*Oleh Muhammad Rafliyanto, Pegiat Literasi dan Pemerhati Isu-isu Pendidikan
Sidang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah memberikan alokasi pendidikan gratis di tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) swasta telah menandai babak baru dalam kebijakan pendidikan Nasional telah diputuskan pada hari Selasa, 27 Mei 2025.
Dilansir melalui beberapa media masa lainnya, permohonan ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Permohanan ini diajukan berlandaskan pada pasal 34 ayat 2 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasioanl nomor 20 tahun 2003. Dalam isinya ditulis bahwa ‘setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya…’. Di dalam frasa tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan ‘negeri’ ataupun ‘swasta’. Hal inilah yang menurut MK telah banyak menimbulkan multitafsir dari berbagai pihak, sehingga terjadi perlakuan diskriminatif yang melukai konstitusi Negara.
Menurut para pemohon, pemerintah memang seharusnya wajib memberikan pendidikan yang layak tanpa memandang status sosial di masyarakat, sehingga tidak terjadi disparitas sosial. Tentu saja hal ini berlandaskan pada konstitusi yang menjamin hak warga negara dalam menyandang pendidikan. Oleh karena itu, saya memandang bahwa ini adalah salah satu aspek yang sangat krusial dalam pelaksanaannya, karena pemerintah harus bisa mengalokasikan dan memastikan anggaran itu benar-benar cukup, baik untuk sekolah negeri maupun swasta agar tercapai keadilan yang merata tanpa mendiskriminasi kelompok-kelompok tertentu.
Arah Baru Pendidikan Indonesia
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan, karena itu tetap menjadi kewajiban konstitusional yang harus dijalankan oleh pemerintah. Terkait Keputusan Mahkamah Konstitusi ini, respon dari pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti dan jajarannya tengah menganalisis putusan MK tersebut, dan segera melakukan kajian internal untuk merumuskan solusi agar sama-sama mendapatkan hak dan kewajiban yang merata.
Tentu saja dalam hal ini banyak pihak yang mendukung pututsan MK tersebut, karena dinilai telah teguh memegang prinsip-prinsip dari konstitusi yang ada. Putusan tersebut juga merupakan langkah progresif yang dapat membuka jaringan dalam memperluas hak dari masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keputusan tersebut juga dianggap sebagai suatu langkah baru untuk memajukan pendidikan di Indonesia, dimulai pada tingkat sekolah dasar. Memang sampai saat ini kesenjangan pendidikan di Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang baik. Bahkan pada tahun ajaran 2024/2025 sejumlah 38.540 siswa SD dan 12.210 siswa SMP putus sekolah karena keterbatasan ekonomi.
Namun, jika melihat pada sudut pandang yang lain, keputusan ini memberikan pertanyaan besar kepada pemerintah, baik dari segi kewajiban implementasi maupun fiskal dari keputusan tersebut. Sejauh mana bisa mengalokasikan anggaran kepada sekolah swasta, apakah negara juga bertanggung jawab tanpa harus melakukan intervensi dan otonomi pembiayaan kepada mereka? Dan seperti yang kita diketahui bersama, keputusan ini bisa saja memberikan ketegangan dari beberapa sekolah swasta yang ada beberapa dari mereka tidak mau menerima dana BOS dari pemerintah. Hal itu juga tidak sepenuhnya salah, karena selama ini sektor -pendidikan- swasta memberikan jasa pelayanan terhadap masyarakat secara independen tanpa ada campur tangan kendali dari pemerintah.
Antinomi Kebijakan Pendidikan
Melihat dari dua perspekti di atas, saya memandang bahwa akan ada ketegangan antara idealisme konstitusi dan realitas yang dipikul kelembagaan pendidikan swasta dari keputusan tersebut. Inilah setidaknya dapat memicu problematika baru karena terjadi benturan yang sama-sama prinsip antara pemerintah sebagai penjamin hak, dan swasta sebagai penyelenggara independen. Ketegangan ini bukan hanya berbicara mengenai kebijakan teknis, namun menggambarkan sebuah adanya antinomi normatif yang muncul melalui kebijakan baru dari keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jika melihat pada konteks filsafat hukum, antinomi merujuk pada suatu keadaan Ketika ada dua norma yang sama-sama secara legal dan sah justru saling berhadapan satu sama lain, dan menciptakan ketegangan di antara keduanya. Secara umum, antinomi bukanlah satu hal yang sifatnya kontrakdiksi desktruktif, karena keduanya sama-sama memiliki kebenaran dan landasan secara normative, namun tidak sepenuhnya dapat direkonsiliasi dan harus mengorbankan salah satunya. Immanuel Kant (1781) dalam bukunya ‘The Critique of Pure Reason’ menjelaskan antinomi sebagai sebuah pertantangan atau kontradisiksi yang muncul dari usaha nalar murni untuk memahami suatu realitas di luar transenden.
Antinomi yang sekarang juga terjadi di dalam konteks putusan MK mengenai pendidikan gratis di sekolah dasar dan menengah pertama swasta. Jelas tampak terlihat bahwa ada antinomi dalam putusan ini. Satu pihak memandang bahwa negara wajib untuk menjamin hak pendidikan secara gratis selama 9 tahun bagi masyarakatnya, sementara dari pihak lain mempertanyakan pelaksanaan yang akan dilakukan pemerintah untuk menanggung beban fiskal atau materi dari pihak sekolah swasta.
Solusi dan Perencanaan Bersama
Antinomi dalam konsep Kant (1781) sesungguhnya memungkinkan seseorang untuk melihat dari dua sisi tanpa harus saling mendiskreditkan salah satunya. Namun Immanuel Kant juga menjelaskan, bahwa setiap keadaan yang dialami oleh individu akan memiliki antinominya masing-masing. Oleh sebab itulah keputusan yang diputuskan oleh MK ini adalah sesuatu antinomi yang melekat dalam konstitusi tersebut. Satu sisi memandang bahwa ada manifestasi yang harus diwujudkan oleh pemerintah, namun di sisi lain ada prinsip kebebasan penyelenggara pendidikan yang ditanggung secara mandiri oleh swasta.
Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan jalan tengah sebagai upaya untuk mendamaikan keduanya, bukan hanya terletak pada soal regulasi, namun pemerintah juga harus memperhatikan kode etik dan beban materi dalam mendamaikan kedua prinsip ini.
Hal ini dikarenakan bahwa dalam realitanya sekolah swasta menanggung beban operasioanal yang sangat besar. Terlebih lagi, saat ini banyak dari sekolah swasta tidak berani menetapkan biaya tinggi keapda peserta didik, terutama dari kelompok dengan ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, tanpa adanya skema anggaran yang tepat, keputusan ini justru bisa menciptakan ketidakpastian pendidikan. Tentu saja, antinomi ini tidak hanya bersifat teoritis semata, namun juga pada bagian implementasinya perlu diperhatikan.
Adanya sebuah antinomi ini bukan untuk dihindari, namun untuk sama-sama dikelola dengan baik, sehingga dapat jalan tengah sebagai sebuah solusi dalam problematikanya. Hal ini menuntut pemerintah untuk tidak berhenti pada level normatif saja, namun juga harus masuk ke ranah penyelesaian sebagai tanggung jawabnya kepada konstitusi, dan memberikan solusi untuk beban fiskal dan anggaran kelembagaan sektor pendidikan swasta. Oleh karena itu, peneliti berharap dengan adanya sebuah solusi dan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah dan para ahli nanti dapat memberikan angin segar untuk mendamaikan keduanya. Karena manifestasi pendidikan hanya bisa diwujudkan ketika pemerintah dan masyarakat memiliki visi dan misi yang seirama, berkolaborasi menuju Indonesia emas.