Tugas Politisi

Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang

Tidak ada profesi yang memiliki implikasi seluas politisi. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh politisi pasti berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada seluruh rakyat atau warga negara.

Pada dasarnya, kebijakan politik bersifat sangat inklusif. Karena itu, jika kebijakan politik yang dibuat baik dan benar, maka akibat positifnya akan dirasakan oleh seluruh warga negara. Demikian pula jika sebaliknya. Berdasar itu, jika kebaikan dan keburukan yang diakibatkan oleh kebijakan politik itu dikonversi menjadi pahala dan dosa, maka bisa dikatakan bahwa tidak ada pahala sebesar pahala politisi jika benar.

Sebaliknya, tidak ada dosa sebesar dosa politisi jika ia mengikuti hawa nafsu, sehingga menjadi keliru. Kebenaran diabaikan dan terjadi penyelewengan kekuasaan. Sebab, dampak kekeliruan tersebut akan menyebabkan kebaikan yang mestinya dirasakan oleh seluruh rakyat tidak bisa terwujud. Bahkan, tidak menutup kemungkinan menyebabkan kesengsaraan umum. Karena itulah, Nabi Muhammad dalam surat-suratnya kepada raja-raja sezaman dengannya, menegaskan bahwa jika mereka menerima ajakannya, mereka akan mendapatkan pahala dua kali lipat (yu’tika Allahu marratayn). Nampaknya, nabi memandang bahwa kekuasaan memiliki multiplier effect.

Al-Qur’an menggambarkan betapa signifikan peran politisi. Ini terdapat dalam salah satu ayat: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad: 26).

Perintah itu ditegaskan karena politisilah yang membangun dan mengeksekusi kebijakan politik. Dalam konteks sistem politik demokrasi, tentu penyelenggaranya sudah dibagi-bagi dalam poros-poros kekuasaan yang dalam disiplin ilmu politik disebut trias politica.

Kerja politik adalah kerja menata negara guna mewujudkan kebaikan bersama. Namun, yang jamak terjadi selama ini, politisi telah melakukan hampir semua hal, kecuali yang seharusnya dilakukan.

Politisi yang tahu persis bahwa partai politik membutuhkan biaya yang sangat besar untuk melakukan fungsi-fungsi partai dengan implikasi struktural yang sangat luas, justru membuat aturan yang menghalangi anggaran negara untuk partai politik. Mereka melakukan itu agar bisa bermain di wilayah gelap dengan cara menerima suap dari pengusaha hitam, juga secara bersama-sama alias berjama’ah melakukan korupsi anggaran.

Dengan cara berjama’ah itu, mereka berpikir bahwa tindakan koruptif mereka akan aman. Sebab, semua akan berpikir “tahu sama tahu”. Padahal, akibat berikutnya adalah semua saling sandra. Akibatnya, roda penyelenggaraan negara untuk mewujudkan kebaikan bersama bagi seluruh warga negara jadi mecet.

Lebih parah lagi, aturan baik yang mereka buat sendiri, dalam praktiknya mereka langgar. Larangan melakukan politik uang dalam segala jenis Pemilu misalnya, merupakan aturan permainan yang sangat jelas. Namun, secara faktual, hampir tidak ada pejabat negara yang terpilih melalui mekanisme Pemilu secara langsung, tidak melakukan politik uang. Itu terjadi karena rakyat pemilih tidak memiliki wawasan yang cukup tentang politik, sehingga mereka tidak tahu tentang bagaimana sistem politik bekerja.

Dalam keadaan yang buruk itu, sulit sekali ditemukan politisi yang mau bersusah-susah melakukan pendidikan politik guna membangun kesadaran dan wawasan rakyat. Sebaliknya, mereka hanya memilih jalan pintas, instan, dan karena itu pragmatis, dalam bentuk membeli suara mereka saat penyelenggaraan Pemilu.

Lebih banyak politisi yang menganggap bahwa uang adalah segala-galanya. Sedangkan politisi yang baik, berada dalam keadaan yang digambarkan oleh futurolog Jawa Ranggawarsita, bagaikan orang yang terikat, tak bisa berbuat apa-apa.

Politisi dalam makna yang sejati, seharusnya melakukan tugas-tugas yang menjadi prasyarat negara bisa ditata dengan baik. Di antara hal-hal penting untuk itu adalah sebagai berikut:

Pertama, berpikir. Politisi harus membiasakan diri dengan kedalaman berpikir dan menghindari kedangkalan. Karena itu, politisi harus sering-sering melakukan perenungan mendalam guna mencari dan menemukan ide-ide baru yang memungkinkan untuk menata dan memperbaiki negara, sehingga menjadi benar-benar efektif dan lebih efisien. Untuk memiliki kebiasaan itu, politisi harus memiliki kebiasaan menuntaskan bacaan-bacaan yang berkualitas. Dengan begitu, nalar politik akan terpantik, sehingga cenderung untuk membangun kebijakan-kebijakan politik yang juga berkualitas.

Para pejabat di seluruh poros kekuasaan, terlebih legislatif dan juga eksekutif, sesungguhnya adalah representasi rakyat. Karena itu, mereka harus hidup sebagaimana mayoritas rakyat yang memilih mereka hidup.

Negara harus dibangun berdasarkan ide-ide yang semerlang, bukan sekedar kepentingan orang-orang kaya, sehingga yang muncul adalah oligarkhi yang rakus. Keadaan di bawah kekuasaan oligarkhi yang rakus inilah yang saat ini terjadi. Indikasinya sangat jelas. Di antaranya beras yang diimpor, kemudian dibuang. Ini sebuah contoh kebijakan yang dilakukan tanpa kedalaman visi dan juga pendalaman data. Akibat kerja yang demikian, rakyat yang sengsara makin sengsara. Sedangkan pejabat mendapatkan kenaikan harta kekayaan berlipat-lipat.

Kedua, mendidik rakyat atau masyarakat. Kapasitas politisi merupakan kapasitas yang memungkinkan untuk mengetahui berbagai perspektif yang tidak dimiliki oleh rakyat kebanyakan.

Politisi perlu mengajarkan kepada rakyat bagaimana sistem politik bekerja. Dengan begitu rakyat bisa menentukan pilihan dengan benar, sehingga tidak menjadi korban politik pada masa-masa berikutnya. Harus ada usaha keras dari politisi sampai preferensi pemilih benar-benar berdasarkan imajinasi untuk memperbaiki negara, bukan lagi uang recehan.

Ketiga, memperjuangkan kebaikan bersama dengan dasar nilai kebenaran menjadi kebijakan politik. Politisi merupakan para pejuang untuk mewujudkan keinginan rakyat. Namun, tidak semua keinginan rakyat boleh dipenuhi. Hanya keinginan-keinginan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diyakini saja yang harus diperjuangkan. Sedangkan keinginan-keinginan yang bertentangan dengan nilai-nilai itu harus dicegah. Sebab, jika keinginan yang bertentangan itu diperturutkan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan.

Politisi harus memiliki cara untuk menghindari keinginan buruk rakyat, tetapi tetap membuat mereka tidak memusuhi politisi, sehingga agenda-agenda membangun kebijakan politik tidak mendapatkan perlawanan oleh rakyat sendiri. Dalam konteks inilah sesungguhnya pendidikan politik makin nampak diperlukan.

Keempat, mempraktikkan keteladanan dalam hidup yang sederhana, jauh dari gemerlap hidup mewah. Dengan mempraktikkan kesederhanaan, rakyat akan merasa bahwa mereka telah mengikuti orang-orang yang benar, yang bekerja untuk kebaikan dan perbaikan banyak orang, bukan untuk diri politisi dan kelompok sendiri.

Para pejabat di seluruh poros kekuasaan, terlebih legislatif dan juga eksekutif, sesungguhnya adalah representasi rakyat. Karena itu, mereka harus hidup sebagaimana mayoritas rakyat yang memilih mereka hidup. Kesenjangan antara gaya hidup yang mewakili dan yang diwakili, pada dasarnya akan mebimbulkan dendam kesumat yang merusak harmoni antara rakyat dan pemimpin.

Kelima, membangun dan selalu memperkuat solidaritas. Sebuah negara harus selalu diperkuat dengan terus mengencangkan solidaritas antar entitas warga negara. Sudah menjadi hukum alam bahwa solidaritas memiliki kecenderungan mengendor apabila negara tidak memiliki musuh bersama.

Politisi harus mampu menunjukkan musuh bersama yang harus dihadapi, sehingga seluruh entitas rakyat memfokuskan perhatian secara bersama-sama untuk menghadapinya. Dan musuh negara ini sesungguhnya nyata. Penjajahan sesungguhnya hanya berganti cara dan nama saja. Jika rakyat benar-benar diadvokasi dengan kesabaran oleh seluruh politisi, maka mereka akan rela memberikan apa saja yang mereka miliki.

Bahkan, sesungguhnya, para polisi yang secara langsung sudah memegang kendali kekuasaan, tidak melakukan apa pun, yang penting keamaan dan kedaulatan terjamin dari gangguan pihak luar, maka rakyat akan baik-baik saja. Tidak perlu negara sekaya Indonesia ini dikelola dengan rumit-rumit.

Jika para penyelenggara negara tidak korupsi atau mengeksploitasi dengan pajak dan kenaikan tarif saja, maka rakyat akan sejahtera. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bisa memperjuangkan hidup mereka sendiri dengan usaha-usaha sederhana.

Mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup itu dengan menanam apa saja di depan dan di belakang halaman rumah mereka. Dan begitulah sesungguhnya yang sudah terjadi pada kehidupan masyarakat desa. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *