Sirah Nabawiyah dan Sejarah Kodifikasinya [Bagian I]

Sirah Nabawiyah dan Sejarah Kodifikasinya [Bagian I]
Ilustrasi [Ist]

Dengan wafatnya Rasulullah Saw., maka periode Islam sesungguhnya telah sempurna dan dimulailah kemudian periode umat Islam. Periode pasca Rasul ini terkadang sangat mendekati Islam, bahkan bertaut dengannya, namun tidak jarang pula sangat jauh dari Islam, bahkan melarikan diri darinya. Karena itu, dalam setiap kondisi dan periode, sejarah sama sekali tidak suci sehingga memungkinkan bagi seorang pemikir dan para ahli untuk mendekatinya atau menganalisis setiap kejadian-kejadiannya (Farag Fouda, Al-Haqiqah al-Ghaibah, (Mesir: Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, 2003), Cet. II, hal. 4.).

Semua peristiwa dalam sejarah dapat menjadi argumen bagi orang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam, atau sebaliknya, justru dapat menjadi bumerang bagi mereka. Fakta-fakta sejarah dapat menjadi senjata mereka atau justru senjata yang akan melukai mereka. Tidak ada argumen yang lebih kokoh selain fakta sejarah, landasan peristiwa, dan dalil faktanya. Karena itu, tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yang menjadi rujukan mereka. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh orang-orang yang merasa itu berada di pihak mereka.

Seorang tokoh ahli sejarah, Marshall G. Hodgson, berpandangan sangat unik mengenai sejarah dunia. Dia berpendapat bahwa orang tidak akan bisa memahami sejarah dunia, terutama sejarah modern ini, kalau tidak memahami sejarah Islam (Budhy Munawar-Rachman (ed), Ensiklopedi Nurcholish Madjid; Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), Jilid. 2, hal. 1644.).

Namun timbul pertanyaan, sejauh mana pengetahuan kita tentang sirah nabawiyah yang kita gunakan sebagai sumber hukum dalam memahami agama? Apakah kita memang sudah mengetahui hakikat dari definisi sirah yang sebenarnya? Bagaimana kita membedakan term-term yang serupa dengan sirah?

Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis akan mencoba memberikan penjelasan tentang sirah nabawiyah dari segi definisi dan berbagai term yang memiliki kemiripan hal ini mengingat dalam bahasa Arab, untuk menunjukkan sejarah, sering digunakan terma tarikh dan qishah dan untuk biografi sering menggunakan terma sirah. Dan melalui tulisan ini, penulis juga akan mencoba menjelaskan sejarah kodifikasi sirah nabawiyah.

Definisi Sirah Nabawiyah

Kata sirah secara bahasa berarti “jalan” (thariqah) atau “perilaku” (sunnah) (Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.th.), Vol. 4, hal. 390.). Dalam konteks historiografi, sirah berarti perjalanan hidup atau biografi. Jika disebut sirah saja, tanpa dihubungkan dengan nama tokoh tertentu, maka yang dimaksudkan adalah perjalanan hidup atau biografi Nabi Saw. (Badri Yatim, Historiografi Islam,  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 196.).

Secara terminologis, ada beberapa pendapat beberapa tokoh tentang pendefinisian sirah.

Menurut Sa’d al-Murshifi, sirah adalah “perjalanan hidup Nabi Saw. sejak munculnya berbagai irhas (kejadian luar biasa sebelum kenabian) yang melapangkan jalan bagi kenabiannya, sesuatu yang terjadi sebelum kelahiran, saat kelahiran, pertumbuhan, sampai diangkat menjadi Nabi, lalu menjalankan dakwahnya, hingga akhirnya meninggal dunia.” (Sa’d al-Murshifi, al-Jami’ al-Shahih Li al-Sirah al-Nabawiyah,  (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah, 1994), hal. 62.).

Menurut Zakaria Bashier, sirah  adalah the study of the life and career of the Prophet Muhammad, shallallah ‘alaih wa sallam, as it happened in history.

Maksudnya studi tentang kehidupan dan karier dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana hal itu terjadi dalam sejarah. (Zakaria Bashier, Sunshine at Madinah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1990), hal. 11.).

*Bersambung.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *