Senja adalah sebuah pembatas antara siang dan malam. Senja adalah pemisah, agar keduanya tidak berjumpa. Senja, sebuah penanda berakhirnya cerita. Hadirnya seperti sebuah kata pinta agar sang mentari segera menenggelamkan dirinya. Membuat cahaya mentari meredup dan membiarkan awan menjadi penguasa langit.
Senja adalah satu dari titah-Nya, tidak ada satupun yang dapat menolaknya.Bahkan senja itu sendiri pun harus menerima. Hadirnya bagai pengundang sang pelukis dunia yang namanya tersohor di mana-mana, yang mampu melukis langit berwarna jingga. Hingga setiap mata yang melihatnya pasti begitu terpesona.
Aku pernah membenci senja, karena setelahnya hanya akan ada kegelapan di mana-mana. Senja itu menjemput malam, di mana hanya ada gelap dan sunyi. Dan aku membenci itu.
Jika harus memilih fajar atau senja, tentu aku akan memilih fajar. Kamu tahu alasanku memilihnya? Karena fajar menjemput sang mentari. Dengan anggunnya sang mentari terbit dan menghangatkan langit. Menyinari sisa embun di pagi hari, mengisyaratkan pada seluruh semesta untuk segera memulai cerita. Tentu, semuanya terang, bercahaya di mana-mana, bahkan sekecil apapun celah dari ranting pohon yang saling menyilang, akan tetap mendapat bias cahaya.
Aku terlalu terlena. Senja menyadarkanku, bahwa terang itu tidak selalu menemani.
Kamu adalah langitku. Langit yang selalu meneduhkan, menemani kapanpun dan di manapun aku berada. Langit biru yang selalu bisa menenangkan nurani. Begitu seterusnya kamu jika cahaya selalu menerangi, akan selalu dapat dinikmati indahnya.
Namun hari tidak selamanya siang. Aku terlalu nyaman. Hingga lupa jika malam akan datang. Sang senja yang menjadi penanda.
Katakan saja akulah mentari itu, yang jatuh cinta pada langit. Seperti titah Tuhan, ada mentari, ada pula sang rembulan. Aku melupakan kehadirannya yang meminta senja menjemputku. Ya, aku harus menenggelamkan diri agar rembulan dapat memikat langit, menunjukkan cahaya indah dan rupa cantiknya, yang selalu diiringi kelip bintang di angkasa.
Seperti itulah aku dan kamu, aku yang terlena dan terlalu nyaman akan hadirmu yang sekian lama menemaniku. Aku memang tidak lagi peduli pada apa yang menggodaku. Tapi aku terlalu dangkal untuk mengerti, bahwa banyak pula yang menggodamu, menginginkan hadirmu. Dan kamu peduli pada itu. Saat itulah kamu memilih pergi, seperti langit yang memilih rembulan daripada sang mentari.
Senja mengajariku menghargai rasa sunyi.
Sekali lagi, senja adalah akhir dari sebuah hari, membuat apa yang telah terjadi menjadi satu rangkaian cerita yang terususun rapi. Seperti teka-teki yang harus dirangkai agar terbentuk rupa yang dapat dikenali, kisah-kisah di hari itu yang akan menjadi kenangan pada kemudian hari.
Setelahnya, tentu sang malam akan tiba.Langit tidak lagi peduli pada mentari yang telah pergi, sebab ia hanya peduli pada perjumpaannya dengan sang rembulan. Walau begitu, senja tidak pernah marah, ia hanya sunyi. Menyembunyikan segala ceritanya sendiri, entah bahagia atau luka.
Ya, dari senja aku belajar menghargai rasa sunyi dan sepi. Tidak selalu bersama orang yang aku pilih. Tidak selalu orang yang aku pilih juga memilihku. Terkadang Tuhan membuat apa yang begitu kita sayangi pergi, bukan karena Tuhan tidak peduli. Bukan. Tuhan bahkan lebih peduli melebihi diri kita sendiri.
Pun dengan saat ini, Tuhan menghadiahkan kesendirian untukku, memberikan sebuah rasa sunyi agar aku menjenguk diri sendiri. Agar aku peduli dengan diri sendiri. Aku mungkin tidak sadar, aku telah terlampau mengacuhkan diri sendiri karena sibuk membahagiakan orang lain, terlalu sibuk mengkhawatirkan orang lain. Orang lain yang tidak lain adalah kamu. Dan sekarang, aku berhentikan menyibukkan diri untukmu. Aku hanya akan peduli dengan diriku sendiri.
Dan senja membuatku mengerti arti sebuah kata, “rela.” Seperti saat menemukan, kehilangan juga terjadi tanpa sebuah kata permisi.
Bagaimanakah definisi yang tepat untuk senja? Mentari yang meninggalkan sang langit atau langit yang meninggalkannya demi sang rembulan? Mungkin yang tepat adalah sang bulan yang memisahkan mereka. Atau justru tidak pula semuanya? Semua hanya menjalankan titah-Nya tanpa penolakan dan tanpa negosiasi.
Mentari selalu kembali esok hari setelah kemarin menenggelamkan diri, selalu bersedia memaafkan meski terluka berulang kali.
Senja membuat aku paham makna dari kata “rela.” Bahwa apa yang ada bersama dengan kita, tidak mesti selamanya. Semua ada masanya. Tanpa kita duga, tanpa kita pinta, masa itu akan tiba dan kita tidak dapat menolaknya. Siap atau tidak, kita tidak bisa mengaturnya seperti yang kita harapkan.
Seperti saat sebuah cinta membuat detak jantungmu berdesir, begitupun ketika kecewa menyeruak dalam nurani, membuat sayatan yang begitu pedih. Saat dihadapkan pada pertemuan, saat itu pula kita harus bersiap untuk kehilangan. Terkadang apa yang begitu kita jaga dan kita cintai adalah takdir orang lain. Dan senja membuat aku paham apa itu “rela.” Dia yang selalu bersedia kembali meski terusir ribuan kali, dia yang menerima. Dia yang merelakan langit bersenandung dengan sang rembulan.
Jika kelak kamu adalah takdirku, kamu pasti akan dikembalikan padaku dengan cara yang begitu istimewa. Jika tidak, di sinilah aku belajar melepaskanmu, menenggelamkan segala angan dan harapanku atas kamu.
Jangan bertanya kapan aku jatuh cinta pada senja, sebab kamu yang paling tahu jawabannya.
“Aku mencarimu, ternyata kamu di sini. Menunggu matahari menggelincirkan dirinya? Aneh!”
“Jika kamu datang hanya untuk memaki, lebih baik kamu pergi. Bukankah kamu memang suka meninggalkanku pergi?”
“Maaf, aku merindukanmu. Tapi, ada apa denganmu? Dan sejak kapan kamu menyukai senja? Aku tahu kamu, sejak dulu kamu tidak menyukainya.”
Haruskah aku menjawab pertanyaan konyol itu? Aku rasa tidak perlu. Untuk apa kamu tanyakan padaku sejak kapan aku jatuh cinta pada senja jika kamu yang paling tahu jawabannya. Ya kamu adalah jawabannya, kamu.
Sejak kamu pergi tanpa permisi, sejak kamu hadirkan dia dalam nuranimu sebagai pengganti yang bahkan masih menjaga ketulusan yang aku peruntukkan hanya untuk kamu. Sejak kamu tidak lagi menganggapku berarti.
Sebab setelah kamu memilihnya, senjalah yang setia menemaniku.Cukuplah dia menasehatiku dengan bahasanya sendiri, dan biarkan aku memahaminya dengan caraku. Biarlah aku menguatkan nurani yang telah menjadi perca ini. Jangan kamu buat aku sendu oleh kata “rindu.” Bukankah kamu adalah langit yang meminta sang mentari pergi agar bisa bersama dengan sang rembulan? Dan lihatlah, mentari ini selalu mengerti apa maumu, demi kebahagiaan milikmu. Biar aku simpan rasa rindu dan peruntukkanlah cinta juga rindumu itu kepada milikmu yang baru. Yang demi dia kamu mengganggapku tiada.
Bahagialah dengan apa yang kamu pilih, jangan lagi usik nurani. Dan biarkan aku membahagiakan diri dengan caraku. Aku tahu kata rindu itu bukanlah berarti kamu ingin kembali. Atau lebih tepatnya, kamu rindu menyakitiku lagi? Terserahlah, aku tidak akan membalas setiap sakit dari belatimu itu. Aku pun tidak akan berdo’a agar karma segera menimpamu. Tidak, aku hanya punya cinta yang bisa mendo’akan kebahagiaanmu, bukan melukaimu. Cukuplah aku serahkan segalanya pada Yang Maha Tahu. Sebetapa banyaknya luka yang kamu beri, aku tetap berterimakasih pada Tuhan yang mengizinkan kita untuk pernah saling memiliki.