluarga yang sebelumnya tidak pernah saling kenal. Jika sebelumnya sudah kenal, bahkan mengeratkan hubungan. Bahkan pernikahan sering digunakan sebagai sarana untuk membangun kekuatan sosial politik, karena dua kekuatan yang tadinya terpisah kemudian menyatu.
Kedua, konflik berkepanjangan akibat pembagian harta kekayaan. Kebersamaan yang sinergis dalam suatu ikatan pernikahan bisa menghasilkan banyak hal, di antaranya akumulasi kekayaan. Pada saat suami istri hidup bersama, tentu saja hak milik tidak menjadi persoalan. Atas nama siapa pun, suami istri tidak akan mempersoalkan. Namun, jika keduanya bercerai, tentu saja masing-masing harus mengurus diri sendiri. Karena itulah, harta kekayaan yang sebelumnya tidak dipersoalkan kepemilikannya atas nama siapa, bisa menjadi objek sengketa besar.
Konflik berkepanjangan bisa memancing pihak luar memanfaatkan keadaan dengan tujuan mendapatkan keuntungan material dari salah satu atau kedua belah pihak. Yang terjadi kemudian adalah sudah jatuh, kemudian tertimpa tangga dan ada pihak lain yang bertepuk tangan. Karena itu, jika pun pernikahan menjadi pilihan terakhir, maka perlu dilakukan dengan sebaik mungkin.
Perceraian harus dijadikan sebagai jalan untuk mengakhiri konflik. Jangan sampai perpisahan menyebankan konflik baru. Jika saat masih bersama, konflik tidak bisa diselesaikan, maka pada saat tidak bersama lagi, maka akan menjadi lebih sulit lagi, karena intensitas komunikasi yang akan semakin rendah. Ditambah lagi dengan suasana kebatinan yang tidak kondusif, komunikasi akan menjadi semakin buruk.
Ketiga, memulai lagi hidup dari bawah/awal. Akibat perceraian, berbagai perencanaan yang telah dibuat dan akan dilaksanakan dengan pembagian tugas bisa mengalami kegagalan. Masing-masing pihak harus memilai dari awal. Padahal, yang paling sulit dalam melakukan segala sesuatu adalah mengawalinya. Pada tahap awal, biasanya terjadi fluktuasi, bagaikan pesawat terbang yang baru saka take off. Dan untuk menemukan lagi orang yang bisa diajak untuk hidup bersama dan bisa membangun sinergi, relatif tidak semuah saat belum menyandang status janda atau duda.
Keempat, jika perceraian terjadi setelah memiliki anak, jika tidak dilakukan manajemen yang tepat, bisa menyebabkan potensi besar proses tumbuh kembang anak terganggu. Akibat perceraian, anak menjadi berpotensi besar kehilangan kasih sayang utuh dari kedua orang tua. Sebab, terutama dalam syari’at Islam, suami istri yang telah bercerai sudah menjadi seperti sebelum menikah.
Padahal anak-anak memiliki kebutuhan dari orang tua yang seringkali harus bersamaan. Perempuan bisa memberikan kelembutan, sedangkan lelaki bisa memberikan ketegasan dan dengan itu mengajarkan kedisiplinan kepada anak. Jika keduanya tidak seimbang, maka anak akan cenderung liar atau sebaliknya menjadi tertekan.
Jika pun perceraian tidak mengakibatkan kerugian, yang pasti ia mengakibatkan sesuatu yang positif yang mestinya bisa diraih dengan kebersamaan menjadi tidak bisa diraih. Kemampuan dua orang yang bisa dikerjasamakan atau bahkan disinergikan bisa menghasilkan capaian yang berkali-kali lipat.
Agar sebuah pernikahan bisa berjalan langgeng, maka harus direncanakan secara matang dengan visi jangka panjang. Menjatuhkan pilihan kepada pasangan yang akan bersama setelah menikah perlu juga didasarkan kepada hal-hal yang merupakan nilai unggul dalam diri pasangan yang dengan itu tidak mudan untuk memutuskan untuk melakukan perceraian.
Yang harus ditekankan lagi setelah dilakukan pernikahan dan setiap kali terbersit keinginan untuk bercerai adalah dengan siapa pun berpasangan, potensi berbeda dan bahkan konflik pasti ada. Dan hidup ini jangan sampai dijalani sebagaimana mitos Sisipus yang menaikkan sebuah batu ke puncak gunung, lalu batu itu menggelundung ke bawah, lalu ia naikkan kembali ke puncak secara berulang, tanpa ada akhir. Wallahu a’lam bi al-shawab.