Wisuda Seribu Cahaya

Wisuda Seribu Cahaya
Ilustrasi

Macam-macam ulah manusia ketika memperagakan rasa gembiranya. Atau ketika menyatakan rasa syukurnya. Atau ketika mengumumkan rasa sedihnya sekalipun. Di kalangan masyarakat desa kita kenal pesta bumi sebagai pernyataan syukur atas keberhasilan panen pertanian. Dimeriahkan oleh dangdut, kliningan dan bajidor bercampur qasidah dan pengajian. Kemudian susul menyusul berbagai acara lainnya misal pesta kawin, pesta lahir, pesta khitan. Tak jarang juga ada pesta mati.

Jenis ragam pesta orang kota lebih banyak lagi. Hari jadi, ulang tahun, kawin perak, kawin emas, 70 tahunnya si anu. Pesta disko boleh dibilang tiap malam, di hotelkah atau di deskotikkah. Di tingkat nasional ada pesta wajib bagi seluruh rakyat, semacam pesta 17-an, hari-hari besar nasional, dan keagamaan. Belum lagi pesta demokrasi sekali tiap lima tahun yakni pemilihan umum dan pesta pembangunan lainnya.

Tradisi pesta di kalangan akademis perguruan tinggi yang belakangan ini sudah mulai agak jenuh ialah dies natalis, wisuda sarjana, dan beragam forum seperti seminar, diskusi, panel, simposium, kolokium, penataran, lokakarya, training, dll. Di kalangan birokrat kita kenal raker, rapim, rakor, atau rapat gabungan, berlangsung satu hari atau lebih. Dan di lingkungan santri tradisional ada yang dinamakan haul yakni pesta ulang tahun wafatnya sang kyai keramat sekaligus reuni, untuk mengenang jasa dan ajaran almarhum.

Aku pikir perlulah ada orang yang boleh iseng dan menyusun kaleidoskop pesta perbulankah, kuartal, semester, atau pertahun, siapa dalang/sutradara penyelenggaranya, pesertanya, tempat dan tanggal acaranya, hingga biayanya. Keleidoskop ini disebar untuk menjadi semacam buku pintar bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Karena pesta sudah merupakan budaya dari pembangunan.

Kita merasa bahwa seolah-olah makin deras arus pembangunan makin tinggi frekuensi dan intensitas serta jenis pesta. Bahkan boleh jadi, justru pesta pora ini dapat menjurus ke pesta parah dalam hal-hal tertentu. Semisal terlalu banyak anggaran waktu, tenaga, pikiran, dan dana dibelanjakan untuk pesta tersebut tetapi tidak/kurang tepat nilai, tepat guna, dan tepat sasaran. Jenis-jenis pesta yang sakral barangkali harus diluruskan dan disederhanakan serta dibersihkan dari unsur riya dan berlebih-lebihan. Dan pesta-pesta komersial dalam upaya cari untung agar diberantas.

Pesta wallimatul ‘urusy yang melanda kota dan desa yang diselenggarakan ba’da akad nikah sudah mulai merepotkan yang punya hajat maupun yang diundang. Kita pikir, bagaimana kalau akad nikah dan wallimatul ‘urusy itu diselenggarakan di masjid begitu shalat Jumat usai? Lalu bagaimana dengan pesta MTQ dari tingkat kecamatan hingga level nasional? Bagaimana pula dengan pesta wisuda sarjana yang diselenggarakan satu sampai empat kali pertahun di tiap perguruan tinggi? Sementara di ujung lain kita masih menyaksikan sebagian masyarakat miskin dan kumuh terbengong lalu ngiler melihat pesta-pesta tersebut? Mengapa kita belum berpikir untuk mentransfer sebagian anggaran belanja pesta untuk sasaran yang lebih bermanfaat? Untuk menciptakan bangku kuliah? Bangku dan lapangan kerja? Untuk membangun pondok/saung bagi yang masih beratap langit atau jembatan? Atau menyisihkan sebagian dana pesta untuk membayar hutang-hutang kita yang makin menggunung karena terkena riba alias bunga-berbunga, rente dan interest dengan segala bentuknya? Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini dulu pantas ditujukan sewaktu wisuda presiden terpilih George Bush di USA.

Pesta besar dan paling besar untuk pelantikan presiden sejak 230 tahun terakhir ini. Sejak pelantikan George Washington pada 1789. Pesta selama lima hari menjelang hari pelantikan Bush menelan anggaran berupa US$ 30 juta lebih dan mengerahkan 8,5 batalion pasukan pengaman. Lilin, lampu ribuan watt, dan kembang api berserakan, sehingga konon acara Bush ini dinamakan sebagai pesta seribu cahaya. Untuk mengumumkan kepada dunia bahwa USA itu terkuasa. Bahwa Bush itu terbesar semanca negara. Sementara di berbagai sudut kota New York, Washington, dll terlihat pengagguran dan orang tuna wisma yang mati beku karena ditelan dinginnya salju winter. Konon katanya, hal itu terjadi bukan karena Bush dan istrinya Barbara itu yang mulai manggung di Gedung Putih tanggal 20-1-1989, melupakan lapis bawah masyarakat USA.

Apapun dalihnya, yang pasti, pesta seribu cahaya mustahil diridloi oleh Sang Cahaya di atas Cahaya (nurun ‘alaa nurin). Pesta seribu cahaya, paling tidak menurutku, cenderung lebih sebagai peragaan inferiority sekaligus superiority complex-nya USA berhadapan dengan kita. Dan memang kita saksikan banyak bahkan makin banyak tokoh, pemimpin, dan bos yang mulai terserang oleh penyakit kompleks inferioritas dan superioritas.

Itulah sejenis penyakit kejiwaan yang sesungguhnya berbahaya bagi kita dan membahayakan pembangunan. Karena penyakit itu akan mendorong kita pada keangkuhan (arrogancy) dan tingkat agresivitas yang tinggi. Dan menimbulkan penyakit gatal syaraf atau alergi yang tidak mudah disembuhkan kecuali dengan menyelenggarakan counter-nya yakni pesta tandingan sebagai obatnya, misal shalat dan tilawatil Quran secara intensif secara ekstensif. Tentunya untuk kita yang keluarga muslim. Alergi, sindroma, dan trauma In Syaa’a Allah akan terhapus bila saudara, anak, orang tua, dan kita membiasakan baca alifbata dibanding matematika. Mendirikan shalat di samping silat. Menulis di samping menguping. “Ya Allah berilah kami manfaat dengan apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami dan ajarilah kami apa-apa yang bermanfaat bagi kami dan tambahkanlah kami ilmu”. Begitulah doa yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Mari kita hentikan pesta-pesta yang tak berguna, yang di dalamnya terundang pula oleh iblis dan setan berbentuk kemubaziran dan kepercumaan. Pesta laut kita ubah menjadi ibadah kelautan. Pesta bumi kita ganti dengan tasyakur atas nikmat Allah berupa hasil bumi buat kehidupan. Pesta taman dan taman tempat berpesta kita ubah menjadi taman pendidikan Al-Quran yang mengajarkan balita, belia, remaja, dan remako bagaimana membaca wahyu Allah dengan benar dan sesuai dengan ajaran tajwid.

Sungguh tidak layak bila kita jumpai muslim usia 50 tahun dan aktif di kampus Islam, tapi bacaan al-Qurannya masih pelo alias cadel, semisal ngalkamdu lillaahi rabbil ngalamiin. Sementara, balita berumur 50 bulan sebanyak 120 orang di sekolah TK al-Quran fasih membaca: alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin. Fasih 30 juz atau 6666 ayat. Lalu buat apalah dan apa arti pesta wisuda sarjana dari kampus Islami, bila yang diwisudanya atau yang mewisudanya itu tak/belum fasih baca tulis alifbata alias masih buta huruf al-Quran? Maka kita serukan, anjuran agar pesta wisuda sarjana bertoga/berjubah dan pesta dies natalis yang menelan jutaan rupiah itu kita ganti dengan pekan orientasi pesantren seperti yang acap kita saksikan.

Di atas itu semua, Anda, aku dan kita semua barangkali bersepakat agar pesta-pesta apapun hendaknya memiliki makna. Memiliki kaitan transendental. Dan pesta semacam inilah yang para ustadz menamakannya dengan sebutan tasyakur. Mensyukuri nikmat Allah. Dengan jalan dan cara yang ditetapkan oleh Allah. Bukan dengan cara semau gue. Bukan hura-hura dan hedonistis. Aku nasihatkan kepada saudara-saudaraku, tak usahlah lagi keluarkan anggaran untuk pesta mudun lemah (turun menginjak bumi) bagi baby. Tak perlu lagi pesta rujakan hamil tujuh bulan. Tak perlu lagi membuat spanduk “Selamat Datang Para Tetamu” dengan menyediakan keropak duit pada pesta khitanan dan semacamnya. Bahkan tidak boleh sama sekali kita menyelenggarakan pesta kematian dengan permainan gapleh.

Dan jangan lagi ada pesta menanam kepala kebo pada pencangkulan pertama pembangunan gedung-gedung bertingkat. Berikan sajalah kebo atau kambing kepada si miskin agar dimasak menjadi sop bulan madu. Kepada first gentleman Bush dan first lady Barbara di USA (dan semacamnya di mana pun) aku berkata, tanpa wisuda seribu cahayapun Anda adalah adikuasa. Tapi tidak Maha Kuasa. Bukan Cahaya di atas Cahaya. Wallahu A’lamu bi al-Shawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *