“Aku punya harga, kamu mau berapa?”

 

Baru saja saya lulus kuliah. Sekitar tiga bulan yang lalu. Dan orang-orang mengenaliku sebagai seorang aktivis. Dengan mengetahui itu, tidak perlu kau perjelas dengan pertanyaan: “Lulus di semester berapa?” Menjadi dosa besar, karena kebanyakan aktivis lulus kuliah di semester matang. Hingga bila terdengar kata aktivis, pasti bermunculan bayang-bayang mahasiswa yang lulus di semester maksimal. Tetapi perlu saya jawab, itu berbeda dengan ‘Aku’. Yaitu lulus di semester tujuh.

Sebenarnya, saya tidak perlu mencari nama dan menjelaskan tentang tetek-bengek diri saya. Tetapi, karena sudah terlanjur, saya harap tiada yang kecewa mengenali saya, bahwa saya seorang aktivis yang lulus lebih cepat daripada waktu biasanya.

***

Adzan magrib berkumandang. Diskusi masih berjalan. Sebagai seorang aktivis, sholat bukan soal yang perlu diperhatikan. Karena tugas seorang aktivis adalah berdiskusi, memikirkan masa depan rakyat agar menjadi lebih baik. Biarlah suara Adzan bersahut-sahutan, seorang aktivis tak perlu serius mendengarkan. Diskusi soal rakyat harus tetap jalan. Tapi, di tengah diskusi yang kian serius, saya mengangkat tangan kanan dan meminta izin untuk keluar dari barisan.

“Mohon izin untuk menghadap-Nya, Ketua.”

“Silahkan, Kyai.” Kata Alwy, ketua organisasi yang baru saja terpilih.

Di tengah perjalanan menuju masjid kampus, saya melihat lelaki tua dengan karung goni tergantung di pundaknya terburu-buru menuju masjid. Padahal, adzan saja belum lagi usai. Ku ikuti gerak-geriknya. Ia segera masuk ke kamar mandi, meletakkan karung goni di batas suci. Ku curi pandang, isinya adalah botol air mineral dan beberapa kardus. Yang paling dalam, entah apa isinya. Tak mungkin saya perlukan untuk mengecek satu persatu untuk mendengus apa saja yang berada di dalamnya.

“Pahlawan lingkungan.” Gumam ku.

Saya ambil air wudlu sengaja di dekat pintu kamar mandi tempat lelaki tua masuk. Ku dengar beberapa bilasan air dari dalam kamar mandi. Kiraku, ia sedang mandi. Cukup lama. Ia keluar, pakaiannya rapi, tetapi tambalan sana sini. Jenggotnya yang tadinya lusuh berdebu, kini putih berkilau. Sebagaimana jumpa pertama, ia terburu-buru mengambil wudlu kemudian menuju tempat sholat. Betapa malunya saya, sebagai seorang aktivis yang sering merenung memikirkan orang-orang papa sepertinya, tetapi enggan memikirkan Tuhan yang sebenarnya telah mengatur segalanya.

***

Hasil diskusi beberapa hari yang lalu telah diputuskan. Yaitu mengadakan kegiatan “Aktivis Peduli”. Kegiatan utamanya adalah membagikan nasi bungkus kepada para tunawisma dan orang-orang pinggiran kota. Terkumpulah beberapa uang untuk melaksanakan progam kerja. Tum Alwy menunjuk saya untuk menjadi korlap dalam kegiatan tersebut, meminta menentukan waktu dan tempat. Dengan cepat saya mengusulkan kamis malam di Kampung Kali, sebelah utara Simpang Lima di pusat Kota Semarang.

Kampung Kali, sebuah daerah tempat anak jalanan dan tunawisma bersosialisai dan cengkrama. Belakangan saya ketahui dari seorang Satpol PP yang berbincang jengkel tentang ketertiban orang-orang pinggiran di daerah itu. Dari informasi tersebut, saya pun penasaran untuk membuktikan bagaimana keadaannya. Benar saja, di sana terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan. Menurut saya. Banyak sekali karung-karung berderet di tepian jalan Kampung Kali.

Ada juga gerobak lusuh beroda dua. Di dekatnya, terbaring orang-orang berpakaian lusuh berbagai jenis dan usia, berselimut kain baleho, beralas MMT bekas, berbantal lengan sebelah kanan, beratap langit yang luas dan hitam bercumbu malas. Deru-deru mobil dan beberapa motor kaula muda yang bising menjadi musik pengantar tidur mereka.

Kamis malam pun tiba, dengan senyum manis kegiatan harus dirintis. Saya dan rombongan aktivis berangkat menuju lokasi berpakaian necis. Ratusan bungkusan nasi, dan beberapa lembar pakaian untuk dibagi. Setelah tiba di lokasi terhampar pemandangan yang tidak jauh berbeda sebagaimana yang saya jumpai tempo hari. Beberapa kawan aktivis terkaget.

Beberapa merasa prihatin ada juga yang jijik dan sebagian lagi sibuk mengaktifkan kamera ponsel untuk mengambil gambar yang kemudian digunakan untuk update status di jejaring sosial medianya. Ternyata di antara gedung dan bangunan tinggi, ada banyak orang yang untuk berteduh saja, sebatang payung tiada punya.

Sebelum malam semakin larut, kami memulai membagikan nasi bungkus beserta air gelas yang sudah terbawa. Mereka menyambut kedatangan kami dengan senang gembira. Di sela-sela itu, anak-anak pun ikut berebut, berkerumun sampai ada yang terluka. Memang lapar mengalahkan segalanya. Mereka kurus tak terurus.

Kaki dan tangan mereka lurus karena sering alpa dari gizi yang serius. Entah berapa hari terlewati tanpa air yang menyentuh mereka. Tak ada beda warna bedak dan debu yang menempel di kulit dan baju mereka. Hiasan hitam di wajah mereka bercoret tak beraturan. Entah karena asap atau kotoran sampah yang menjadi perias wajah mereka.

Di tengah pembagian nasi bungkus, saya melihat seorang lelaki tua yang tidak ikut mendekat dan berkerumun sebagaimana temannya. Melihat saja tidak, apalagi mendekat. Ia tak ikut berebut. Ku pandangi ia tengah sibuk merapikan hasil memulungnya. Menata dan memilah sampah sesuai jenisnya.

Ku perlukan untuk mengecek, melihat lebih dekat, dan menjumpainya agar segera ikut bersantap ria bersama temannya. Ku minta Alwy untuk mengatur barisan agar pembagian nasi berlangsung tertib, sedang saya memohon izin untuk menemui lelaki tua di ujung jalan sana. Di bawah pohon trembesi yang tak berisi.

“Mengapa Bapak tidak ikut mengambil nasi bersama mereka?” Sambil kusodorkan nasi dalam genggaman.

“Terima Kasih.” Jawabnya dengan tidak berhenti melanjutkan pekerjaannya.

Saya terkaget. Lelaki tua itu adalah pemulung yang tergesa-gesa menuju masjid dalam perjumpaan kala diskusi itu.

Tangan ku tergantung, bibirku tak saling bertemu, mulutku terbuka. Apa yang sebenarnya Ia inginkan? Saya seorang aktivis yang memikirkannya, tetapi ia enggan menghargai pemberian dan ikhtiar yang telah kami rumuskan dan fikirkan.

“Mengapa Bapak tidak menerima?”

“Saya sudah makan.”

“Barangkali nanti Bapak lapar kembali.”

“Saya mampu untuk beli nasi, Mas.”

“Apa susahnya menerima?”

“Bagaimana saya bisa menerima makan dari orang-orang yang tidak pernah memikirkan siapa sebenarnya yang memberi makan?”

“Bangsat!” Bentak Alwy dari belakang yang ternyata mendengar dan memperhatikan percakapan kami.

“Aku punya harga, Kau mau berapa?” Tungkas lelaki tua itu.

Ku tarik Alwy yang terbakar emosi. Perlahan ku serap kata apa saja yang terucap dari mulut lelaki tua itu. setelah cukup merenung, memalukan. Memang saya malu, tetapi tiada dendam. Katanya benar. Lelaki tua itu memang berbeda dengan tunawisma kebanyakan. Ia mandiri dan lebih senang makan dari hasil keringatnya sendiri. Tidak pernah mengeluh, apalagi meminta-minta.

Sedangkan saya, sebesar ini tidak punya malu meminta uang kepada orang tua. Dan dari peristiwa itu, saya belajar tentang harga, yang dalam agama, Iffah namanya. Dan kini, saya berguru kepadanya. Menjadi muridnya, sebagai sarjana muda yang lulus semester tujuh, memilih bekerja sebagai pemulung. Bersama dengan itu, jangan ejek saya. Karena ‘Aku’ punya harga, Kau mau berapa?

 

Kampung Kali, 19 November 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *