Sejarah Kodifikasi Sirah Nabawiyah

Sejarah Kodifikasi Sirah Nabawiyah
Baladena.ID

Kekuatan hafalan merupakan salah satu ciri dan keistimewaan bangsa arab sejak masa jahiliyyah. Akan tetapi, bukan berarti bahwa keistimewaan ini terus menghalangi mereka untuk melakukan kegiatan tulis menulis. Ini dipertegas oleh beberapa ulama yang mengadakan riset tentang hal ini. Dalam kitabnya Thabaqat, Ibn Sa’d mengatakan bahwa seseorang pada zaman jahiliyah dan masa permulaan Islam dikatakan sempurna apabila menguasai tiga hal, yaitu; tulis-menulis, renang, dan memanah (Ibnu Sa’d, Thabaqat Ibn Sa’d, (Cairo: Dar al-Hadist, 1996), Juz. 3, hal. 91.).

Sayangnya kegiatan ini tidak begitu dapat dioptimalkan segaimana mestinya. Hal ini dikarenakan bahwa kehidupan sehari-hari mereka belum memerlukan hal tersebut. Namun banyak sumber yang menyebutkan bahwa masa sebelum datangnya Islam di Jazirah arab sudah terdapat “kegiatan pendidikan”. (MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifkasinya, terj. H. Ali Mustafa Ya’qub, MA., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 75.).

Biasanya aktivitas tulis-menulis mereka diimplementasikan dalam bentuk penulisan syair, penulisan yang berkaitan dengan kabilah mereka baik yang berkenaan masalah kabar kesehariannya atau kabar tentang peperangan mereka (MM. Azami, 1994: 76.).

Hingga Islam datang, beberapa orang dari kalangan Quraisy yang berjumlah 17 orang semuanya dapat menulis. Tetapi jumlah ini tidak bisa dijadikan patokan mengingat bahwa letak makkah  yang sangat strategis untuk perdagangan disamping sebagai pusat kegiatan agama. Jadi bisa saja jumlah ini lebih dari 17 orang. Di segi lain, nama-nama penulis yang disebutkan Al-Baladzuri dalam “futuh al-buldan” tidak mencakup orang-orang Makkah yang dikenal dapat menulis seperti Abu Bakar al-Siddiq, Abdullah bin ‘Amr bin al-Asy, Sufyan bin Harb, dan lain-lain. Di samping itu juga terdapat beberapa nama wanita yang mengetahui tulis menulis, seperti Ummul Mu’minin Hafsah, Ummu Kalsum bin ‘Uqbah, Aisyah binti Sa’ad, dan Karimah binti Al-Miqdad. Sedangkan Ummul Mu’minin ‘Aisyah dan Ummu Salamah hanya dapat membaca, dan secara umum tidak dapat menulis (MM. Azami, 1994: 78-79.).

Meskipun orang-orang arab pada zaman jahiliyyah telah mengerti tulis-menulis, akan tetapi kegiatan ini tidak ada yang mensupportnya kecuali setelah datangnya Islam. Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam telah mendorong para pemeluknya untuk belajar dan memperdalam agama sebagaimana frman Allah:

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan  untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, suapaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At- Taubah [9] ayat 122).

Disamping itu adanya dorongan dari rasul untuk belajar “barang siapa menelusuri jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memberikan kemudahan padanya berupa jalan menuju surga”. (Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985), Jilid. 2, hal. 252.).

Selain itu, turunnya risalah kepada Muhammad berimplikasi pada motivasi belajar. Dan wahyu membutuhkan penulis yang dapat melestarikannya. Begitu juga dalam urusan pemerintahan terdapat surat menyurat dan dokumentasi, dibutuhkan juga seorang penulis. Beberapa saat setelah kenabian Muhammad, terdapat sekitar lima puluh orang yang menulis wahyu, surat menyurat dan perjanjian-perjanjian (urusan pemerintah) dan lainnya. Jadi, kegiatan tulis menulis ini secara keseluruhan telah ada pada masa jahiliyyah dan berkembang pada masa pertama Islam.

Setelah lewat lebih dari seratus tahun wafatnya Rasulullah Saw, tepatnya pada masa Abasiyah I adalah era terjadinya kebangkitan kebudayaan Islam, setelah gerakan perluasan teritorial Islam mulai tenang dan berkurang, tidak seperti yang berlangsung pada era Umayyah (Hanafi Muhallawi, Amakin Masyhurah fi Hayati Muhammad SAW, (Kairo: Alam al-Kutub, 2002), Cet. I, hal. 11.).

Di antara karakteristik kebangkitan ini adalah berkembang era kodifikasi dalam tiga bidang kebudayaan dan utamanya adalah gerakan mengarang dan menyusun ilmu-ilmu keislaman. Fase mengarang telah melewati tiga periode. Dimulai dengan apa yang kita bisa namakan dengan “era kodifikasi”, yang hanya berisi tentang kodifikasi pemikiran hadits Nabi atau sejenisnya dalam lembaran tersendiri, atau secara bersama-sama. Setelah itu, datang periode kedua yang bersamaan dengan permulaan era Abbasiyah, yang berisi penulisan pemikiran-pemikiran yang mirip atau hadits-hadits Nabi Saw. dalam satu catatan.

Sedangkan periode ketiga, yang berkembang pada era khalifah Abbasiyah Abdullah Abdul Abbas yang berkembang pada era al-Ma’mun. fase ini utamanya bertumpu pada mengarang, yang lebih rumit dari menyusun. Ini adalah fase yang padanya timbul kitab-kitab sirah Nabi Saw. yang terlahir dalam lingkup ilmu tafsir, yang merupakan induk dari ilmu sirah (Dr. Ahmad Syalabi, Mausu’ah At-Tarikh Al-Islami, (Riyadh: Dar ar-Rusydi, 2005), Jilid. III, Cet. I, hal. 46.).

Sejarawan Islam yang besar, yaitu Muhammad bin Ishaq bin Yasar bin Jabbar (lahir pada tahun 85 H), adalah pioner dalam penulisan sirah Nabi Saw. Ia telah menulis kitab terbesar yang berisi tentang sirah tokoh terbesar dalam sejarah, yaitu Nabi Muhammad Saw, dalam kitabnya yang bernama Sirah Ibn Ishaq. Setelah itu, diikuti oleh Ibn Hisyam yang menulis sesuai metodologinya sebuah kitab baru tentang sirah Nabi Saw., yang ia namakan Sirah Ibn Hisyam.

Namun sebenarnya sebelum masa Abasiyah I, yaitu pada masa Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Umayyah, telah memberikan tanda start bagi permulaan fase yang penting dalam fase-fase kebudayaan Islam. Fase ini merupakan fase pembukuan (kodifikasi) semua segi keislamaan, terutama yang berhubungan dengan sirah Nabi Saw. Dimulai dengan pembukuan hadits Nabi SAW dan dilanjutkan dengan topik-topik sirah Nabi Saw dan topik fiqih dan keagamaan lainnya yang digarap oleh para penulis dan pengarang.

Pada masa Umar bin Abdul Aziz itulah muncul tokoh bernama Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H) yang mengumpulkan hadits-hadits Nabi Saw. dan megkodifikasinya. Maka semenjak itulah, para ulama’ pada masa itu terdorong untuk melakukan hal yang sama. Mereka ikut mengkodifikasi hadist atau sunnah dan yang berkaitan dengan Nabi Saw, berupa berita-berita, dari mana pun sumbernya, yang tak terbatas pada masa risalah, namun juga mencakup.kehidupan Nabi Saw. semenjak kelahirannya, bahkan sebelum kelahiran beliau. Setelah itu, ada orang yang melakukan penulisan tentang apa yang diriwayatkan dalam topik tertentu, seperti peperangan dan sejarah kehidupan, yang juga mencakup segi-segi kehidupan Nabi Saw. secara tidak langsung. (Hanafi Muhallawi, Amakin Masyhurah fi Hayati Muhammad SAW, hal. 10.).

Sejarawan Islam yang besar, yaitu Muhammad bin Ishaq bin Yasar bin Jabbar (lahir pada tahun 85 H), adalah pioner dalam penulisan sirah Nabi Saw.

Meskipun banyak pakar sejarah Islam yang menyatakan bahwa gerakan kodifikasi sirah Nabi telah berlangsung pada masa Khalifah Abasiyah, Al-Ma’mun. Namun pernyataan kebanyakan pakar tersebut dikomentari oleh Muhammad Husein Haikal yang terdapat dalam pendahuluan kitab Hayat Muhammad. Ia berkata:

“Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia, dan Ma’mun yang berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau ratusan ribu hadis-hadis maudhu’sudah tersebar – diantaranya terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi sekali. Pada waktu itulah para penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga menuliskan biografinya. Al-Waqidi, Ibn Hisyam dan Al-Mada’ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa Ma’mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu, karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang pendapat Khalifah. Oleh karena itu, mereka tidak menerapkan ketelitian yang semestinya dalam penulisan. Padahal diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa beliau mengharuskan untuk menghukumi apa yang diriwayatkan dari beliau dengan kandungan al-Qur’an, yaitu: segala hal yang cocok dengan al-Qur’an adalah dari Rasul, dan yang bertentangan dengan al-Qur’an berarti bukan dari Rasul.”( Muhammad Husain Haekal , Hayat Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), Cet. V, hal. 81.).

Dari komentar di atas terlihat bahwa ada banyak riwayat yang tidak diteliti terhadap sirah Nab Saw. ini. Terutama yang berkaitan dengan mukjizat dan perbuatan Nabi Saw. yang bereberangan dengan apa yang dibawa oleh al-Qur’an.

Adapun menurut versi Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, bahwa baru pada generasi Tabi’in, Sirah Rasulullah Saw. diterima dengan penuh perhatian dengan banyaknya di antara mereka yang mulai menyusun data tentang Sirah Nabawiyah yang didapatkan dari lembaran-lembaran kertas. Diantara mereka ialah: Urwah bin Zubeir yang meninggal pada tahun 92 Hijriyah, Aban bin Utsman (105 H), Syurahbil bin Sa’d (123 H), Wahab bin Munabbih (110 H) dan Ibnu Syaihab az-Zuhri (wafat tahun 124 H). (Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Cet. X, hal. 26).

Akan tetapi semua yang pernah mereka tulis sudah lenyap, tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman. (Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, 1991: 27).

Kemudian muncul generasi penyusun Sirah berikutnya. Tokoh generasi ini ialah Muhammad Ishaq (152 H). Lalu disusul oleh generasi sesudahnya dengan tokohnya al-Waqidi (203 H) dan Muhammad bin Sa’d, penyusun kitab ath-Thabari al-Kubra (130 H). (Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, 1991: 28).

Menurut al-Buthi, para ulama telah sepakat, bahwa apa yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq merupakan data yang paling terpercaya tentang Sirah Nabawiyah (pada masa itu). Tetapi sangat disayangkan bahwa kitabnya al-Maghazzi termasuk kitab yang musnah pada masa itu. (Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, 1991: 29).

Sesudah Muhammad bin Ishaq muncul Abu Muhammad Adul Malik yang terkenal dengan Ibn Hisyam. Ia meriwayatkan Sirah tersebut dengan berbagai penyempurnaan, setelah abad sesudah penyusun kitab Ibnu Ishaq tersebut. Kitab Sirah Nabawiyah yang dinisbatkan kepada Ibn Hisyam yang sekarang ini hanya merupakan duplukat dari Maghazzi-nya Ibn Ishaq.

Selanjutnya, lahirlah beberapa kitab Sirah Nabawiyah. Sebagiannya menyajikan secara menyeluruh, tetapi ada pula yang memperhatikan segi-segi tertentu, seperti al-Asfahani di dalam kitabnya Dala’il an-Nubuwwah, Tirmidzi di dalam kitabnya Asy-Syama’il dan ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam kitabnya Zad al-Ma’ad. (Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi, 1991: 30-31).

Demikian gambaran ringkas sirah nabawiyah dan sejarah kodifikasinya. Penulis yakin masih banyak yang perlu dikritisi dan dikonstruk lebih baik lagi guna penyempurnaan tawaran penulis di atas. Untuk itu sangat perlu untuk melakukan riset lebih mendalam terhadap beberapa kitab Sirah Nabawiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Respon (1)

  1. Syukron ustadz, alhamdulillah banyak terbantu untuk memahami lagi tentang sejarah ilmu sirah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *