Sejak saat itu, sajak menjadi telinga. Derita tipis dengan tawa. Bahkan tangis adalah semurni bahagia. Tapi, pelarianku untuk berteriak, untuk mengadu, adalah pena. Tak ada laut, tak ada tempat lapang, tak ada telinga, maka aku kembali kepada pena yang setia mendengarkan setiap jerit derita dan tawa bahagia.
Dengan ketiadaanmu, diri menjadi tau, bahwa kedua telingaku tak bisa berfungsi sekedar mendengarkan rengekan mulutku sendiri. Tanpa hadirmu, diri menjadi tau, Tuhan dengan cermat menciptakan sepasang telinga. Hilang kabarmu, adalah ketidak-fungsian sepasang telinga akan sebuah berita. Terima kasih Tuhan yang telah menciptakan sepasang.
Berita adalah derita. Jika hal itu hanya satu kata. Tak ada kalimat yang bisa dicerna oleh telinga. Otak mati bersama redupnya sumber berita. Singkatnya, pelitnya kata mu adalah sebuah berita yang membawa derita.
Apakah iya? Seorang Aku yang tulus mencintaimu mengungkit sebuah ketulusan yang sudah ku bangun di atas nama iklas? Iklas yang tinggal di dalam sebuah hati yang tertanam rasa kasih dan saling peduli? Tentang semua yang telah terjadi, tentang selama ini, tentang semua yang telah kita lalui. Tak mungkin aku sebut-sebut, tak mungkin aku ungkit-ungkit, yang lalu biar lah berlalu, kedepan, meski tanpa telingamu, badan ini harus segera bangkit.
Apakah bisa dibenarkan, jika dalam kita, aku berbicara tentang saya, tanpa mau peduli dengan lawannya? Aku tak tau. Buntu. Tak menentu.
Ku ulangi lagi.
Dua puluh empat jam tanpa ada kabarmu adalah aku. Tak berfungsi kata kita, dan yang berlaku adalah luka. Bahwa sendiri adalah aku. Bahwa tanpa tawamu adalah aku. Kesepian adalah aku, kerinduan adalah aku, kemalangan adalah aku. Ya, biarkan aku. Kau jangan datang. Semuanya sudah terhalang. Hilang. Seperti daging panggang di atas arang. Menghitam. Pekat dan kental.
Dan sekarang, kau hanya perlu pergi. Meninggalkan ku di sini. Bersama dengan duniaku sendiri. Jangan peduli kata suatu saat nanti. Kau sudah tak saling (baca: lagi) peduli. Telingaku pun sudah tuli. Tak mampu mendengarkan kebenaran yang abadi.
Cukup.
~Di ujung bulan Oktober 2018
Dua puluh empat jam tanpa ada kabarmu adalah aku. Tak berfungsi kata kita, dan yang berlaku adalah luka. Bahwa sendiri adalah aku. Bahwa tanpa tawamu adalah aku. Kesepian adalah aku, kerinduan adalah aku, kemalangan adalah aku. Ya, biarkan aku. Kau jangan datang. Semuanya sudah terhalang. Hilang. Seperti daging panggang di atas arang. Menghitam. Pekat dan kental.