Matahari di titik pusat bumi, tepat pada pukul 12.00 siang, aku mendengar teriakan yang sedang memanggil namaku, diriku sangat hafal itu teriakan dari perempuan paruh baya, yaitu Ibuku. Namun diri ini tak kunjung mendatangi ataupun melangkahkan kaki untuk menuju sumber suara tersebut. Tangan perempuan paruh baya itu menapak dengan halus dan menjalar ke pundakku dengan penampilan yang kusut tanpa megeluarkan emosi yang sudah kubuat. Perempuan paruh baya itu adalah seorang Ibu yang tak pernah lelah dalam menunjukkan arah jalan yang benar walau berkali-kali menatap wajahku yang mengesalkan dan membosankan ini.
Pagi datang disertai jeritan yang mengglegar, tak ada bosan dirimu untuk pandu diriku. Tak ada henti sholat malam untukku darimu, kau mengucap beribu kata dalam sepertiga malam di saat dunia sedang cantik-cantiknya. Ibu adalah pahlawan di setiap langkah dari setiap detikku, tak kenal lelah dirimu dalam memberikan segalanya untukku, demi masa depan yang tak pernah kubayangkan namun semua itu telah kau rencanakan tanpa ada keterpaksaan. Aku tahu, semua itu kau lakukan memang demi diriku yang tak pernah mau membantu melancarkan segala progam yang kau rancang untukku.
Pagi datang dan menyambut hari pertamaku untuk mendaftar sekolah SD yang membutuhkan perjalanan lama dikarenakan sekolahku memiliki jarak tidak dekat dari desaku. Tak kenal letih, walau keringat menjadi air mandimu saat itu, dirimu melindungiku di tengah badai yang mengobat-abitkan segala keadaan. Kau kaitkan kedua tanganmu di belakang punggungku untuk mendekapku di tengah badai itu tanpa memikirkan tentang keselamatanmu hanya demi melindungiku. Kau rela hujan menguyur tubuhmu, namun engkau tetap saja mendekap erat diriku, kau abaikan kesehatanmu hanya demi untuk menjaga diriku.
Hari berganti dan semua telah berlalu dengan semestinya, diriku yang kini telah beranjak dewasa. Sudah 6 tahun aku lalui masa SD, tanpa kusadari diriku sudah menginjak masa tawanan perang, yaitu masa SMP. Masa ini selalu membutuhkan arahan yang ekstra dari orangtua, karena memang masa remaja itu masa godaan yang tidak semua dapat mengendalikan nafsunya. Diriku saat ini sangat membutuhkan perhatian yang khusus dari orang tua, agar kudapat mencapai target yang saat ini sedang aku rancang. Yang ku lakukan saat ini adalah mencoba mengejar target yang sudah ku rencanakan sejak awal aku mempunyai keinginan yang harus kucapai. Diriku sangat ingin menjadi seorang musisi dan juga dokter, agar dapat menolong orang yang tidak mampu untuk membayar biaya rumah sakit, namun ibuku selalu mengatakan, “kelak kamu harus menjadi hafidzoh mutqin”, itulah yang sangat diinginkan ibuku dari anak-anaknya.
Semua ini akan berlalu dengan waktu yang tidak akan dapat terkira, aku tidak bisa membayangkan betapa besar pengorbanan seseoraang yang telah ku repotkan selama ini. Aku hanya bisa berdoa dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai semua itu. Berjalan dengan pandangan lurus kedepan dan hanya mempunyai tujuan positif. Sedikit demi sedikit diriku akan mencoba untuk memparbaiki satu-persatu, dari segala kesalahan dan melengkapi segala kekurangan.
Namun semua itu gagal kujalankan sendiri, aku belum sanggup untuk menyelesaikan semua itu dalam waktu yang singkat. Setiap langkah perjalananku, pasti ada perjuangan tersendiri dari seorang ibu yang tidak dapatku jelaskan pada tulisan ini. Aku sadar bahwa diriku sangat membutuhkan sosok seperti ibu, yang selalu menjadi cahaya di setiap kabut hitam tebal yang kala menggangguku. Ku akui sosok terhebat di dalam sejarah hidupku adalah sosok seorang ibu yang tangguh bagi anak anaknya. Masih kuingat saat bulan purnama berada di tengah titik bumi serta ditemani berjuta-juta gemerlap bintang yang menyorot lensa mataku. Saat itulah engkau menggerang kesakitan, menjerit dan menangis adalah hal yang saat itu kau lakukan untuk membubuhkan secangkir cahaya untukku. Saat itulah aku terlahir ke muka bumi ini dari gelapnya lapisan yang telah menjadi tempat singgahku selama 9 bulan lamanya. Aku tidak akan melupakan tumpangan yang kau berikan padaku selama waktu tersebut, dan juga pengorbananmu dalam merawat dan mendidik diriku sampai sebesar ini.
Kau memang sosok yang tangguh, bijaksana, dan pemberani dalam mengambil keputusan yang bernilai sakral maupun tidak. Kau selalu membantu diriku dalam melakukan apapun itu, mau sesulit apa itu tantangan yang kau hadapi, tidak ada kata mengeluh bagimu. Kau relakan malammu tersita hanya untuk diriku yang menjerit serta menangis di sunyinya malam gulita. Kau selalu memberi yang terbaik untuk diriku, walau akan menyita kebahagianmu, kau juga orang yang pertama kali melihat aku bernafas dengan bebas di dunia.
Kau pahlawan bagiku dan juga keluargamu. Sebab, engkau adalah sosok yang mempunyai peran banyak didalam keluarga. Kau adalah guru pertama yang mengajariku membaca, mengenal benda dan kau adalah tempat singgah ternyaman serta teraman. Kau juga seorang dokter yang memberikan pertolongan pertama untukku dan juga keluargamu. Menjadi hakim dalam keluarga, hakim yang bijaksana dalam mengambil keputusan dalam kondisi apapun itu (mendesak maupun tidak).
Namun apa yang ku beri untukmu? Aku hanya bisa membantah perkataanmu, mencaci dan tidak sadar diri siapa aku ini jika tidak ada engkau ibu. Kedewasaan yang salah dipergunakan, dalam kehidupan para remaja sepertiku, menjadi pemalas dan susah diatur jika hatinya sudah mengeras. AKu adalah anak yang tidak tau malu, atas apa yang kuperbuat untuk membalas semua pengorbananmu saat ini. Engkau selalu sabar menghadapi sikapku dan tidak ada bosan dalam menasehati anak sepertiku.
Kau tidak pernah berhenti berdoa demi diriku dan juga keluarga, bibirmu selalu mengeluarkan kata permohonan dan keselamatan keluargamu kepada Tuhan. Setiap malam ku rasakan sentuhan lembut tangan dan mendengar bisikan yang mengentropeksi diri yang banyak salah ini. Kau selalu memaafkan diriku, ketika aku melakukan kesalahan yang fatal, Kau selalu menasehatiku tak henti-henti membuatku sadar dari kesalahanku. Kau selalu memberi solusi dalam keterpurukanku.
{^ – ^} {^ – ^} {^ – ^}
Kau selalu mengatakan ini padaku
Ibu: (Kakak kelak saat harus bisa menjadi perempuan yang bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan, menjadi perempuan yang shalihah, menjadi perempuan yang tangguh dalam menghadapi segala rintangan yang akan datang di masa tua Kakak. Jadilah anak yang berpendidikan, memiliki prestasi yang unggul serta menjadi hafidhah mutqin 30 juz serta menjadi orang yang kaya raya dan juga dermawan). Ibu selalu menasihati anak-anaknya terutama diriku sebagai anak pertama.
Pagi datang bawa matahari, tersorot mataku yang kini sedang terpejam dan terhanyut dalam mimpi indahku. Ibu mengusap lembut jidadku lalu berkata ”kakak ayo bangun sudah pagi, kakak belum sholat, mandi dan makan terus segera bangunya! ibu buatkan sarapan dulu, kakak segera siap-siap”. Itulah cara ibu untuk membangunku, tidak pernah ibu membangunkan dengan cara membentak, pasti ibu menggunakan kata kata yang manis agar kuterbanngun dengan ceria. Namun aku tetap saja melanjutkan mimpi indahku dan ibu mengulang untuk mebangunkanku dengan cara yang sama.
Kesokan harinya ibuku mengajakku kesebuah tempat yang cocok untuk mengatakan sesuatu.
Ibu: (Kakak kan sudah besar, ibu pengen Kakak melanjutkan perjuangan Kakak dalam menuntut ilmu berada di pesaantren. Ibu ingin Kakak menjadi anak yang hafal Al-Qur’an dan memberi mahkota yang Kakak peroleh dari Allah atas perjuangan Kakak menghafalkan Al-Qur’an, jika Kakak memperolehnya Kakak pakaikan mahkota itu di atas kepala Ibu dan Bapak. Pasti Ibu dan Bapak sangat bangga jika Kakak hafal 30 juz mutqin, Kakak juga akan mendapatkan teman-teman yang baik dan Kakak berada dalam lingkungan yang aman dalam menjaga pergaulan).
Diriku: (Ibu, tapi Kakak takut bertemu teman yang tidak suka dengan Kakak).
Ibu: (Nah… Kakak juga harus tau, mau pergi kemanapun diri kita melangkah, pasti ada tantangan yang harus kita selesaikan dengan bijaksana).
Diriku: (Sebenarnya kayak sangat ingin merasakan hidup di pesantren, tapi Kakak takut).
Ibu: (Kakak adalah orang yang pemberani, nanti Ibu berikan hadiah jika Kakak mau berjuang melawan rasa takut Kakak).
Diriku: (Ibu, Kakak mau dipesantrenkan, yang jauh sekalian ya bu soalnya kakak nggak pengen sering-sering dijenguk).
Ibu: (Kakak nanti kalau udah di pesantren, kakak belajar mandiri ya).
Diriku: (Syap, Ibu. Kakak akan menjadi anak yang mandiri dan belajar tidak menggantung kepda orangtua terus).
Ibu: (Ibu bangga memiliki anak seperti Kakak).
Waktu sudah menjelang siang, ibu dan aku bergegas untuk pulang ke rumah karena cuaca semakin panas.
{^ – ^} {^ – ^} {^ – ^}
Beberapa hari kemudian ibu menelepon adiknya yang menjadi pengasuh di pondok yang akan ku tempati. Ibu bertanya sangat detail tentang pesantren itu, beberapa saat setelah ibu dan saudaraku berbincang lama, akhirnya ibu setuju jika aku berada disana. Ibu dengan raut wajah yang senang menuju kearahku, untuk menjelaskan tentang konsep pesantren yang akan kutempati. Ibu dengan perlahan menjelaskan satu persatu dengan sangat sabarnya memahamkan diriku tentang pesantren itu agar diriku lebih semangat untuk meneruskan pendidikaku di pesantren.
Berapa hari setelah berbincang-bincang mengenai pesantren, kini diriku akan segera meninggalkan rumah,keluarga dan kawa-kawan. Waktuku dirumah tersisa setengah hari aku menangis, menjerit karena tidak ingin pisah dari orangtuaku, namun semua tetap akan terjadi karena dari pihak pesantrenku sudah perjalanan menjemputku. Aku berpamitan dengan kawa-kawan rumahku dan juga para tetangga, banyak orang yang bertanya kamu mau mondok dimana? ada juga yang memberiku sesuatu yang bisa bermanfaat di pesantren. Aku menangis tersedak-sedak karena akan meninggalkan semuanya dalam janka panjang, aku sudah bisa merasakan rindu yang begitu berat akan semuanya yang ada di desaku.
Seperti biasa aku nongkrong dengan kawan-kawanku di warung, namun yang kali ini berbeda, saat ini kita berkumpul untuk terakhir kali dalam jangka panjang. Diriku sangat keberatan meninggalkan mereka semua, meninggalkan orang-orang yang selama ini bersamaku saat aku sedih maupun senang, pada akhirnya teman-temanku juga hendak di pesantrenkan oleh orangtuanya masing-masing. Aku dan kawan-kawan sebenarnya ingin bersama terus, namun orangtua kami tidak mengizinkan jika kami satu pesantren, karena orangtua kami tahu jikalau kami dijadikan satu dalam satu pesantren kami akan bermain-main terus dan tidak serius dalam menuntut ilmu. Aku dan kawan-kawan berkomitmen untuk tetap menjdi kawan selamanya dan jika kami terpisahkan kami akan tetap menjadi kawan, kami tahu suatu saat kami akan bertemu walau hanya lewat sebatas mimpi.
Suara mesin mobil terdengar dari arah yang tidak begitu jauh, sedikit melirik mataku ke arah jendela alam yang langsung menembus keluar dan ternyata firasatku sangat benar, itu adalah mobil yang akan membawaku berangkat ke pesantren. Aku sangat cemas karena ibu belum saja balik dari pernikahan saudaraku, aku takut jika aku sudah pergi duluan tanpa berpamitan dengan ibu, aku berlari ke rumah dan menuju ke bapak yang sedang ada di gudang bersama para karyawan-karyawanya. Aku memanggil bapakku dengan tangan yang sangat bergemataran akan kepergianku hari itu, setelah aku memanggil bapak, bapak langsung jalan menuju arahku dan berkata. “Ada apa, Kak, kok terlihat sangat panik?” Bapak, di depan sudah datang mobil yang membawa Aulia ke pesantren.” Bergegas Bapak menuju teras rumah untuk menemui saudaraku.
Diriku hanya bisa menangis dan mengeluh saat hari itu, suasana hatiku terasa sangat kacau dan tidak terkondisikan. Ibu memangilku dan mencoba untuk menenangkan kondisi diriku saat itu, aku menangis histeris saat ibuku sedang menenangkanku. Aku takut jika nanti aku di pesantren apakah ada orang yang seperti ibu? hatiku terus mengatakan itu. Ibu bertanya kepadaku, “kakak kenapa sedih? Kan hari ini kakak berangkat ke pesantren” aku terdiam sejenak dan berfikir jawaban apa yang akan kuberi pada ibu, secepat munkin aku berlari kesuatu tempat dan mencoba untuk menenangkan diri.
Semua barang telah tersiapkan dengan sangat rapih dan segera dimasukan ke dalam bagasi mobil, aku dan anggota keluargaku yang lain berkumpul menjadi satu di ruang keluarga. Aku berlari menuju ibu dan segera berbesik untuk menagih barang yang kuinginkan sebelum diriku berangkat ke pesantren. Ibu sontak mengingat apa yang sudah ibu janjikan untukku saat ibu merayuku untuk menetap di pesantren, ibu bergegas bersiap-siap untuk memebelikan tas yang sudah dijanjikan untuk diriku. Kami berdua terburu-buru saat di perjalanan, namun kami berdua sangat menikmati momen belanja terakhir itu sebelum kami berpisah selama 1 tahun lamanya.
Sesampainya kami di rumah, Ibu langsung memasukkan tas baruku ke dalam koper dan segera mempersiapkan barang-barangku yang belum dimasukkann ke dalam bagasi mobil. Akhirnya barang-barangku sudah dimasukkan semua ke dalam bagasi mobil. Segera ibu menyuruhku mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke pesantren, ibu ingin perjalanan Jepara-Rembang hanya 3 jam, jikalau jalanan tidak sedang mengalami kemacetan. Aku diantar keluargaku sampai ke dalam mobil, namun sebelum itu aku berpamitan kepada ibu dan seluruh anggota keluargaku. Saat diriku berpamitan dengan ibu, air mata sudah tidak dapat ditahan kembali untuk menahan rasa rindu yang akan melanda diriku selama 1 tahun kami tidak akan bertemu.
Ku injakkan kakiku ke dalam mobil untuk satu langkah awal pertama menuju persinggahan yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu. Mobil melaju dengan perlahan dan mulai melewati halaman rumahku, aku yang tidak tahan menahan air mata perpisahanpun mulai menjatuhkannya dengan perasaan yang telah teriris-iris. Setiap perjalananku aku mengingat semua kenangan bersama keluargaku, namun yang paling kuingat adalah masa-masa bersama ibuku sewaktu aku sedih maupun senang. Saat kepergianku dari rumah aku sangat merasa bersalah pada ibuku, sehingga membuatku terbayang-bayang kasih sayang dari seorang ibu.
Sampailah aku di sebuah tempat yang membuatku terheran-heran atas lingkungan yang saat itu aku lihat. Saatku injakkan kaki ke atas paving-paving yang lucu, diriku langsung disambut dengan saudara perempuanku yang berasal dari pati dan juga beberapa teman baruku. Aku sangat senang disambut dengan sangat ramah dan sopan, mulailah diriku diantar keliling untuk melihat area sekitar pesantren itu oleh saudara dan teman-teman baruku. Kembalilah kami pada tempat semula dan mulai berbincang-bincang bersama, walau diriku belum bisa berbaur cepat dengan teman-teman baruku.
Tepat pada pukul 21.00 WIB aku diantar menuju kamar yang akan menjadi tempat istirahat pertamaku di pesantren itu. Entah mengapa aku sangat susah untuk tidur dikarenakan tempat yang tidak nyaman untukku pada saat itu, aku teringat kembali pada keluargaku terutama ibuku, aku rindu akan kasih sayangnya. Aku mencoba untuk menenangkan diri dan segera tidur, entah mengapa aku justru menangis dan menginginkan pulang pada saat itu juga. Aku yang sudah lelah untuk menangispun akhirnya tertidur dengan sendirinya tanpa memikirkan tentang ketidaknyamananku di tempat itu.
Aku terbangun pada puku 03.00 malam, anak sekamarku memberi tahu untuk melaksanakan sholat tahajud pada saat itu juga. Aku melaksanakan sholat tahajud sebanyak 8 rakaat. Setelah melaksanakan sholat taahajud, aku berdoa, memohon kepada Tuhan bahwa apa yang akan menjadi tujuan pertamaku di pesantren ini. Aku juga tidak lupa untuk mendoakan keluargaku yang ada di rumah. Aku berjanji pada diriku jika diriku akan menjadi yang lebih baik daripada yang sebelumnya. Aku ucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada Ibu yang selalu aku repotkan. Aku harap Ibu akan selalu ada untukku sampai tua nanti.
Thank you, Mom, for what you have given
me and the time you spiend for me.
I love you, Mom.
Oleh: Siti Aulia Nailal Hidayah Ahmad, Santri-Murid Kelas VIII SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Pamotan Rembang asal Jepara