Separuh Jiwa yang Baru

Tata cara bersedekah.
Tata cara bersedekah. Baladena.ID/Istimewa

Aku menyeka nafasku untuk yang ke sekian kali, berusaha bersikap tenang, mencoba memecahkan suasana hening ini yang telah terjadi sejak 10 menit yang lalu, “Bagaimana kabarmu, Lia? Apakah kau baik-baik saja?”

Lia mengangkat kepalanya, menggeleng.

“Bagaimana kabarmu, Dayat? Aku dengar kau akan segera melangsungkan pernikahan dengan salah seorang gadis teman kuliahmu.” Lia bertanya balik.

Aku hanya mampu tersenyum, menandakan jawaban dari pertanyaannya.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Suasana kembali hening. Sungguh hatiku masih belum bisa tenang, nampaknya aku belum bisa melupakannya.

Hempasan angin malam dan deburan suara ombak membuat suasana di restoran ini begitu tenang, membuat siapa saja yang sedang di restoran ini, merasakan relaks yang begitu mendalam. Namun, hanya sedikit sekali pengunjung yang datang, tidak seperti biasanya. Di restoran ini, hanya aku dan Lia yang sedang duduk di sudut ruangan, saling berhadap-hadapan, membuat suasana semakin hening.

“Maafkan aku, Dayat.” Wajah Lia penuh dengan penyesalan.

“Sudahlah. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu sangat jauh.” Aku menelan ludah, berusaha untuk tetap getir menghadapi raut wajahnya. Aku tahu, yang aku lakukan adalah sebuah kebohongan.

Hening kembali menghampiri kami.

“Sungguh, mohon maafkanlah aku. Aku tidak pernah membayangkan jadinya akan seperti ini.” Lia menyeka matanya untuk yang ke sekian kalinya.

Aku menggeleng, “Sudahlah, Lia, kau tidak perlu memohon maaf, semua ini telah terjadi. Dan seharusnya kau tahu, ketika kau meninggalkan aku, aku mencoba membujuk hatiku untuk tetap berdamai dengan keadaan, tetapi itu semua percuma. Sungguh menyakitkan. Mungkin perkataan orang-orang ada benarnya, ketika seseorang pergi dari kehidupan seseorang yang ia cintai, maka separuh jiwanya juga ikut pergi dalam kehidupannya. Lia, kau pergi dari kehidupanku dan bahkan kau membawa separuh lebih dari jiwaku.”

Pancaran bulan purnama begitu indah, membuat respon air di lautan menjadi pasang. Ombak menghantam dermaga begitu keras, suasana menjadi sangat berisik oleh hantaman air laut. Kupandangi lautan luas, kudapati kerlap-kerlip kapal besar yang akan menepi ke dermaga. Kulihat, jari jemari Lia sedang gemetar, tidak kuasa menahan pilunya perasaanku yang telah dia perbuat.

“Kau tahu, berminggu-minggu aku mejalani kehidupanku dengan rasa yang sangat hampa. Kesedihan adalah makanan sehari-hari. Dan kau tahu, yang membuat kesedihan ini semakin menjadi-jadi, aku tidak tahu kenapa secara tiba-tiba kau tega meninggalkanku. Sungguh aku merasa, semua yang terjadi kepadaku adalah mimpi saja. Namun, kau tahu, semakin aku mencoba bangun dari mimpi ini, semakin aku merasakan kesedihan yang amat luar biasa. Tapi ya sudahlah, semua telah terjadi. Delapan bulan berlalu, kehidupanku kuhabiskan hanya untuk mengenang masa lalu bersamamu. Sisanya, kuhabiskan dengan mendengar dan membaca sesuatu yang menggambarkan suasana hatiku.”

“Maafkan aku, Dayat. Maafkan atas segala yang telah kuperbuat kepada dirimu. Aku tidak menyangka, jika nantinya akan seperti ini” Lia berkata sambil air matanya mengalir dari bola matanya. Suara Lia kalah oleh dentuman air laut yang begitu keras.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Lia” Aku berdiri, mencoba merapikan pakainku yang sedari tadi mulai berantakan. Aku memandangi langit-langit atap ruangan ini penuh dengan ukiran batik. Menarik nafas dalam-dalam, sudahlah, untuk apa diingat kembali. Aku kembali duduk dan menatap wajah Lia sambil berkata, “Kau tahu, di tengah kesedihan itu, setidaknya aku bisa mengambil pelajaran yang begitu berharga, aku tidak bisa hidup dengan separuh jiwaku saja. Tidak akan pernah bisa. Aku membutuhkan seorang dokter yang mampu transplantasi separuh jiwaku yang telah hilang. Ya, aku memutuskan untuk melakukan itu, mengganti separuh jiwaku dengan jiwa yang baru”

Hening kembali menyapa, membuat restoran ini menjadi nampak misterius.

Lia mengangkat kepalanya, memandangiku, bertanya dengan penuh keraguan, “Apakah di dalam jiwamu yang baru itu masih terdapat namaku? Aku sungguh menyesal karena aku tidak mempercayaimu. Sungguh. Dan malam ini, aku bermaksud mengembalikan kepercayaan itu.”

***

Delapan bulan silam, masih di tempat yang sama dengan perasaan yang berbeda. Aku mengeluarkan cincin sederhana dari saku celanaku, “Aku tahu ini hanya cincin biasa. Bahkan terlalu biasa untukmu yang begitu spesial di dalam hidupku” Tuturku sambil tersenyum. “Lia, ini adalah cincin yang akan kupakaikan di jarimu ketika nanti aku melamarmu. Apakah kau suka?”

Lia mengangguk. Senyumannya begitu manis, membuatku semakin tenggelam di dalam kegembiraan yang begitu dasyat.

“Kau tahu, Lia, bagaimana kisah berdirinya Taj mahal. Bangunan megah yang masuk kategori sebagai salah satu warisan dunia. Atau kau pernah mendengar kisah penaklukkan raja Rahwana oleh Rama, demi merebut kembali cintanya yang telah diculik?” Tanya aku dengan penuh antusias. “Kisah tersebut adalah sebagian kecil dari kisah perjalanan pengorbanan seseorang demi orang yang mereka cintai”

“Aku belum pernah tahu kisah mereka, Dayat. Mau kah engkau ceritakan kisah mereka untukku?” Pinta Lia dengan sedikit memanja.

“Baiklah, Lia, tapi kali ini aku hanya akan menceritakan kisah penaklukkan raja Rahwana oleh Rama saja ya. Mungkin esok hari, aku akan menceritakan kisah berdirinya Taj Mahal kepadamu” Ujar Dayat membujuk Lia.

***

Siapa yang tidak mengenal sosok Rama? Sosok kesatria legendaris dalam kisah Ramayana. Raja yang baik dan arif, disegani oleh para rakyatnya.

“Dibalik kebesaran namanya, tahukah kau, Lia, siapa orang yang selalu menemaninya?” Tanyaku dengan penuh antusias, mencoba melumat seluruh perhatian Lia. “Dia adalah perempuan tercantik dalam kisah Ramayana, putri dari kerajaan Wideha,Shinta namanya.”

“Apakah kecantikanku tidak kalah dengan kecantikan Shinta, Dayat?” Tanya Lia dengan penuh penasaran.

“Aku tidak tahu persis, Lia, tapi bagiku, kecantikanmu menandingi siapa saja yang ada di jagat raya ini. Dan kau perlu ketahui, cantik itu sukar untuk didefinisikan, Lia.” Jawabku. Aku kembali menatap raut mata Lia, mencoba meyakinkannya agar ia percaya atas ucapanku.

“Benarkah seperti itu, Dayat?”

“Iya, Lia. Sungguh aku tidak berbohong. Kau adalah perempuan tercantik di jagat raya ini” Jawabku dengan sedikit menggombal. “Dan kau tahu, sifat kesederahanaan yang ada pada dirimu, membuatku semakin cinta kepadamu”

“Terima kasih, Dayat” Jawabnya sambil tersipu malu.

Cerita percintaan Rama dan Shinta menjadi sangat meleganda. Ya, bahkan cerita mereka abadi dan akan selalu dikenang. Sebagai cerita yang abadi, tentunya perjalanan cinta mereka tidak seperti kebanyakan orang. Jika sama dengan kebanyakan orang, sungguh tidak ada spesialnya. Dan bagian menarik dari cerita mereka, ketika raja raksasa, Rahwana, hendak membalas dendam kepada Rama, dengan cara menculik Shinta.

Pada suatu saat, ketika Shinta sedang mengalami masa pengasingan di dalam hutan bersama Rama, Shinta tidak sengaja melihat kijang berwarna emas di semak-semak belukar. Demi membuntuti rasa penasarannya, Shinta meminta Rama untuk mengejar kijang tersebut. Semula Rama menolak permintannya, namun akhirnya dia memutuskan untuk mengejar kijang tersebut. Tentu kijang tersebut bukan semabarang kijang. Kijang tersebut merupakan kijang jelmaan anak buah Rahwana yang bermaksud mengalihkan perhatian Rama dari Shinta. Dan Rama pun terkelabuhi.

Maka dimulailah kisah legenda ini, Lia.

Rama berusaha untuk merebut kekasih hatinya dari genggaman Rahwana. Rama tahu, musuh yang dia hadapi bukanlah musuh yang mudah untuk ditaklukkan, terlebih Rahwana memilki banyak prajurit dan jarak menuju ke kerajaannya ribuan kilometer jauhnya. Dan akhirnya Rama memutuskan untuk meminta bantuan ke bangsa Wanara, manusia kera.

“Maukah engaku membantuku, Hanoman?” Pinta Rama ke panglima manusia kera yang mashur itu.

Dengan penuh rasa iba yang telah menimpa Rama, Hanoman bersedia membantu Rama untuk merebut kekasih hatinya dari tangan Rahwana. Dan Hanoman lah yang memimpin langsung peperangan ini.

Kebenaran tidak akan pernah bercampur dengan kejahatan dan kebenaran tidak akan pernah kalah dari kejahatan. Begitulah kira-kira akhir dari peperangan ini. Kabar penaklukkan Rahwana telah tersebar hingga ke pelosok negeri. Jutaan rakyat gembira atas kabar ini. Kabar ini membuat masa pengasingan Rama dan Shinta telah berakhir. Tahta menjadi hak Rama atas perjuangannya selama ini.

“Shinta, lihatlah betapa senangnya para penduduk melihat kita kembali. Aku tidak menyangka, akhirya kita telah berhasil melewati masa-masa sulit ini. Aku bangga kepadamu, Shinta.” Ucap syukur Rama kepada Shinta.

“Iya, Mas. Aku juga turut senang dengan keadaan kita sekarang ini. Semoga ke depannya, ujian-ujian yang melelahkan tidak ada lagi.” Seru Shinta

***

Malam semakin larut. Alunan musik terdengar semakin keras, entah sengaja diperkeras oleh pelayan atau fokus kesadaranku mulai pergi. Kulihat jarum jam telah menunjukkan pukul 22.30. Pengunjung restoran satu-pesatu mulai meninggalkan tempat, kembali ke tempat tinggalnya masing-masing, membuat suasana restoran makin sepi. Aku memperbaiki posisi dudukku, kembali menatap Lia.

“Bagaimana kisah perjalanan mereka, Lia? Menarik bukan? Dan kau tahu, cerita hebat mereka baru akan dimulai. Bukan cerita tentang perjuangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang sering dikisahkan banyak orang. Tidak. Kisah perjuangan cinta mereka baru akan dimulai ketika pasangan itu mendapatkan tahta di Ayodya” Aku tersenyum.

Kisah ini tentang besarnya sebuah pengorbanan. Sebuah pengorbanan yang tulus, namun tidak dibarengi dengan kepercayaan. Ibarat kursi yang memiliki empat kaki dan salah satu kakinya patah, sehingga kursi tersebut pincang. Begitu juga dengan kisah mereka. “Kau mau tahu kelanjutan kisah mereka, Lia?” Aku tersenyum. Baik aku akan melanjutkan kisah mereka.

***

Rama dan Shinta menikmati masa-masa berada istana dengan bahagia. Namun itu tidak lama, sampai tiba-tiba kabar burung menjumpai mereka.

“Shinta sudah tidak suci lagi. Siapa yang tahu apa yang diperbuat Rahwana kepada Shinta ketika Shinta diculik” Begitulah kira-kira percakapan para penduduk negeri terhadap Shinta.

Mereka tahu apa yang mereka lakukan dan mereka sadar dampak dari apa yang mereka lakukan. Namun sering kali saja mereka acuh, bersikap tidak peduli. Dan seolah percakapan yang begitu berharga bagi mereka.

Terlihat penuh keraguan di wajah Rama, “Aku akan memastikan kesucian Shinta dengan cara terbaik yang menurutku.” Rama menarik nafas dalam-dalam, bangkit dari singgasananya, memutuskan perkara yang berat, “Aku akan menguji Shinta dengan ujian berjalan di atas bara api.”

“Bagaimana mungkin kau tidak percaya, Paduka? Ujar salah seorang penasehat Rama dengan penuh keputusasaan. “Bertahun-tahun lamanya Shinta membersamai suaminya di masa pengasingan. Ditamabah lagi dengan berbulan-bulan ditahan di kandang raksasa. Bagaimana mungkin Paduka tidak mempercayai istri Paduka sendiri?”

“Tidak. Justru masa berbulan-bulan itulah tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi pada Shinta. Siapa yang bisa memastikannya? Siapa?”

Penasehat itu menggeleng, berusaha mengusir kalimat Rama jauh-jauh, “Aku tidak percaya apa yang sedang Paduka pikirkan, dan aku lebih tidak percaya kalimat yang baru saja keluar dari mulut Paduka. Aku tidak percaya. Apakah kau masih mencintai istrimu, Paduka?”

“Tentu saja aku mencintai istriku. Bagaimana bisa kau menyakan demikian kepadaku?” Bantah Rama dengan tegas.

“Maaf, Paduka, bukan aku bermaksud menyinggung perasaan Paduka. Mungkin Shinta akan lolos dari ujian yang diberikan Paduka, sekali pun ujian itu harus merelakan dirinya. Namun rasa itu, rasa ketidakpercayaan Paduka tidak akan hilang dari diri Paduka.”

Dan benar apa yang dikatakan penasehat Rama, Shinta selamat. Shinta lolos dari ujian tersebut. Namun ujian Shinta tidak berhenti cukup sampai situ saja. Kabar burung terus menerpa Shinta. Ibarat angin yang selalu menerpa pohon kelapa di bibir pantai. Kali ini, para penduduk beranggapan, Shinta diajari ilmu kanuragan oleh Rahwana, sehingga dia kebal dari kobaran api.

Rasa kepercayaan Rama kepada Shinta belum kunjung tumbuh. Rama kembali ragu dengan Shinta, termakan kabar burung dari para penduduk.

“Kau tidak akan melakukannya kan, Paduka?” Kali ini manusia kera, Hanoman, yang mencoba menasehati.

“Tapi bagaimana aku menjawab dan meyakinkan para penduduk, Paman Hanoman. Seluruh penduduk memperbincangkan hal ini, Paman. Aku tidak kuasa mendengar perbincangan mereka, Paman. Bagaimana caraku meletakkan wajah seoarang raja yang berwibawa, sedangkan para penduduk tidak percaya kepada ratunya.”

Hanoman menepuk jidatnya, tidak kuasa mendengar kalimat yang keluar dari mulut paduka Rama, “Bagaimana bisa kau lebih percaya para penduduk dibandingkan istrimu sendiri, Paduka. Bukankah selama ini yang menemani perjuanganmu adalah istrimu? Di mana para penduduk itu saat kau berada di masa-masa sulit? Bukankah sudah menjadi jelas, istrimu selalu berada di sampingmu, namun mengapa kau lebih percaya para penduduk itu dibandingkan istrimu sendiri.”

“Aku mempercayai Shinta, namun ini tentang kepercayaan para penduduk, Paman. Apa pun yang terjadi, Shinta harus melewati ujian selanjutnya, Paman.” Aku menghembuskan nafas perlahan-lahan.

Langit Ayodya seketika gelap, menandakan kesedihan atas ketidakpercayaan Rama kepada Shinta. Guntur-guntur mulai menggelegar, angin kencang ikut menyusul. Alam seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Alam mengutuk perbuatan Rama.

Demi mengembalikan kepercayaan para penduduk, Rama harus mengambil keputusan kedua, ujian apa yang tepat bagi Shinta. Para penduduk kembali memperbincangkan ujian yang kira-kira pas. Shinta mempuyai ilmu kanuragan, lalu ujian apa selanjutnya? Mudah saja, usir Shinta dari Ayodya.

“Apakah kau sehat, Paduka? Kau tidak akan sekejam itu kan?” Ucap Hanoman penuh ketidakpercayaan

“Tidak, Paman. Aku harus melakukannya. Ini semua demi kebaikan bersama.”

Shinta diusir dari Ayodya selama 13 tahun. Masa-masa kesedihan Shinta kembali menghampirinya. Jika dahulu Shinta menemani Rama pada masa pengasingan, dia jalani dengan penuh semangat, sebab ada Rama yang selalu ada di sampingnya, namun berbeda halnya dengan masa ujian ini. Dia harus mampu bertahan seorang diri di dalam hutan, ditambah lagi Rama tidak tahu, isterinya sedang mengandung anaknya. Hanya rasa pilu yang ada di hati Shinta.

Tapi tidak ada pilihan selain menghadapinya. Shinta berhasil bertahan selama 13 tahun lamanya, namun Rama tidak kunjung datang menjemputnya. Berhari-hari dia habiskan dengan melamun, berharap pujaan hatinya segera datang menjemputnya, dan semakin lama, nampaknya harapan itu tidak akan terjadi.

Dengan kondisi yang demikian, anak Shinta, Lawa dan Kusya, sedih melihat ibunya semakin lama semakin terpuruk. Demi ibunya, mereka membuntuti rasa penasaran, sebenarnya apa yang terjadi pada ibu mereka. Alhasil mereka pun tahu. Dengan sigap mereka pergi ke Ayodya untuk berbicara dengan raja Ayodya, ayah mereka.

“Tidakkah kau iba melihat keadaan ibu kamu di hutan sana, wahai Paduka” Ungkap Lawa kepada Rama.

Tidak ada angin, dan hujan, tiba-tiba Rama dikagetkan oleh dua orang anak yang telah berani masuk ke kerajaannya, “Siapakah engkau yang telah lancang masuk ke dalam ruanganku” Jawab Rama naik pitam

“Maaf jika tidak sopan terhadap Paduka. Maksud kedatangan kami, meminta Paduka untuk menjemput ibu kami di hutan sana, jika tidak akan kami luluh lantakkan kerajaan ini.”

Secara spontan kabar kedatangan dua anak itu menggemparkan Ayodya. Semua penduduk ramai memperbincangkannya, sosok yang telah berani mengancam Rama. Kabar ini telah terdengar sampai ke telinga Shinta, kaget, khawatir dengan apa yang sebenarnya dilakukan anak-anaknya. Dan dengan segera Shinta menyusul anak-anaknya.

“Baik, jika Paduka tidak menghendaki permintaan kami, kami akan menarik anak panah ini.” Seru Lawa sambil menarik busur panah kepunyaannya.

Shinta datang tepat waktu, mencoba meredam kemarahan anak-anaknya, “Hentikan, anak-anakku, dia adalah ayahmu, tidak sepatutnya kalian melakukan yang seperti itu kepada ayah kalian.”

Rama mencoba memfokuskan pandangannya kepada perempuan itu. Itu adalah Shinta. Rama menghampirinya, “Bagaimana kabarmu, Shinta? Aku merindukanmu. Mengapa kau tidak kunjung kembali ke istana ini? Dan siapa kedua anak itu?”

“Mereka adalah anak-anak kita, Mas. Saat kau memberi ujian kepadaku, aku sedang dalam keadaan mengandung, Mas”

Ayodya kembali gempar. Shinta sudah 13 tahun lamanya tidak disentuh Rama, kini kembali ke Ayodya bersama anak-anaknya. Walaupun Shinta mengatakan mereka adalah anak Rama, namun para penduduk tidak serta-merta percaya terhadap apa yang dikatakan Shinta. Para penduduk mulai memperbincangkan siapa sesungguhnya ayah dari anak-anak tersebut, sehingga Rama kembali goyah.

“Tidak, dia bukan anak-anakku. Bagaimana mungkin aku menghamilimu, sedangkan selama 13 tahun lamanya aku tidak menyentuhmu, Shinta. Tidak mungkin mereka adalah anak-anakku. Tidak mungkin!” Ekspresi Rama penuh ketidakpercayaan.

Remuk hati Shinta, berlari menjadi dari hadapan Rama, meminta kepada ibu Pertiwi untuk menelan dirinya ke dalam bumi, “Tidak ada gunanya lagi aku ada di bumi ini, ibu Pertiwi. Tidak ada gunanya aku mencintai seseorang yang seseorang tersebut tidak menaruh kepercayaan sedikitpun kepadaku. Maka bukakanlah perut bumi ini, ibu Pertiwi. Telanlah jiwaku ke dalam bumi terdalam, ibu!”

Langit seketika berubah menjadi gelap, angin kencang menerpa, burung-burung terbang menghindar, Rama mencoba mencegah perbuatan Shinta, “Jangan kau lakukan itu, Shinta. Jika kau mencintaiku, jangan kau lakukan itu.”

Namun semuanya terlambat, ibu Pertiwi lebih memilih menelan Shinta ke dalam perut bumi dari pada harus melihat Shinta menahan sedih yang begitu mendalam. Rama pun hanya bisa menyesali atas apa yang telah terjadi.

***

Aku memandangi wajah Lia, mencoba mencari kembali kebenaran pada dirinya, namun kebenaran itu tidak muncul sedikitpun dalam dirinya, “Apa yang kau baru saja katakan, tidak akan mengubah keputusan pernikahanku dengan temanku.”

Sebuah keputusan yang berat, dan aku masih belum bisa melupakanmu, namun aku tidak bermaksud menanamkan kembali kepercayaan kepadamu. Tidak, tidak akan pernah.

Apakah di hatimu masih ada ruang untukku, Dayat?

Apa yang harus aku lakukan? Apa yang sebenarnya Lia harapkan? Sebenarnya bisa saja aku mengatakan iya, namun aku tidak mau kenangan itu datang kembali lagi, setelah aku bersusah payah melupakan kenangan itu.

Ya Tuhan, sungguh berat keputusan ini. Bisa saja aku kembali menjalani hari-hari ini bersamamu dan entah akan sampai kapan. Tapi aku tidak mungkin menaruh harapan kembali kepadamu. Tidak akan pernah. Biarlah sakit hati ini kutanggung, dari pada nanti aku harus menanggung penderitaan yang sama untuk kedua kalinya. Apa pepatah bilang? Jangan jatuh ke lubang yang sama.

 

Oleh: Fusuyab El-Farisy

 

 

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *