“Kamu kenapa,?” kataku ketika melihatnya termenung duduk di atas rumput di tepi Danau.

“aku gak kenapa-napa”, katanya sambil membuang muka.

“ada-ada aja ya asmara kita ini,” kataku memulai percakapan. Kali ini, duduk di sampingnya adalah upaya untuk menenangkannya.

Dia tak menghadapkan wajahnya, hanya suara lirih yang keluar dari mulutnya, “emangnya ada yang aneh, ya,?”.

Duuh, muka cemberutnya itu mengasyikan, seneng aja liatnya. Kalau bisa, gitu aja tiap hari. Cocok jadi cemilan di kala senja bersama secangkir kopi.

“belum memiliki kok sudah cemburu,” kataku. Seketika itu, pipinya mulai memerah. Ia berbalik dan memukul pelan, “iih apaan sih. Siapa juga yang cemburu”.

Padahal, di nadinya mengalir cemburu. Denyutnya denyut kecewa. Mengalun pelan dalam tutur harap yang retak sebelum waktunya.

“Jangan ganggu, aku tengah menikmati cemburu” lagi-lagi mukanya di tekuk layaknya kertas yang sudah tak diperlukan untuk membuat seuntai kalimat yang indah dan bermakna. Atau seperti boneka yang hendak disimpan mana kala tuan putrinya akan meninggalkannya tidur.

Untuk apa sih dia cemburu pada langit yang memekarkan bintang. Padahal cahaya itu murni dari tawanya.

“Cemburu itu karena cara pandang dan pendidikan asmara kita yang kurang tinggi,” begitu kira-kira analisis dari seorang mahasiswa perbucinan.

Duduknya seketika berubah, mukanya kembali cerah. Uraian rambut indahnya mengalun ke bawah. Seketika dia tenang, seketika aku senang, “mari belajar lagi, akan aku ajari cara menata hati,”.

“Kamu tau? Setiap mesramu aku tak pernah cemburu. Jika aku kesal, mungkin itu cuma rindu,” kepalanya seketika tegap. Seolah mendapatkan pemahaman baru akan sesuatu. Terbesit dalam benaknya, Apa mungkin aku pernah cemburu? Ya, pernah. Beberapa kali dan aku tidak mengadu.

Baca Juga  Kapan Dunia Menjadi Milikmu?

“oooh jadi kakak pernah cemburu ya,” sifat kekanak-kanakannya muncul. Senyumnya mengejek. Mata yang minimalis itu semakin rapat dengan senyuman khas di wajahnya. Kacamata itu saja yang terlihat bulat, matanya justru kala tertawa sulit untuk melihat. Tapi aku menyukainya. Cubitannya, meresap bukan ke kulit, tapi terseret sampai ke hati.

“kenapa kakak cemburu,?”

Kiranya kenapa ya? Cemburu itu menurutku hal yang mudah. Semua didasari atas kegelisahan akan kehilangan sesuatu yang indah. Entahlah.

“Cemburu kadang begitu sederhana. Seperti chat kita yang penuh tawa, kemudian kau tambahkan kalimat ‘aku lagi sama dia’,” aku pikir, kalimat itu terlalu berlebihan hanya untuk menenangkan perempuan manja satu ini. Justru nanti dia akan menganggap yang iya-iya.

“Kenapa,?” lagi-lagi pertanyaan itu. Aku mau membaca di kamusnya, sebenarnya selain apa, kenapa, oh, ya, wkwkwk, dan hehe kalimat apa yang dimiliki perempuan. Atau jangan-jangan kalimatnya habis karena jawaban itu ternyata terlontar lewat tangis.

“Denganmu, sadarku tak pernah habis. Aku memilih tuk menjadi egois; terus jadikanmu milikku, hingga waktuku kian menipis,” sudah, hentikan. Hentikan seluruh kalimat yang keluar ini. Merayu itu menyedihkan, tapi dibutuhkan. Agar ia tak larut dalam kubangan kesedihan yang mendalam.

“Denganmu, aku menikmati cemburu. Mati atas kita yang tengah memadu rindu di pelataran sembilu,” jawabnya.

“Baiklah, mari menikmati hari ini mumpung masih cemburu. Tenang, setelah kita pulang, kau bisa langsung video call denganku, seperti yang biasa kita lakukan di kala hari berpeluh rindu.”

Alweebee
"Aku telah jatuh cinta dengan deretan kota yang sering ku datangi dan pada orang yang sering ku temui"

    Cinta yang Tersembunyi

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Fiksi Mini