KPU-Bawaslu: Mungkinkah Menjadi Badan Ad Hoc?

Pemilu dan Pilkada serentak telah menjadi salah satu tonggak penting dalam proses demokrasi Indonesia. Dengan digelarnya Pemilu serentak 2024 yang mencakup pemilihan presiden, anggota legislatif, serta Pilkada serentak di tahun yang sama, kompleksitas pelaksanaan demokrasi semakin nyata.

Di tengah dinamika tersebut, muncul wacana untuk menjadikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai badan ad hoc. Wacana ini memunculkan berbagai pandangan, baik dari sisi kepraktisan maupun risiko terhadap stabilitas demokrasi di Indonesia.

Pada dasarnya, pemilu serentak menghadirkan tantangan logistik, administratif, dan pengawasan yang luar biasa. Pemilu 2024 mencakup pemilih dari Sabang hingga Merauke, dengan ratusan juta orang yang harus dilayani oleh sistem pemilu. Proses ini melibatkan pengadaan logistik skala besar, penyediaan tenaga kerja, serta pengawasan ketat untuk memastikan hasil yang kredibel.

KPU, sebagai penyelenggara utama, dan Bawaslu, sebagai pengawas, menjadi garda depan dalam memastikan pelaksanaan pemilu berjalan lancar. Namun, sering kali kedua lembaga ini menghadapi kritik terkait efektivitas, beban kerja, dan independensinya. Dalam konteks ini, muncul gagasan untuk menjadikan KPU dan Bawaslu sebagai badan ad hoc, sebagaimana Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) atau Panitia Pemungutan Suara (PPS), untuk menyederhanakan struktur organisasi dan mengurangi beban biaya tetap.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Badan ad hoc adalah badan yang dibentuk hanya untuk jangka waktu tertentu, biasanya untuk menjalankan tugas khusus sebelum dibubarkan setelah tugas tersebut selesai. Jika KPU dan Bawaslu diubah menjadi badan ad hoc, maka keduanya hanya akan aktif selama proses pemilu berlangsung, dengan anggota yang diangkat sementara waktu.

Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah efisiensi anggaran. Mengubah KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc dapat mengurangi biaya tetap seperti gaji pegawai dan operasional sehari-hari di luar periode pemilu. Selain itu, sistem ad hoc memungkinkan pembaruan anggota untuk setiap periode pemilu, yang berpotensi mengurangi praktik nepotisme dan memperbaiki independensi.

Namun, perubahan ini juga memiliki konsekuensi serius. Sebagai lembaga permanen, KPU dan Bawaslu saat ini memiliki kapasitas untuk terus mengembangkan sistem pemilu yang lebih baik berdasarkan pengalaman masa lalu. Jika menjadi badan ad hoc, kesinambungan ini akan terganggu, dan risiko ketidaksiapan anggota baru menjadi lebih besar.

Sebab, idependensi KPU dan Bawaslu adalah elemen kunci dalam memastikan pemilu yang adil dan bebas. Sebagai badan permanen, keduanya telah menunjukkan kapasitas untuk menolak intervensi politik, meskipun belum sepenuhnya bebas dari kritik. Transformasi menjadi badan ad hoc dapat meningkatkan kerentanan terhadap intervensi politik, terutama jika proses rekrutmen dan penunjukan personel tidak transparan.

Selain itu, pengalaman menunjukkan bahwa pemilu di Indonesia sering kali menghadapi tantangan hukum dan konflik di lapangan. Sebagai badan permanen, KPU dan Bawaslu memiliki waktu untuk menyelesaikan sengketa dan melakukan evaluasi mendalam terhadap kelemahan dalam sistem pemilu. Jika hanya bekerja secara ad hoc, tugas-tugas pasca-pemilu seperti penanganan sengketa hasil atau perbaikan sistem bisa terabaikan.

Konsep Hybrid

Sebagai kompromi, muncul ide untuk mengadopsi sistem hybrid, di mana KPU dan Bawaslu tetap menjadi badan permanen, tetapi dengan struktur yang lebih fleksibel. Dalam pendekatan ini, hanya personel di tingkat daerah atau lapangan yang bekerja secara ad hoc, sementara struktur inti di tingkat pusat tetap berfungsi sepanjang tahun.

Pendekatan ini memiliki beberapa kelebihan. Di satu sisi, efisiensi anggaran dapat tercapai dengan mengurangi jumlah personel tetap di tingkat daerah. Di sisi lain, kesinambungan kelembagaan tetap terjaga di tingkat pusat, sehingga pengembangan sistem pemilu tetap dapat berlangsung tanpa gangguan.

Namun, implementasi sistem hybrid ini memerlukan pengaturan hukum yang jelas. Pemerintah dan DPR harus merevisi undang-undang terkait pemilu dan pilkada, memastikan pembagian tugas yang tepat antara personel ad hoc dan permanen, serta menjamin independensi KPU dan Bawaslu di semua tingkat.

Namun demikian, transformasi KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc bukanlah keputusan yang sederhana. Meskipun menjanjikan efisiensi anggaran, perubahan ini juga membawa risiko besar terhadap independensi dan kualitas demokrasi di Indonesia.

Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia membutuhkan lembaga penyelenggara pemilu yang kuat, independen, dan berkesinambungan. Wacana badan ad hoc harus dipertimbangkan dengan cermat, dengan fokus pada kepentingan jangka panjang demokrasi. Jika tidak, risiko instabilitas dan menurunnya kepercayaan publik terhadap proses pemilu dapat menjadi ancaman serius bagi masa depan politik Indonesia.

Mengingat pelajaran lalu, pemilu serentak 2024 menjadi ujian besar bagi sistem demokrasi Indonesia. Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan reformasi kelembagaan yang tidak hanya efisien tetapi juga mampu menjaga integritas pemilu. Apakah KPU dan Bawaslu akan tetap sebagai lembaga permanen atau berubah menjadi badan ad hoc?

Jawabannya harus didasarkan pada kajian mendalam, bukan sekadar pendekatan pragmatis. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan sekadar proses, tetapi juga komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kedaulatan rakyat.

 

Oleh: Ahmad Anwar Musyafa’ 

Penulis adalah Pemerhati Demokrasi dan Kepemiluan 

 

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *