Ranking Bukan Tolak Ukur Kecerdasan

 

Liburan sekolah telah usai. Para orang tua telah mendapatkan hasil belajar anak mereka selama satu semester. Ada orang tua yang bangga karena anak mereka menduduki peringkat pertama karena hasil nilai belajar anaknya. Ada pula orang tua yang ‘agak’ merasa kecewa karena nilai anak mereka tidak sesuai dengan harapan.

Sistem ranking telah dihapuskan. Namun tidak sedikit orang tua yang tetap ingin tau peringkat anaknya di kelas.  Menurut mereka, nilai yang bagus dan menjadi juara di kelas akan sangat membanggakan atau akan menjadi ajang saling pamer anak serta akan menjamin kesuksesan mereka kelak.

Benarkah?

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Teori Howard Gardner dari Universitas Harvard (1983) dalam karyanya ‘Intelligence Reframed: Multiple Intelligences’ yang membagi kecerdasan menjadi 9 bentuk. Gardner memandang bahwa kecerdasan tidak hanya berdasarkan skor standar penilaian kecerdasan, tetapi juga kemampuan manusia untuk memecahkan sebuah permasalahan dalam kehidupan. Sembilan teori tersebut antara lain;

Pertama, kecerdasan logika-matematika, Kemampuan yang mampu dalam menalar dan menghitung, menyukai konsep teka-teki dan bermain dengan logika.

Kedua, kecerdasan linguistik. Kemampuan berbahasa dan mengolah kata-kata secara efektif.

Ketiga, kecerdasan interpersonal. Kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain dan suka pergaulan yang luas.

Keempat, kecerdasan intrapersonal. Kemampuan dalam memahami diri sendiri dengan bijaksana, intuisi, serta dapat memotivasi diri sendiri.

Kelima, kecerdasan musik. Kemampuan dalam membedakan nada, ritme maupun timbre.

Keenam, kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemampuan menggunakan tubuh secara efektif dan suka bergerak.

Ketujuh, kecerdasan visual-spasial. Kemampuan dalam menggambar. Pembelajaran mereka akan sangat efektif jika menggunakan gambar maupun alat peraga yang dapat dilihat secara langsung

Kedelapan, kecerdasan naturalis. Kemampuan untuk peka terhadap alam, menyayangi hewan dan suka akan tumbuh-tumbuhan.

Kesembilan, kecerdasan eksistensial. Kemampuan untuk peka terhadap asal usul , arti hidup dan mati.

Kecerdasan di atas merupakan kecerdasan majemuk. Setiap anak akan memiliki beberapa kecerdasan yang berbeda dengan teman-temannya. Misalnya, anak yang memiliki kecerdasan linguistik, juga memiliki kecerdasan spasial dan interpersonal, tetapi memiliki kelemahan dalam bidang logika-matematika.

Untuk itu, kecerdasan anak tidak hanya dapat diukur dari satu tes tertentu saja. Seperti tes IQ yang dibuat untuk menunjukkan kecerdasan seseorang. Orang dengan IQ tinggi akan disebut cerdas sedangkan pada skor bawah tertentu akan disebut bodoh.

Kesempatan menjadi ‘pintar’ kadang dikekang dengan adanya standar penilaian yang dibuat oleh sistem. Apabila seorang anak tidak mencapai standar tersebut, maka orang tua akan kebingungan untuk memberikan les tambahan maupun menuntut anaknya untuk lebih giat belajar.

Beberapa standar nilai akan menguntungkan bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan tersebut yang sesuai dengan standar tersebut. Anak yang memiliki kecerdasan matematika akan sangat senang mengerjakan ujian matematika. Namun anak yang kurang dalam kecerdasan matematika, akan mendapat kesulitan.

Untuk itu, perlu diketahui bahwa kecerdasan majemuk bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mendidik dan memahami bakat anak-anak. Kecerdasan yang tidak hanya unggul dalam satu bidang saja, tetapi pada bidang-bidang lain juga. Dengan begitu, kita tidak akan mematikan potensi-potensi anak.

Anak yang kurang pelajaran eksakta tetapu memiliki kemampuan di bidang kisnestetik, tentu akan unggul dalam bidang olahraga. Namun, apakah anak tersebut dapat dikatakan gagal karena tidak mampu meraih juara di kelas?

Masih banyak orang yang berfikir bahwa nilai akan pasti memberikan kesuksesan di masa depan. Padahal sudah banyak penelitian maupun contoh di sekitar kita bahwa banyak orang sukses dalam bidangnya, bukan berdasarkan nilai sekolah.

Anne Avantie, seorang desainer terkenal di Indonesia. Karyanya sudah dipakai oleh banyak kalangan artis, para pejabat hingga Miss Universe. Semenjak SD ia sudah menunjukkan ketertarikan dalam bidang fashion dengan membuat gambar-gambar baju, hingga membuat pita-pita lucu yang kemudian dijual kepada teman-temannya. Walaupun hanya lulusan SMP tidak menyurutkan cita-citanya menjadi desainer terkenal.

Ada seniman terkenal yang tidak butuh matematika untuk sukses

Pelari butuh fisik yang kuat ketimbang nilai fisika untuk menjadi juara lapangan

Pengusaha sukses tidak perlu pelajaran sastra untuk kaya-raya

Dan tidak butuh IPK untuk menjadi seorang desainer terkenal

Diatas hanyalah contoh untuk orang tua agar membesarkan hati anak jika tidak mendapat peringkat seperti temannya. Bukan berarti pendidikan tidak penting. Namun, tanamkan kepercayaan diri bahwa anak kita hebat dalam bidang mereka. Janganlah sesekali memarahi anak apalagi sampai membandingkan anak karena kemampuan mereka. Sebab, kita hanya akan menyakiti hati anak dan membuat pribadinya tidak percaya diri.

Dalam hal ini, kecerdasan majemuk juga bisa digunakan orang tua untuk mengatur cara belajar anak dengan tepat. Misal anak dengan kecerdasan interpersonal akan lebih memahami pelajaran dengan cara belajar berkelompok, berdiskusi maupun debat.  Sementara anak yang memiliki kecerdasan spasial yang mana pelajaran akan mudah diserap dengan adanya gambar, peta pemikiran maupun alat peraga.

Disini, kemampuan orang tua maupun guru juga diuji untuk memahami dan menemukan bakat serta karakter setiap anak mereka. Jadi, tidak usah risau jika anak tidak mencapai atau gagal dalam hal tertentu. Orang tua hanya perlu menguatkan menghargai dan menyemangati dengan proses yang telah dilakukan anak. Disamping menemukan bakat dan karakter apa yang ada pada diri setiap anak.

Oleh: Helena Fidya Sukma, Mahasiswa Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (MKPI) Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *