“Le, 10 menit adzan subuh lho.”

Suara bising dari mulut Ibu hampir di setiap pagi. Ibu memang membiasakan dirinya untuk Sholat Malam dan bangun pagi, sering kali juga membangunkan diriku, tapi aku sangat malas sekali untuk bangun.

“He emm, Bu.”

Kubersihkan kotoran yang ada di mataku, kemudian duduk untuk mengumpulkan nyawa, istilah anak pondok ketika dibangunkan oleh Pengurus, haha. Kalau sampai aku tidak bangun, ibu bisa mengeluarkan langgamnya yang khas “Le, bagus anak sholeh ayo bangun!” Sampai aku bangun.

Kemudian aku bersiap siap untuk melaksanakan sholat Subuh, seperti biasa, bapak sudah siap dan mengeluarkan motor untuk berangkat menuju masjid. Sebenarnya ada mushola di dekat rumah, tapi bapak lebih memilih masjid yang agak jauh. Setelah aku siap, kami berangkat menuju masjid.

Udara dingin menyelimuti, tapi tak sedingin jika aku yang mengendarai motor sendiri, bapak di depan sebagai benteng dari udara dingin di pagi hari, kadang aku juga heran, kenapa bapak tak merasa dingin. Sesampai di masjid, bapak langsung menuju shaff awal untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyah subuh dan tahiyatul masjid.

Aku lebih memilih di belakang, selesai sholat sunah bisa ngobrol dengan teman-teman. Selama beberapa menit, iqomah dikumandangkan. Kami bergegas masuk untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah.

“Allahu Akbar!”

Suara seorang Imam yang menandakan sholat telah dimulai, seluruh jamaah mengikuti gerakannya dengan tuma’ninah sampai selesai dengan salam. Sesuai tradisi yang ada, selesai sholat seluruh jamaah bersalam salaman, aku pun tak lupa menuju bapak yang berada di depan untuk bersalaman dengan beliau. Bapak selalu dzikir lebih lama, sehingga aku terkadang tertidur menunggunya.

“Le, bangun, ayo pulang!”

Suara bapak yang tak terlalu keras tapi cukup untuk membangunkanku. Sampai di rumah, tak lupa aku membaca Alquran, walaupun hanya satu halaman. Setelah itu bersiap siap untuk sekolah.

Baca Juga  Hafal atau Pernah Menghafal al-Qur'an?

“Nang, baju sekolahmu di sini, tinggal setrika sendiri.”

Suara ibu dari kamarnya, tak heran, walaupun terkadang merasa kesal, mengapa tidak ibu sendiri yang menyitrika.

Nggeh, Bu.”

Aku menaruh baju di tempat setrika, kemudian lanjut menyiapkan bekal yang harus aku siapkan sendiri bahkan memasaknya sendiri, ibu hanya membuat adonan, lalu aku menggorengnya sendiri, seperti bakwan. Selesai dari masak, aku pergi mandi.

“sudah siap semua, tinggal berangkat, ayo, Mbak!”

Suaraku mengajak kakakku yang perempuan nomer 2, sering kali masih sibuk berdandan yang cukup membuatku jengkel, apalgi suaranya yang sering menyanyikan lagu Kpop.

Seperti sekolah sekolah yang lain, aku mengikuti pelajaran yang ada. Beberapa teman memilih untuk bolos bahkan ada juga yang tidur di kelas. Aku memiliki teman yang cukup menarik dan hebat, ada salah seorang yang selalu aku panggil Abang bahkan terkadang Habib, karna wajahnya mirip dengan Habib Alwi. Ketika istirahat, aku dengan beberapa teman memilih untuk membawa bekal dan makan di kelas bersama. Abang selalu bercerita tentang kehidupannya yang begitu menginspirasi hidupku.

“Bang, kegiatanmu setelah sekolah, apa sih?” tanyaku

“Emmm paling makan, hahaha. Selesai sekolah, makan trus ganti baju, setelah itu ngarit sampai Ashar, lanjut mandi trus ngaji sampai maghrib, trus latihan silat ASAD sampai tengah malam biasanya.”

Jawabnya dengan penuh wibawa yang membuatku kagum.

“La trus belajarmu kapan?” tanyaku lagi

“yaa pokok setelah selesai semua,” balasnya

Aku cukup heran, rata-rata temanku bercerita tentang tangannya terluka terkena arit, karna mencari pakan untuk ternak. Aku tak punya ternak, sehingga hanya bisa mendengarkan dan terkadang ingin juga seperti mereka yang bisa membantu orang tua. Ada juga yang membantu orang tua untuknberes beres rumah.

Aku tak pernah bercerita kegiatanku kepada teman teman. Sebab, hari-hariku kebanyakan hanya diisi oleh main dan main. Di SMP, aku tak pernah belajar dengan serius. Semua itu, karna doktrin para Kyai bahwa pintar atau bodoh semua adalah kehendak Tuhan. Aku merasa bodoh sekali ketika mengingat pernah mengiyakan kalimat itu.

Baca Juga  Pertolongan Allah

Aku bertanya ke Abang, apa yang membuat dia begitu taat kepada orang tuanya,

“Him, saya nggk tau hal apa yang bisa membuat saya sukses, tapi setidaknya saya bisa membuat orang tua saya senang.”

Itulah kata kata Abang yang sering aku ingat. Dia selalu menjadi juara kelas, juara banyak lomba, bahkan jadi Ketua OSIS tanpa mencalonkan diri, tetapi ditunjuk oleh guru-guru, karena kehebatannya. Aku selalu ingin menjadi seperti dirinya, membuat orang tua senang.

“Tapi, yang sering diperintahkan oleh Ortu saya adalah ngaji, terserah saya ranking atau tidak, yang penting ngaji bagus, dan alhamdulilah saya punya hafalan 4 juz.”

Aku semakin kaget, bagaimana dia bisa menghafal, aku saja juz 30 belum selesai selesai. Dari situ aku mulai rajin dalam hal mengaji, karna aku tak pernah tau, hal apa yang membuat orang tuaku senang.

Kuihat ibuku sangat senang sekali melihat acara TV hafidz quran.

“Ma sya’a Allah, masih kecil dah hebat hebat, sampean nggk mau jadi hafidz, Le?” tanya Ibu.

Aku memiliki kemampuan menghafal yang cukup baik, itupun yang mengatakan adalaha guru ngajiku.

“Yaa pengen, hehe,” jawabku sambil senyum-senyum.

“la sampean mau lanjut kemana setelah ini?” tanya ibuku sambil menyuruhku duduk di sampingnya, kemudian dilanjutkan dengan  mengelus elus rambutku.

“Emm, bingung, mondok ae lahh,” jawabku asal asalan.

Entahlah, aku bingung. Mungkin dengan mondok, kemudian aku menghafal Alquran, hal itu yang bisa membuatku senang. Sebab, guru agama di sekolah menunjuk diriku dan abang utnuk mengaji di depan para orang tua ketika hari ahad di sekolah, setiap hari ahad pasti ada acara pengajian. Dari 300 siswa aku terpilih untuk ngaji di depan banyak orang. Hal itu yang membuat ibu senang. Sebenarnya aku sangat malas sekali mengikuti kegiatan seperti itu, mau bagaimana lagi, ibu selalu ingin melihat aku tampil di depan. Bapak tak memperdulikan hal seperti itu.

Baca Juga  Abah, Tak Pernah Berhenti Melangkah

“Mau mondok di mana?” tanya ibu penasaran.

Adikku sudah mondok yang tempatnya lumayan dekat dengan rumah. Aku ingin tempat yang jauh, aku memang tak seperti saudara saudaraku yang selalu berebutan minta dicium oleh ibu. Aku terkadang menolak ketika dicium, tapi itulah kasih sayang.

“Kediri saja, menemani Mbah Uti, sekalian bantu Bude di tempat makan e,” jawabku asal-asalan lagi.

Sebelumnya bapak sudah menawari untuk mondok di tempat temannya, tapi aku belum mengiyakannya. Karena aku bingung, aku mengikuti bapak saja

“Pondok e di mana, Bapak?”

“Rembang, Jawa Tengah, Le. Sampean mau di sana?” tanya Bapak

“He em, bingung mau ke mana, di situ wae,” jawabku agak kurang mantap.

“Yaudah, nanti Bapak e bilang ke temen e Bapak,” jawab Bapak sambil melanjutkan membuka apk yang ada di gawainya.

Keputusan sudah bulat, aku mondok di Rembang Jawa Tengah, tepatnya di Planet Nufo. Sebelum berangkat mondok, ibu berpesan banyak hal

“Le, mondok e serius, jangan sampai tergoda. Kalau punya jajan dibagi-bagi, nggak boleh pelit. Nurut ama Ust/Usth. Jangan iri, harus menjadi contoh yang baik,” ucap Ibu sambil mengelusku, memelukku, dan menciumku.

Sebelum mondok, aku tak suka seperti itu. Namun, semakin aku besar, aku menjadi rindu dengan hal-hal seperti itu. Bagaimanapun juga aku adalah laki laki, harus menahan beberapa rasa, agar bisa menjadi contoh yang baik bagi teman-teman. Maaf kan aku yang jarang menelopon dan mengabari. Hehe.

 

Oleh: Moh. Fahim Al-Ghifari, Sanja SMK Alam Planet Nufo Mlagen Pamotan Rembang, Pengurus Bidang PIP Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Rembang. 

Pesan Sederhana

Previous article

Ambisi Baru untuk Tahun 2023

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi