Simbiolisme Simbol Tak Bersimbol

Ernst Cassirer pernah menyebut manusia sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum). (The Liang Gie, Suatu Konsep Ke Arah Pengertian Bidang Filsafat.1977:127-128). Ia menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol.

Secara kebahasaan, kata simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos, yang berari “tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang”.  W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan bahwa simbol adalah “semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu”. Misalnya warna putih merupakan simbol kesucian, gambar padi simbol kemakmuran dan kopiah atau songkok merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga negara RI.

Warna merah pada lampu traffic light berarti berhenti. Mempersilahkan kendaraan pada jalur lain untuk melaju. Simbol warna pada lampu traffic light jika dipatuhi akan berdampak salah satunya pada kemacetan dan hal yang negatif berupa kecelakaan. Maka, jangan heran. Jika ada yang menerobos lampu traffic light saat menyala merah akan kena tilang. Itulah jika simbol telah bermakna.

Namun akhir-akhir ini, saya pribadi merasa takut karena sepertinya simbol hanyalah simbol. Seakan-akan simbol sudah tidak bersimbol. Tidak memiliki makna dan nilai.

Video aksi pembakaran bendera bertuliskan Kalimat Tauhid yang terjadi di Garut, Jawa Barat pada saat perayaan Hari Santri Nasional membuat miris siapa yang melihatnya. Meskipun berdalih bahwa niat para oknum hanya membakar bendera organisasi yang dilarang.

Teringat peristiwa pada tahun 2011. Dua sekolah di Karanganyar, Jawa Tengah terancam ditutup jika tetap menolak menghormat bendera Merah Putih. Pengurus kedua sekolah tersebut berkeyakinan, menghormat benda mati, termasuk bendera, adalah perbuatan syirik. Kedua sekolah itu adalah SMP Al-Irsyad di Kecamatan Tawangmangu dan SD Islam Sains dan Teknologi (SD-IST) Al-Albani di Kecamatan Matesih.

Jika simbol negara tidak diperlakukan dengan baik, kita marah. Lalu, bagaimana perasaan kita jika simbol agama diperlakukan tidak baik? Dan kita sebagai umat Islam, bagaimana kita harus bersikap terhadap simbol?

Simbol Pada Zaman Rasulullah Saw.

Pada zaman Rasulullah Saw. simbol agama Islam, menurut sebagian sejarawan muslim terletak pada bendera yang bertuliskan kalimat Tauhid dengan bunyi “Lā Ilāha illa Allāh Muammad Rasūl Allāh”, ada juga sebagian sejarawan yang menyebut bendera atau panji dengan tulisan “Muammad Rasūl Allāh”.

   Setiap peperangan, simbol bendera ini senantiasa dibawa. Bahkan ada perintah khsus dari Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya yang bertugas membawa bendera agar jangan sampai bendera itu jatuh ke tanah atau pun dirampas oleh musuh.

Maka, dalam sejarah Islam terdapat beberapa kisah patriotisme para sahabat Nabi Saw. yang sanggup dipotong kedua tangan mereka dan akhirnya mati syahid karena membawa bendera Islam sewaktu peperangan melawan orang-orang kafir. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pengorbanan para sahabat dalam memperjuangkan dan mempertahankan agama Islam.  Mereka itu seperti Mus’ad ibn ‘Umair, Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan masih banyak yang lainnya.

Bendera Islam sangat diagungkan pada saat itu. Namun tidak hanya bendera Islam saja yang mendapatkan perhatian untuk dimulyakan. Ternyata ada simbol-simbol lain yang juga mendapatkan penghormatan dari Rasulullah Saw. yaitu simbol dalam bentuk lukisan.

Keterangan tentang penghormatan Rasulullah Saw. kepada simbol dalam bentuk lukisan terdapat dalam kitab Tarīkh Makkah al-Musyrifah wa al-Masjid al-arām wa al-Qabr asy-Syarīf karya Abū al-Baqā’ Muḥammad bin Aḥmad bin Muḥammad bin adh-Dhiyā’ al-Makkī yang dicetak di kota Beirut penerbit Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cetakan Pertama tahun 1997 M./1418 H. pada halaman 99-100, dan kitab Akhbār Makkah wa Mā Jā`a Fīhā min al-Aār karya Abū al-Walīd Muḥammad bin Abdullah bin Aḥmad al-Azraqī yang dicetak di kota Makkah penerbit Maktabah al-Asadī, Cetakan Pertama tahun 2003 M./1424 H. pada halaman 248-249.

    Dalan dua kitab tersebut diceritakan bahwa saat Fatu Makkah, Rasulullah Saw. dan para sahabatnya mendapati di dalam Ka’bah terdapat beberapa shūrah (gambar atau lukisan) yang dijadikan objek sesembahan oleh para kaum kafir Quraisy. Gambar atau lukisan itu antara lain gambar pohon, gambar malaikat, gambar Nabi Ibrahim memegang anak panah (seolah-olah sedang mengundi nasib), gambar Nabi Isa dan gambar ibu Maryam.

 Melihat ada beberapa gambar tersebut, Rasulullah Saw. memeritahkan sahabatnya Fadhl bin ‘Abbas bin ‘Abd al-Muthallib untuk menghapus gambar-gambar tersebut dengan air Zam-zam. Namun ada dua gambar yang tidak dihapus atas perintah Rasulullah Saw yaitu gambar Nabi Isa dan Ibu Maryam.

Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa hanya dua gambar itu yang tidak dihapus? Apakah itu memang benar-benar gambar asli dari Nabi Isa dan Ibu Maryam?

Saya belum menemukan bukti otentik apakah gambar itu asli atau tidak. Namun, yang menarik adalah tindakan Rasulullah Saw. menjaga simbol gambar yang diagungkan oleh pemeluk agama lain sebagai bentuk rasa toleransi Rasulullah Saw. Maka, jika dengan simbol milik agama lain saja Rasulullah Saw. memberikan penghormatan, apalagi simbol agamanya sendiri. Tentu pengormatan yang setinggi-tingginya akan diberikan.

Lalu, sudahkah kita mencontoh Rasulullah Saw. dalam memberikan penghormatan terhadap simbol agama?

Simbol Tak Bersimbol

Ada salah satu tulisan Nurcholish Madjid yang menarik untuk kita renungkan bersama. Tulisan dengan judul “Sekularisasi I”. Kita bisa mebacanya dalam buku “ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID; Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban” jilid 4 karya Budhy Munawar-Rachman, yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2006, pada halaman 2971.

Dalam tulisan yang terdiri dua paragraf tersebut, Nurcholish Madjid mengajak kita merenung mengenai lambang negara kita, Burung Garuda. Kenapa kita sekarang dengan rileks memasang gambar Garuda di kantor-kantor kita, padahal burung itu adalah kendaraan Dewa Wisnu? Apakah kita tidak takut musyrik? Tidak. Karena menurut Nurcholish Madjid, garuda itu sudah kita “bunuh” begitu rupa sehingga fungsinya sekarang tinggal dekorasi atau ornamen.

Contoh lain adalah lambang kampus ITB di Bandung, yaitu Patung Ganesha. Itu lebih gawat lagi karena Ganesha adalah Dewa Ilmu. Apakah para mahasiswa ITB ngalap berkah dari patung Ganesha itu? Jelas tidak. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha, tetapi bersembahyang di Masjid Salman. Mengapa? Karena Ganesha sebagai Dewa sudah “dibunuh”. Proses ini, menurut penjelasan Nurcholish Madjid, secara sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadang-kadang juga demitologisasi. Dalam garis pikiran seperti itulah Almarhum Buya Hamka, misalnya, pernah menyatakan suatu pendapat bahwa seni patung itu halal, karena hanya seni. Dulu mungkin orang membuat patung untuk disembah. Tetapi ketika sekarang orang membuat patung hanya suatu ekspresi seni, itu sah-sah saja. Yang penting dasar dalam hati ialah Lā Ilāha illa Allāh. Demikian sekilas kutipan tulisan dari Nurcholish Madjid.

Sekarang, mari kita renungkan! Jika dengan lambang negara berupa burung garuda dan lambang kampus ITB saja kita bisa berdamai. Kenapa kita tidak bisa berdamai dengan lambang atau simbol milik agama kita sendiri yaitu kalimat “Lā Ilāha illa Allāh Muammad Rasūl Allāh”. Padahal kalimat ini merupakan kalimat agung yang kata Rasulullah Saw. kunci seseorang bisa masuk surga.

Memang, kita wajib patuh dengan keputusan negara untuk menolak semua organisasi yang telah dilarang. Tapi, apakah kepatuhan harus meniadakan rasa pengormatan? Jika memang mau bakar, bakar saja tulisan HTI. Jangan bakar tulisan yang jadi simbol agama kita.

Saya secara pribadi takut, jika kejadian aksi pembakaran ini tidak segera ditangani oleh pihak yang berwajib, lama-lama simbol Islam akan hilang semua, gara-gara simbol Islam digunakan oleh para oknum yang ingin menghancurkan agama Islam. Lama-lama, orang yang di rumahnya memiliki kaligrafi bertuliskan kalimat Tauhid bisa dibakar, gara-gara dianggap simpatisan HTI. Miris.  

Ingat. Allah Swr. Dalam al-Qur’an telah mengingatkan kita:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu termasuk dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj [22] ayat 32)

Kata sya‘āir adalah bentuk jamak dari kata syi‘ār yang antara lain berarti “simbol, slogan, semboyan, motto, logo, emblem (rancangan atau lukisan yang mengandung makna tertentu; lambang), lencana, tanda”. Dan kalimat Tauhid termasuk syi‘ār Allah. Dan pengagungan kita atas kalimat Tauhid akan menghantarkan kita mendapatkan derjat Takwa. Semoga.

Wa Allāhu A’lām bi ash-Shawāb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *