Oleh: Salwaa Fitria Milena Sofyan, Ketua Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi (KPP) HMI Cabang Garut
Pada tahun 2022, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat itu, Nadiem Makarim, mengungkapkan bahwa sekitar 80% lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusan atau program studi (prodi) yang mereka ambil. Artinya, hanya sekitar 20% lulusan yang berhasil meniti karier sesuai dengan latar belakang akademiknya. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini merupakan kabar baik atau justru sebuah sinyal peringatan bagi sistem pendidikan kita?
Secara umum, perguruan tinggi bertujuan untuk menghasilkan individu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk berkontribusi secara signifikan kepada masyarakat dan dunia kerja. Fungsi perguruan tinggi tidak hanya sebatas pada pemberian pendidikan akademik, tetapi juga mencakup penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan yang diberikan seharusnya mampu mengembangkan potensi mahasiswa dalam bidang ilmu tertentu, sekaligus mempersiapkan mereka agar siap menghadapi tantangan dunia kerja yang dinamis.
Namun, realita menunjukkan bahwa banyak lulusan sarjana yang justru bekerja di luar bidang ilmunya. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas masalah yang melibatkan berbagai faktor. Faktor penyebab ketidaksesuaian lulusan dan pekerjaan diantaranya: Pertama, karena ketidaksesuaian antara kurikulum dan kebutuhan industri.
Salah satu penyebab utama adalah tidak sinkronnya kurikulum perguruan tinggi dengan kebutuhan industri yang terus berkembang. Banyak program studi, terutama di bidang ilmu sosial dan humaniora, belum membekali mahasiswanya dengan keterampilan teknis atau praktis yang dibutuhkan di lapangan. Kurikulum yang tidak fleksibel menyebabkan lulusan kesulitan beradaptasi dengan perubahan industri.
Kedua, perubahan cepat di dunia kerja. Dunia kerja berubah jauh lebih cepat dibandingkan dengan sistem pendidikan. Bidang pekerjaan seperti data science, digital marketing, dan keamanan siber kini tengah berkembang pesat. Sayangnya, banyak lulusan belum dibekali dengan keterampilan digital atau teknis yang relevan untuk menjawab kebutuhan baru ini.
Ketiga, kurangnya pengalaman kerja dan magang. Pengalaman praktis, seperti magang atau kerja praktik, masih kurang mendapat perhatian serius. Padahal, banyak perusahaan menjadikan pengalaman kerja sebagai salah satu kualifikasi penting. Tanpa pengalaman ini, lulusan menjadi kurang kompetitif meskipun secara akademik memenuhi syarat.
Keempat, ekspektasi yang tidak realistis terhadap dunia kerja. Tidak sedikit mahasiswa yang hanya fokus mengejar gelar tanpa memahami kebutuhan riil dunia kerja. Mereka seringkali tidak menyadari pentingnya pengembangan soft skills, jejaring profesional, dan portofolio kerja, yang sangat dibutuhkan oleh pasar kerja saat ini.
Kelima, tingginya persaingan di dunia kerja. Di beberapa sektor, jumlah lulusan jauh melebihi jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya, banyak sarjana harus berkompromi dan menerima pekerjaan di luar bidang studinya demi mendapatkan penghasilan dan pengalaman kerja.
Rekomendasi dan Solusi
Fenomena ini tidak bisa hanya disalahkan pada satu pihak. Perlu ada kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain melakukan pembaruan kurikulum secara berkala. Perguruan tinggi perlu menyesuaikan kurikulumnya dengan tren dan kebutuhan industri terkini. Kolaborasi dengan pelaku industri dapat menghasilkan kurikulum yang relevan dan aplikatif.
Meningkatkan program magang dan kerja praktik dapat membantu Mahasiswa mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam magang atau proyek nyata di industri agar memiliki gambaran dan pengalaman kerja yang lebih konkret.
Namun diperlukan juga integrasi keterampilan praktis dalam pembelajaran. Selain teori, mahasiswa perlu dibekali dengan keterampilan teknis dan soft skills, seperti kemampuan komunikasi, problem solving, dan kerja tim. Penting bagi kampus juga untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai dinamika dunia kerja sejak awal perkuliahan, termasuk tren industri, peluang karier lintas disiplin, dan pentingnya fleksibilitas.
Bekerja tidak sesuai jurusan bukan berarti gagal, namun fenomena ini tetap patut menjadi bahan refleksi bersama. Sistem pendidikan tinggi harus mampu merespons perubahan zaman dan kebutuhan dunia kerja. Sementara itu, mahasiswa juga harus proaktif dalam menggali potensi dan membekali diri dengan berbagai keterampilan lintas bidang agar tetap relevan dan kompetitif di tengah cepatnya perubahan dunia kerja.