Oleh: Dr. Mohammad Nasih, pengasuh Pesantren Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah MONASH INSTITUTE Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.
Tulisan ini saya buat dengan latar belakang kekeliruan pandangan sebagian orang, terutama para orang tua, tentang menghafalkan al-Qur’an. Sejak saya membuka program beasiswa Monash Institute pada 2011 untuk kuliah bagi lulusan SMU, kemudian ada “jalur khusus” untuk para penghafal al-Qur’an, saya memiliki kesempatan berinteraksi dengan makin banyak mereka yang mendaftar melalui jalur khusus tersebut.
Ada yang mendaftar dengan pengakuan telah hafal belasan juz, bahkan sudah khatam 30 juz. Namun, dari puluhan pendaftar itu, hanya tiga orang saja yang hafalan mereka bisa disimak dengan lancar. Pada umumnya lupa-lupa ingat. Dan bahkan yang sangat mengagetkan adalah juz satu pun tidak bisa disimak.
Setelah memiliki sedikit pengalaman tentang fenomena tersebut, pada tiga tahun terakhir ini, kepada yang mendaftar melalui jalur ini, saya lakukan wawancara khusus untuk memastikan hafalan mereka dengan berbagai tujuan. Dan hasilnya sama. Sebagian besar mereka sesungguhnya belum sampai pada level hafal al-Qur’an. Inilah yang menurut saya perlu bahkan penting diketahui dan dipahami oleh para orang tua yang sangat mendambakan anak-anak mereka menjadi para penjaga kalam Tuhan. Dengan pengetahuan ini, para orang tua bisa turut berperan membantu anak-anak mereka untuk menjadi hafidh/ah yang sesungguhnya.
Dalam wawancara, yang saya lakukan dengan berbagai cara, baik langsung, telephone, maupun video call, biasanya, pertama kali saya tanyakan berapa juz yang dihafal? Setelah mendapatkan jawaban itu, saya tanyakan berapa juz melakukan muraja’ah (mengulang) per hari? Hanya tiga orang yang hafalannya bagus di atas itulah yang memberikan jawaban melakukan muraja’ah minimal lima juz. Sedangkan yang lain, menjawab hanya kurang dari tiga juz per hari. Bahkan, ada yang dengan sangat percaya diri mengatakan satu juz saja per hari.
Kepada mereka, saya lalu memberikan semacam tantangan “bisa saya simak sekarang?”. Yang melakukan muraja’ah minimal lima juz per hari bisa menghafal dengan baik. Sedangkan sebagian besar mereka memberikan jawaban hanya beberapa juz saja yang lancar disimak. Dan ketika saya lakukan checking, sebagian besarnya juga ternyata mengalami banyak kekeliruan yang di luar batas toleransi yang saya berlakukan di Monash Institute untuk bisa lulus sebagai penghafal al-Qur’an.
Standar sederhana yang saya berlakukan adalah jumlah kesalahan tidak boleh melebihi jumlah halaman yang disetorkan. Sekedar informasi, para penghafal al-Qur’an pada umumnya menggunakan mushaf yang sering disebuat “Qur’an sudut” atau “Qur’an pojok”, karena di setiap sudutnya adalah akhir ayat. Satu juz terdiri atas 20 halaman (kecuali juz 1 dan 20), sehingga totalnya adalah 604 halaman. Dengan demikian, dalam setoran hafalan, jumlah kesalahan per juz tidak boleh lebih dari dua puluh kali. Jika kesalahan melebihi halaman yang dibaca, maka penyetor saya anggap gugur dan harus mengulang.
Karena itu, sebelum maju menyetor hafalan, saya meminta mereka memastikan dulu dengan cara sima’an minimal satu juz dengan sesama santri penghafal al-Qur’an dengan kesalahan yang terjadi tidak boleh lebih dari dua puluh kali, bahkan kadang tidak boleh dari lima belas kali. Dan sima’an dengan sesama santri itu harus dilakukan minimal tiga kali.
Kalau bisa sekali, kami sepakati sebagai kebetulan. Dua kali, kami tetap anggap sebagai kebetulan. Kalau sudah tiga kali dan sesuai standar, maka kami anggap tidak lagi kebetulan. Hafalan sudah kami anggap cukup kuat, sehingga siap setoran satu juz tanpa gugur dan menyita waktu saya.
Hafalan yang tidak terjaga oleh para penghafal al-Qur’an, sesungguhnya murni kekeliruan mereka sendiri. Sebab, mereka tidak melakukan disiplin diri yang cukup untuk sampai taraf sikap istiqamah muraja’ah minimal lima juz, lebih baik lagi enam juz, atau setara dengan itu, per hari. Itu terjadi karena mereka merasa bahwa hafalan mereka baik-baik saja. Dan itu dipicu oleh setoran yang lancar karena menyetor hanya satu atau dua halaman saja setiap hari kepada guru.
Tentu saja, menyetor hafalan hanya satu atau dua halaman saja, jauh lebih mudah. Dan yang mengejar segera khatam menghafal, yang dilakukan adalah menghafalkan halaman berikutnya, tetapi tidak mengulang halaman sebelumnya yang sudah dihafal, dengan asumsi umum bahwa yang sudah dihafal akan tetap bisa diingat. Padahal, pada umumnya tidak demikian.
Pada banyak contoh kasus, jika ayat-ayat yang sudah dihafal itu tidak diulang-ulang setiap hari, maka akan mudah hilang dari ingatan. Analog kecil-kecilan adalah kebanyakan orang shalat menjadikan surat-surat pendek setelah bacaan al-Fatihah sebagai pilihan.
Pada umumnya, surat pilihan tidak keluar dari 14 surat terakhir al-Qur’an. Bahkan bisa jadi hanya lima surat terpendek dan sering dibaca dalam berbagai perkumpulan, yaitu: al-Naas, al-Falaq, al-Ikhlash, dan dua yang lain adalah yang terpendek, yakni: al-Kautsar dan al-Ashr. Semakin diulang, maka semakin hafal. Sementara surat yang lain, karena tidak sering diulang, maka tidak digunakan dalam shalat, dan makin terlupakan.
Dalam konteks itulah muraja’ah sangat diperlukan dan bahkan sangat penting. Dalam hal ini, bahkan Nabi Muhammad telah mengingatkan:
”Sesungguhnya perumpamaan shahib al-Qur`an seperti pemilik onta yang bertali kekang. Jika ia terus-menerus menjaganya (tali) atasnya (onta) ia menahannya. Namun, jika ia melepasnya (tali) maka ia (onta) pergi”, (HR. al-Bukhari).
Karena itulah, para penghafal al-Qur’an, harus membangun sikap hidup istiqamah (konsisten) dalam muraja’ah untuk mempertahankan hafalan al-Qur’an. Para orang tua, perlu membantu mereka untuk memiliki kebiasaan itu, sampai benar-benar menjadi bagian dari karakter. Untuk memotivasi diri sendiri penghafal al-Qur’an, agar memiliki dorongan untuk muraja’ah sampai minimal lima juz, salah satu yang bisa dijadikan pilihan adalah memahami artinya.
Dengan memahami artinya, maka akan ada perasaan mendapatkan sesuatu yang baru karena menangkap pemahaman yang sebelumnya tidak dimiliki. Pemahaman itu bisa memicu dorongan membaca lebih banyak lagi demi menemukan hal-hal baru lainnya. Dan al-Qur’an dalam konteks ini adalah mata air yang tak pernah kering. Jika dituliskan dengan tinta sebanyak air laut yang dilipatgandakan, maka tak akan pernah habis inspirasinya. Itu akan melahirkan dorongan semangat untuk terus membacanya, walaupun diulang-ulang. Sebab, semakin banyak mengulang, maka sebanyak itu pula potensi mendapatkan pemahaman baru dari sisi yang berbeda dan saling melengkapi. Semuanya bagaikan sisi-sisi permata yang menghasilkan berbagai warna kerlipan cahaya yang memesona.
Sedangkan orang tua, perlu memfasilitasi agar anak yang menghafalkan al-Qur’an memiliki tantangan atau setidaknya tekanan untuk mempertahankan hafalan mereka dengan baik. Tentu saja, tekanan itu harus diberikan dengan level dan cara yang pas. Sebab, jika tidak, maka kelalaian mereka akan terlihat jelas. Ibu saya bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Beliau memiliki aturan untuk anak-anaknya, terutama saya yang dianggap paling berpotensi untuk tidak menjaganya karena berpikir liberal (2001 s/d 2006), berupa kewajiban sima’an minimal setahun sekali saat haul ayah kami.
Sehari menjelang acara puncak berupa pengajian akbar, saat masih kuliah dulu, kami harus pulang, dan harus sima’an 30 juz dalam sehari penuh, dimulai pukul 06.30 sampai menjelang maghrib, dengan istirahan hanya untuk shalat dhuhur dan ashr, dengan penyimak minimal dua orang. Sima’an dilakukan dengan bacaan relatif cepat dan menggunakan pengeras suara, sehingga ibu saya bisa mendengarnya dari mana pun lingkungan rumah kami.
Suatu ketika, saya mengusulkan agar simaan diganti saja dengan memutar DVD. Dan karena itulah, saya mendapatkan “ceramah keras” dari ibu saya. Aturan yang diberlakukan itu bukan hanya untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an kami, karena sudah kami lakukan sejak kecil, melainkan ingin memastikan bahwa kami benar-benar konsisten menjaganya walaupun hidup jauh darinya. Beliau ingin kami hafal, dan tetap hafal, bukan sekedar pernah menghafalkannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.