Ulama, Umat, dan Mimpi Persatuan

Istimewa

Predikat gelar ulama bukanlah suatu hal yang mudah dan remeh untuk didapatkan, apalagi tanpa didasari ilmu yang cukup. Nabi Muhammad SAW menyebut ulama adalah para pewaris nabi, al-‘ulama warasatun al-anbiya’. Hal yang diwarisi ulama bukanlah sekedar harta benda yang bisa diukur kadarnya, atau pun ilmu semata. Namun, akhlak dan keistimewaan kepada sesama makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Dari pengakuan langsung dari Rasulullah, bisa diketahui bahwa kedudukan dan keistimewaan ulama setara dengan Nabi para Bani Israil, Musa. Melalui bukti tersebut, tak ada alasan bagi umat Islam, terutama yang uwam untuk tidak mengikuti dan belajar dengan ulama, yang tentu ulama yang benar-benar memiliki kualifikasi dan kualitas ulama. Kriteria ulama yang dimaksud Nabi adalah yang mampu memujudkan kehidupan yang lebih, baik lahir maupun batin. Dan mampu membawa umatnya menuju ke arah perubahan, sehingga tidak ada lagi sekat sesama umat Islam, sekalipun berbeda dalam madzhab atau pun organisasi masyarakat (ormas). Pun juga menjadikan manjadikan manusia tidak buta akan golongan tertentu, sehingga bisa hidup berdampingan dengan sesama makhluk Allah SWT. Siapa pun, dari golongan mana pun.

Namun, sekarang, sebagian besar umat Islam, terutama di Indonesia tidak sedikit yang terjerembab dalam simbol-simbol ormas atau kelompok tertentu. Ada pula yang dengan mudah menilai seseorang hanya dari pakaiannya saja. Keadaan ini tidak lepas dari peran dan pengaruh para ulama. Seorang ulama yang seharusnya memberi kebebasan berpikir, bertindak, dan berpendapat selama masih dalam koridor syariat Islam, justru melarang umatnya untuk bersikap demikian denga alasan tidak boleh melakukan sesuatu yang kebanyakan ulama tidak melakukannya.

Ormas-ormas yang pada awalnya sebagai tempat umat mempelajari dan memperdalam ilmu agama menjelma menjadi sarana pendoktrian. Sebagai contoh, NU dan Muhammadiyah. Dua ormas terbesar dan tertua di Indonesia saat ini yang masih menjadi ikon Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Islam. Dua ormas didirikan oleh dua sahabat karib yang sangat cinta ilmu agama, sehingga menjadikan kemempuannya untuk membentuk suatu wadah yang dapat memberi pengetahuan tentang ilmu agama. Namun, lambat laun, semakin ke sini dua lembaga ini mulai kehilangan fungsi dan tugas pokoknya.

Perselisihan yang terjadi di antara mereka tidak lebih dari sekadar ibadah mahdloh (ibadah kepada Allah). Hanya karena berbeda madzhab, mereka rela menjadi pecah belah hingga saling bermusuhan. Keadaan ini merambah hingga ke kontestasi pemilu 2019 silam, yang salah satu paslon kebetulan dari golongan NU.

Keadaan seperti ini, tidak lepas dari sikap yang diambil oleh ulama di Indonesia. Ulama yang seharusnya menjadikan pemikiran umat Islam tercerahkan dan mampu bersatu demi mencapai kejayaan sebagaimana zaman para Sahabat dan Tabi’in, kini justru membuat umat memiliki fanatisme berlebih bukan kepada Islam namun cenderung terhadap ormas-ormas tertentu. Akhirnya, mesipun sesama dalam agama dan syariat, jika berbeda madzhab dan ormas, mereka engga untuk berbaur.

Ini yang menjadikan umat Islam, khususnya di Indonesia mudah dimobilisasi kelompok tertentu, sebut saja partai politik. Dalam upaya memberikan keuntungan berlebih kepada kelompok sendiri, mau tidak mau sebuah partai harus menggaet ormas yang diikuti mayoritas masyarakat Indonesia. Padahal, ormas hanyalah sebuah bejana yang digunakan untuk melindungi umat agar tidak dimangsa oleh predator lain. Namun sayang, para penanggung jawab ormas tersebut memanfaatkan momen tertentu untuk meraup keuntungan berlebih bagi dirinya.

Beranjak dari dua ormas di atas, umat Islam di dunia juga tidak jauh beda keadaannya. Banyak kaum muslimin di dunia yang mengalami penindasan, perampasan, penganiayaan, bahkan pembantaian. Sebut saja Rohingya, Uygur dan saat ini yang sedang terjadi persekusi yang dilakukan umat Hindu di India terhadap kaum muslimin di sana. Ini adalah contoh dari akibat perpecahan umat Islam yang berlandaskan fanatisme berlebihan akan ormas masing-masing.

Sangat menyayat hati apabila membaca bermacam-macam berita yang menampilkan derita umat Islam dari berbabagi negara. Di sisi lain, ormas-ormas yang berdiri dengan tegaknya tidaklah mampu berkutik untuk membela Saudara-saudaranya. Mereka justru lebih memilih bungkam apabila hal itu berkaitan dengan negara tertentu. Padahal, kekayaan yang dimiliki negara-negara muslim sangatlah berlimpah, tapi rakyatnya jangankan sejahtera, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus menggadaikan nyawanya.

Bagi seorang muslimin, menjadi bagian dari umat Islam harusnya memiliki cita-cita bahkan ambisi untuk menghadirkan Islam yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin tanpa ada sekat apapun, baik dalam bentuk ormas maupun madzhab selama masih dalam tuntunan syariat Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Karena Islam yang rahmatab lil ‘alamin tidak hanya memberikan kenyamanan dan keuntungan bagi umat Islam saja, namun juga untuk seluruh umat manusia di dunia.

Hal yang perlu dan sangat perlu didahulukan adalah persatuan yang menjadi sumber energi yang sangatlah besar bagi kemajuan Islam. Oleh karena itu, para ulama haruslah memiliki cara pandang persatuan. Agar umat Islam mampu saling bergandeng tangan sekalipun dari berbagai macam madzhab dan ormas, dengan catatan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sebab, dengan bersatunya ulama, maka bersatulah umat Islam, sehingga Islam menjadi benteng yang kokoh dan tidak mampu dijadikan alat untuk memperdaya kaum muslimin.

Cara pandang tersebut lebih cocok dengan semangat agama bahwa kemajuan Islam tidak diukur dari seberapa banyak ormas yang dibentuk. Bukan juga seberapa banyak pengikut madzhab tertentu, namun seberapa kuat umat Islam bersatu tanpa memandang dari mana asal mereka bermadzhab dan berormas. Maka, jika ingin menjadi ulama, jadilah ulama yang tingkahnya mampu membangkitkan umat Islam kepada Allah SWT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *