Embun Pagi

Burung-burung mulai bernyanyi, pertanda bahwa pagi sudah mulai meninggi. Udara fajar terbang menyebar membawa dingin menusuk tulang. Embun pun enggan untuk pergi, masih setia menyelimuti daun-daun dan rerumputan. Tiba-tiba gerimis datang membuyarkan lamunan, menyatu bersama embun, memanggil kenangan manis, tentangmu, perempuan sederhana berbibir tipis nan agamis. Sayang, gerimis datang hanya sebentar.

Kini, dari sela-sela daun jati yang sudah rimbun menghijau, cahaya orange datang menggantikan gerimis. Ia malu-malu bersinar, sebagaimana mataku yang malu kala menangkap indah wajahmu dengan berbinar-binar. Ah, gerimis atau mentari yang bersinar, semua datang membawa kenangan indah tentangmu, kekasih hati dan ragaku.

Kilau mentari yang menerpa embun di dedaunan, menghasilkan cahaya indah bagaikan permata yang gemerlapan ditimpa sorot lampu temaram. Ya, sebuah kerinduan yang lama tersimpan oleh sang mentari untuk sekedar menyapa sang embun. Karena mentari sadar, bahwa hadirnya hanya akan membuat sang embun menguap dan kemudian pergi menghilang.

Begitupun aku kini. Tak mungkin menampakkan diri untuk mendekatimu, apalagi mendekapmu. Karena sifat pemalumu, hadirku hanya akan melenyapkan wajahmu dari hadapku. Aku tahu, bahwa embun tak pernah membenci sinar mentari. Begitupun kamu yang sebenarnya menyayangi lelaki bertubuh kurus ini. Hanya soal waktu yang memang dengan mudah berlalu. Aku dan kamu, belum saatnya bertemu. Biarlah kita seperti embun dan sang mentari, saling menyapa dari balik daun kerinduan yang pilu.

Maka, aku menitip salam;

“Pada kabut pagi yang membungkus segenap cumbu mesra kita di hadap-Nya, aku mengucap selamat datang, Cinta.

Pada embun pagi yang menyelimuti segenap bunga yang mekar di hati kita, aku mengucap jangan bergegas menghilang, Sayang.

Pada sinar mentari yang menyalami segenap rasa yang mengendap di batin kita, aku mengucap tetaplah tinggal, Puan.

Masih ingatkah kamu tentang segelas air hangat yang kau hidangkan kala mataku terbuka?

Masih ingatkah kamu tentang selembar selimut yang kau hamparkan kala mataku terpejam?

Semuanya, tak sehangat dekapan dan pelukanmu, Puan.

Sungguh, kini aku tengah merindu tentang Sesederhana Pagi  di tangah Pagi Menyapa Jarak yang menghampiri. Aku ingin mendekapmu, tetapi tanganku tak mampu meringkas jarak. Aku ingin melihat embun wudlu di wajahmu, tetapi pandangku tak sejauh sorot mentari menembus kerak.

Apalah dayaku kini, tahajud dan dluhaku tanpamu bagaikan mobil berjalan dengan sopir tak berpenumpang.

Apalah hargaku kini, do’aku tanpa aamiinmu bagaikan pelari dengan medali emas berjalan sempoyongan.

Aku tanpamu? “Ah”.”

 

Planet NUFO, 30 Desember 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *