Doktor Ilmu Politik, tapi Hafal al-Qur’an

Baladena.ID/Istimewa

Banyak elite politik, pengusaha nasional, dan Ilmuwan yang memiliki nama besar berkunjung ke Monash Insitute, bahkan artis sekaliber Primus Yustisio tidak ketinggalan mampir ke rumah perkaderan yang didirikan pada 2010 oleh Dr. Mohammad Nasih itu. Mereka datang karena diajak oleh Abah Nasih, panggilan akrab disciples kepada Mohammad Nasih, karena hubungan pertemanan atau bahkan mereka datang atas kemauan mereka sendiri karena penasaran ingin mengetahui Monash Insitute itu seperti apa dalamnya.

Selain untuk melihat langsung bagaimana kaderisasi super intensif yang dijalankan oleh Monash Institute, mereka datang dengan maksud untuk berbagi ilmu dan pengalaman atau sekadar memberikan motivasi kepada para disciples. Salah satu dari mereka yang datang adalah pengusaha nasional yang juga pernah menjadi Ketua Umum PAN periode 2005-2010, Soetrisno Bachir. Ketika menyampaikan materi dan motivasi kepada para disciples, ia mengatakan bahwa Mohammad Nasih memang ilmuwan politik yang unik. “Karena dia doktor ilmu politik, tapi hafal al-Qur’an,” katanya.

Memang sebelumnya Mohammad Nasih dikenal sebagai seorang yang hafal al-Qur’an (hafidh). Ia menyelesaikan hafalan al-Qur’annya ketika masih mengenyam pendidikan di bangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Lasem, Kabupaten Rembang. Bukan hanya itu, ia seorang santri yang dikenal cerdas dan menguasai khazanah intelektual Islam klasik atau dikenal dengan kitab gundul, karena ia belajar ilmu alat sejak SD di Madrasah Diniyah di desanya. Konon, waktu nyantri di pesantren Annur Lasem, Nasih muda pernah berkeinginan menulis tafsir, tetapi tidak diparengke oleh kiainya.

Kembali ke pernyataan Soetrisno Bachir di atas. Para elite politik lain juga sering menyatakan yang demikian, seolah-olah menganggap Abah ini seorang yang aneh. Ia menyandang doktor ilmuwan politik sekaligus politisi, yang dianggap mengurusi perkara duniawi, tetapi kok hafal al-Qur’an. Dalam dunia politik, terutama di Indonesia, hal ini sangat jarang ditemui. Seumpama ada seorang tokoh yang hafal Al-Qur’an, biasanya mereka lebih condong aktif  di dunia pendidikan seperti misalnya kiai, profesor atau ahli tafsir al-Qur’an, imam masjid, ustadz, atau sejenisnya.

Mereka, orang-orang yang hafal al-Qur’an, hampir rata-rata memilih untuk menghindari dunia politik. Sebab, mereka menganggap politik itu kotor, politik itu banyak trik dan intrik, perebutan kekuasaan yang membabi buta, saling jegal menjegal, dan lain sebagainya. Anggapan yang demikian menyebabkan kalau ada penghafal al-Qur’an yang berpolitik itu dianggap sesutu yang tidak pantas atau dianggap merendahkan diri.

Memandang Abah ini unik, bagi mereka yang berpendidikan tinggi tentu agak aneh. Para elite politik yang mempunyai cara berpikir besar untuk kemajuan bangsa memandang penghafal al-Qur’an yang menyandang gelar doktor politik yang sekaligus politikus saja seperti itu, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Ini pertanyaan yang tidak memberikan ruang jawaban alternatif.

Abah selalu menekankan kepada masyarakat, terkhusus kepada para santri-santrinya untuk belajar memahami al-Qur’an dengan menghafalkannya. Menurut Abah, dirinya dianggap aneh karena keadaan zaman ini yang memang sedang tidak seimbang. Dengan kata lain, mestinya justru yang terjun di dunia politik, mengurus kepentingan orang banyak harus memiliki basic pehamahan al-Qur’an yang cukup. “Kalau kita kembali ke zaman kejayaan Islam dahulu, terkhusus zaman era sesudah Nabi, orang-orang yang hafal dan menguasai al-Qur’an ini mempunyai posisi yang tinggi, bukan hanya di dunia pendidikan saja, akan tetapi juga menempati posisi-posisi pimpinan politik,” kata Abah Nasih.

Politik adalah ranah paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Sebab, segala hal bisa ditentukan lewat politik, sampai orang buang air besar harus menghadap ke utara atau selatan bisa diatur melalui kebijakan pembangunan WC masyarakat, misalnya. Politik memiliki siginifikansi dampak yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, yang ada di dalam dunia politik mestinya orang yang ahli dan memiliki bekal pengetahuan agama yang cukup, sehingga ajaran agama bisa menjadi spirit untuk pembangunan sebuah bangsa, tidak terkecuali Islam sebagai agama yang rahmatan li al-‘alamin.

Menyinggung tentang politik dalam Islam, kita akan menemukan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang politikus yang sangat hebat. Selain seorang nabi dan rasul, Muhammad juga seorang kepala negara dan kepala pemerintahan di saat memimpin Madinah. Dengan menggunakan kekuasaan, Nabi Muhammd berhasil menyebarkan Islam dengan sangat masif dan sistematis. Ini bisa dibuktikan dengan jumlah umat Islam pada saat periode Madinah jauh lebih banyak dibanding periode Makkah. Padahal Nabi Muhammd berdakwah di Makkah selama 13 tahun sementara di Madinah hanya 10 tahun.

Rasulullah Muhammad adalah teladan sekaligus panutan bagi umat islam di seluruh dunia. Karena itu, walaupun sangat berat untuk mengikuti kesempurnaan akhlak Nabi, maka umat Islam tetap harus terus berusaha untuk mengamalkan apa yang ada pada diri Nabi. Salah satunya adalah menjadi seorang pemimpin politik, berpolitik yang dihiasi dan dipandu oleh al-Qur’an.

Al-Qur’an bukan hanya sekadar bacaan, tapi juga sebagai panduan hidup manusia. Maka dari itu, seorang yang berpolitik tidak boleh meninggalkan al-Qur’an. Jadikan ia pedoman, bahkan tempatkan ia didada dan dihafalkan. Hal itu diterapkan oleh para pemimpin Islam pada masa kejayaannya dahulu. Pemimpin-pemimpin itu merupakah penghafal dan ahli al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah sumber utama dalam Islam, yang di dalamnya memuat semua konsep mulai dari tauhid, ibadah, pendidikan, sosial, hukum, ekonomi, bahkan sampai politik. Dari al-Qur’an yang kemudian dilengkapi hadits Nabi Muhammad, kita bisa mengetahui bahwasanya, Islam mengatur semua aspek kehidupan secara detail. Urusan kecil dan remeh temeh seperti masuk kamar mandi mendahulukan kaki yang mana saja diatur oleh Islam, apalagi politik yang memiliki dampak yang luar biasa bagi peradaban?

Oleh sebab itu, pernyataan yang memandang Abah itu seorang “doktor ilmu iolitik, tapi hafal al-Qur’an” tersebut perlu diluruskan. Kalimat yang benar adalah “Mohammad Nasih itu doktor ilmu politik dan hafal al-Qur’an”. Penggunaan kata ‘tapi’ dengan ‘dan’ ini memang sangat sepele, tetapi mempunyai implikasi yang sangat besar bagi cara berfikir. Penggunaan konjungsi “tapi” dilanjut frase “hafal al-Qur’an” ini justru menganggap seorang ilmuwan politik, apalagi yang berpolitik, itu seharusnya tidak hafal al-Qur’an, atau penghafal al-Qur’an itu tidak boleh berpolitik. Sebab, kata “tapi” digunakan untuk sesuatu yang kontraproduktif.

Pertanyaannya adalah kalau orang-orang yang menjaga al-Qur’an dan memahami isi al-Qur’an tidak memasuki dunia politik, lalu siapa yang akan memasuki dunia politik? Apakah mereka yang dangkal atau dengan pemahaman keagamaannya dibiarkan menguasai politik kita? Jika iya, tentu mereka dikhawatirkan justru akan merusak tatanan politik dan memperburuk citra politik itu sendiri sebagai jalan yang strategis untuk pembangunan umat dan bangsa.

Berbeda, jika menggunakan konjungsi “dan”. Kata ini memberikan kesan, bahwa doktor ilmuwan politik atau politikus yang hafal al-Qur’an ini adalah orang yang mempunyai nilai plus dan keistimewaan dibanding dengan yang lain. Tidak hanya itu, penggunaan kata “dan” bagi masyarakat awam akan memberikan semangat kepada masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia agar mereka mempersiapkan generasi muda untuk menjadi politikus dan pemimpin politik yang hafal sekaligus memahami kadungan al-Qur’an. Tentu ini akan dahsyat untuk peradaban. Semoga akan segera lahir generasi Qur’anic yang melek politik dan mau mengambil peran terjun di dunia politik.Wallahu a’lam.

Oleh: Muhammad Nur Faiq ZM, Disciples 2014, Perdana Menteri X Monash Institute.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *