Realisasi Mimpi Jembatan antara Dua Gajah

Baladena.ID/Istimewa

Di desa Sedan, Rembang, tempat saya dilahirkan, ada sebagian orang yang menilai aneh ketika orang Nahdlatul Ulama’ (NU) menikah dengan orang Muhammadiyah. Bahkan saya pernah sekali menjumpai orang yang gagal menikah disebabkan salah satu pihak keluarga tidak merestui setelah tahu calon menantunya bukan dari warga NU. Entah kapan tradisi ini bermula. Sependek pengetahuan saya, NU dan Muhammadiyah itu hanya berbeda dalam melaksanakan sebuah tradisi dan amaliah. Atau mungkin salah satu darinya tidak ingin kehilangan pengaruh atau massa karena menganggap dirinyalah yang paling benar.

Nah, kebetulan istri saya adalah warga Muhammadiyah. Bahkan, ia adalah keturunan dari salah satu tokoh pentolan Muhammadiyah di desanya, yaitu cucu dari pendiri Pondok Pesantren Karangasem Paciran-Lamongan, K.H. Abdurrahman Syamsuri. Sementara, saya dari bayi “mecetet” dilahirkan dalam lingkungan NU kultural. Bahkan ibu saya adalah salah satu aktivis Muslimat NU yang saben minggu dimintai menjadi imam tahlil dan istighasah. Pastinya, sudah bisa dibayangkan bagaimana perbedaan itu menjadi dasar argumentasi ketidakakuran?

Awal mula saya dikenalkan (untuk tidak dikatakan perjodohan) dengan calon istri, sebagian pihak keluarga ada yang merasa khawatir, terutama ibu saya. Beliau sampai berkata, “Cung, bocahe Muhammadiyah lo. Kowe tenan leh ora popo?”  (Nak, anaknya Muhammadiyah lo. Kamu beneran tidak apa-apa?). Saya sangat paham betul yang dikatakan oleh ibu. Khawatir bukan karena takut ada omongan dari orang lain, tetapi mungkin saja ibu saya khawatir kalau-kalau saya tidak mampu menerima perbedaan tradisi dan amaliah. Meskipun ibu juga tahu, semasa di asrama dulu pengasuh saya adalah orang Muhammadiyah. Maka, perlahan saya menjelaskan kepada ibu, dengan perkataan yang halus, “Buk, jenengan mboten perlu khawatir. NU kale Muhammadiyah niku sami mawon. Wong, kaleh-kalihe niku sami Islam” (Bu, kamu tidak perlu khawatir. NU dan Muhammadiyah itu sama saja. Keduanya itu sama-sama Islamnya).

Jujur saja, dari kecil saya sudah familiar dengan tradisi-tradisi NU. Bahkan, sejak lahir saja, saya sudah dido’akan dengan selapanan (ritual pada bayi menginjak usia 35 hari). Dan boleh jadi ketika meninggal pun demikian, dido’akan dan ditahlili supaya memperoleh ketenangan di alam kubur. Sehingga, hal ini sangat sulit bagi saya untuk tidak mengakui bahwa di dalam diri saya terdapat jiwa NU. Sehingga saya pikir, kekhawatiran ibu dalam konteks tertentu boleh jadi dibenarkan.

Namun, saya buktikan, setelah menikah dan sampai hari ini hubungan saya dengan pihak keluarga istri terjalin sangat baik, tanpa ada sedikit pun perselisihan disebabkan persoalan beda tradisi dan amaliah. Justru, tidak jarang di antara kami saling bertukar tanya, seperti halnya, mengapa kalau NU shalat subuh pakai qunut, sedangkan Muhammadiyah tidak? Bahkan, belum lama ini, tepatnya sebelum kelahiran anak pertama saya dengan istri, ada permintaan dari keluarga saya supaya anak kami dido’akan dengan mitoni (mendo’akan 7 bulan jabang bayi dalam kandungan). Yang hal ini jelas bukan bagian dari tradisi yang dilakukan oleh keluarga istri. Tetapi, seperti apa yang saya katakan dari awal, meskipun kami berbeda, tetapi sedikit pun tidak kami persoalkan.

Sebab, kami menyadari apabila NU dan Muhammadiyah itu sama dan tidak perlu dibedakan. Buktinya, keduanya sama-sama berpedoman al-Qur’an dan Hadits. Memang secara ikhtiar mengambil hukum keduanya berbeda. Sehingga, wajar apabila diantara keduanya ditemukan banyak perbedaan dalam melaksanakan sebuah tradisi dan amaliah. Namun, perbedaan ini setidaknya masih tergolong dalam persoalan ijtihadi. Justru, apabila ijtihad itu benar akan memperoleh dua pahala, tetapi apabila ijtihad itu salah, tetap saja diberi satu pahala (Ijtaha>da tsumma as}ha>ba falahu ajran. Faijtha>da tsumma akhta> falahu ajrun).

Tentu saja, dari semula didikan NU, lalu saya bisa menerima untuk hidup di dalam lingkungan Muhammadiyah, bukanlah sesuatu yang datang tanpa sebab. Tetapi, apa yang saya alami hari ini, tidak lain dari hasil menimba ilmu di pesantren Monash Institute. Mengapa? Karena Monash memberi kesempatan kepada semua orang yang mau belajar Islam, tanpa memandang latar belakang. Tidak peduli apakah ia dari ormas NU, Muhammadiyah, atau lainnya. Bahkan, yang bukan Islam tetapi mau belajar Islam, juga diperkenankan masuk Monash Institute. Misalnya saja Mr. John, (panggilan para santri), non-muslim dari Amerika yang belajar Islam di Monash Institute bersama anaknya. Sehingga, dari sejak itulah, selain saya bisa menambah teman, juga berkesempatan untuk dialog dan diskusi dalam lintas ormas, bahkan agama.

Perlu diketahui, profil Monash tidak lepas dari gagasan besar Dr. Mohammad Nasih sebagai pendiri. Maka, ketika Monash berani menerima orang dari berbagai latar belakang, tentu bisa dipahami, Pak Nasih (panggilan saya kepada Dr. Mohammad Nasih) ini memiliki kepedulian besar terhadap masa depan umat Islam, terutama di Indonesia. Oleh sebab itu, jalan yang ditempuh adalah melahirkan santri hybrid yang mampu memahami segala keberagaman entitas umat dan bangsa. Sehingga, santri tidak perlu lagi gagap menjalin hubungan, kerja sama, dan sinergi ketika diharuskan berada di dalam wadah perjuangan, apapun itu.

Kembali lagi kepada persoalan transisi yang saya alami. Ketika hari ini saya “terdampar” dalam lingkungan Muhammadiyah, bagi saya hal tersebut adalah suatu kesempatan untuk lebih mendalami apa yang menjadi persoalan selama ini antara NU dan Muhammadiyah. Padahal, keduanya ini merupakan dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Bahkan, menurut Pak Nasih, kedua ormas ini ibarat kekuatan “dua gajah”, antara satu dengan yang lain sama-sama kuatnya. Lantas, apa yang membuat satu sama lain menjadi tidak akur?.

Penilaian saya,-tentu bisa berbeda dengan anda- baik NU dan Muhammadiyah hari ini, cenderung bersikap fanatik dibanding membangun kerja sama. Hal tersebut terutama dialami oleh masyarakat yang tinggal di pedesaan. Akibatnya, justru masyarakat akan kehilangan kepercayaan antar sesama, sebaliknya yang timbul hanya rasa cemas dan was-was. Hal ini dirasakan langsung oleh Pak Nasih, ketika beberapa kali ditanya, “Apakah Monash Institute, itu NU atau Muhammadiyah?”.

Pak Nasih pernah berkata, “Perlu dibangun jembatan antara “dua gajah”. Dengan kata lain, NU dan Muhammadiyah ini harus disatukan. Mengapa demikian? Karena, apabila kedua ormas ini dibiarkan berselisih secara terus-menerus, tentu tidak hanya merugikan masa depan umat Islam, tetapi juga masa depan bangsa dan negara. Apa jadinya negara Indonesia tanpa dukungan NU dan Muhammadiyah? Untuk itu, sikap fanatik warga NU atau Muhammadiyah harus segera dihilangkan. Sehingga, masyarakat tidak perlu lagi mempertentangkan perbedaan amaliah, seperti perbedaan adzan shalat jum’at, qunut subuh, dan suami istri bersentuhan kulit dalam keadaan berwudlu batal atau tidak. Bahkan, tidak juga dalam persoalan tradisi seperti ziarah, tahlil, dan lain-lain.

Paling tidak, salah satu cara membangun “jembatan”, tidak lain adalah dengan menghilangkan sikap fanatisme tadi. Setidaknya, cara ini yang juga dilakukan oleh Pak Nasih. Sebab, saya melihat-boleh jadi salah-dari dulu sampai hari ini sekali pun Pak Nasih tidak pernah membawa-bawa identitas untuk kepentingan pribadinya. Padahal, orang seperti Pak Nasih ini seharusnya sangat membutuhkan hal semacam itu. Kenapa? Karena, selain dia tercatat sebagai anggota struktural Muhammadiyah, juga sebagai kader Partai Amanat Nasional (PAN). Maka, kalau demi kepentingan pribadi, berdirinya Monash ini tentu bermuara ke sana. Tetapi, itu tidak dia lakukan. Justru Monash berdiri menampung semua orang dengan berbagai latar belakang. Seperti saya katakan dari awal.

Selain itu, jika dilihat dalam sejarah, Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan tidak pernah mengenal apa itu sikap fanatik. Justru, keduanya dalam berbagai kesempatan sering bahu-membahu terhadap apa yang telah diperjuangkan. Karena sejatinya, kedua pendiri ini terlahir dari rahim yang sama, dari satu guru yang sama, dan dari sanad keilmuan yang sama. Bahkan, pada satu waktu, santri Mbah Hasyim melapor bahwa dari Yogyakarta ada sebuah gerakan yang ingin memurnikan agama dan aktif beramal usaha. Jawaban beliau, “O kuwi Mas Dahlan. Ayo, padha disokong!” (Oh itu Mas Dahlan. Ayo, dibantu!).

Untuk itu, baik NU dan Muhammadiyah tentu tidak lagi ada alasan bersikap fanatik. Sebaliknya, bagaimana kedua ormas ini bisa kerja sama dan bergerak bersama dalam mensikapi zaman yang semakin berkembang. Apalagi hari ini, negara-negara maju sedang berlomba-lomba mengembangkan produk industri yang dikelola secara efektif tetapi tetap menghasilkan nilai produksi besar dan kualitas tinggi. Seperti industri 4.0 di Jerman, yang ditarget menjadi sebuah rencana pembangunan strategi bertekhnologi tinggi 2020 (high-tech strategy 2020).

Dengan NU dan Muhammadiyah bersatu tentu menjadi modal berharga bagi umat Islam, terlebih bangsa dan negara. Sebab, keduanya memiliki sisi berbeda tetapi saling dibutuhkan. Jika NU adalah “penjaga budaya”, maka Muhammadiyah adalah “arsitek pembangunan”. Dengan kata lain, kegiatan NU lebih sering untuk menjaga warisan leluhur, seperti ziarah, tahlil, dan lain-lain. Sedang, kegiatan Muhammadiyah lebih fokus beramal untuk membangun gedung-gedung sebagai tempat pendidikan dan kesehatan. Sehingga, kekuatan ini yang nantinya akan menjawab tantangan zaman itu. Dan tentu, umat Islam di Indonesia akan menjadi prototipe muslim terbaik, sedang negara menjadi baldatun thayyibatun. Wallahu ‘alam bi al-shawab.

Oleh: Nur Kholis, M.Ag. Disciple 2011 Monash Institute, Ketua PW GPII Jawa Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *