Perlindungan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah

Oleh: Putri Ajeng Kurnianti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

 

Konflik bersenjata di Suriah merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat kompleks dan sistematis, yang telah mengungkap kelemahan mendasar sistem perlindungan hak asasi manusia internasional.

Sejak pecahnya konflik pada tahun 2011, warga sipil telah menjadi korban utama dari serangkaian pelanggaran sistematis yang secara terang-terangan melanggar instrumen hukum internasional yang paling mendasar.

Bacaan Lainnya

Menurut Konvensi Jenewa IV Tahun 1949, Protokol Tambahan II Tahun 1977, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, setiap pihak yang berkonflik mempunyai kewajiban mutlak untuk melindungi warga sipil, namun kenyataan di Suriah menunjukkan pola yang sistematis dan terus-menerus. Hukum humaniter internasional sangat menegaskan prinsip pembedaan antara kombatan dan warga sipil, larangan serangan tidak proporsional, dan kewajiban untuk menghormati hak dasar manusia dalam situasi konflik bersenjata, tetapi Konflik Suriah menunjukkan betapa mudahnya norma-norma hukum internasional diabaikan ketika kepentingan politik dan militer mengalahkan pertimbangan kemanusiaan.

Pelanggaran hak asasi manusia di Suriah mencakup spektrum kekerasan yang sangat luas dan mendalam, meliputi pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, pemindahan paksa, dan serangan sistematis terhadap infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum.

Hukum internasional dengan jelas mewajibkan perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata, namun kenyataan di Suriah menunjukkan bahwa system perlindungan tersebut telah gagal total, dimana kepentingan geopolitik dan strategi perang telah mengesampingkan perlindungan hak asasi manusia. Menurut dokumen dari Komisi Penyelidikan Independen PBB, lebih dari 500.000 orang tewas selama konflik tersebut, dan Sebagian besar korbannya adalah warga sipil yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran tersebut.

Pasal 3 Umum Konvensi Jenewa dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang tidak aktif berpartisipasi dalam permusuhan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang meletakkan senjatanya dan mereka yang sedang sakit, terluka ataau ditahan, mempunyai hak untuk perlakuan yang manusiawi. Namun, dalam kenyataan konflik Suriah, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan ini secara sistematis telah diinjak-injak oleh pemerintah Suriah, kelompok pemberontak, organisasi teroris, dan kekuatan asing yang ikut campur dalam konflik tersebut.

Tragedi kemanusiaan di Suriah ini bukan hanya merupakan pelanggaran hukum, namun juga kegagalan moral masyarakat internasional dalam mencegah dan menghentikan kekerasan sistematis terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah,

Penyebaran militan dan kompleksitas kepentingan geopolitik semakin memperparah kompleksitas konflik Suriah, yang secara langsung berdampak pada perlindungan warga sipil.

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Hak Anak dengan tegas menegaskan hak-hak dasar setiap orang, terlepas dari apapun situasi konfliknya, namun dalam praktiknya, warga sipil Suriah, terutama anak-anak, perempuan, dan kelompok rentan telah mengalami pelanggaran serius yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengeboman wilayah pemukiman, penggunaan senjata kimia, perekrutan anak-anak sebagai kombatan, penggunaan pemerkosaan sebagai senjata perang, serta pengepungan dan kelaparan yang disengaja merupakan beberapa contoh nyata pelanggaran HAM. Meskipun terdapat mekanisme hukum internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan resolusi Dewan Keamanan PBB, penegakan hukum dan upaya permintaan pertanggung jawaban pelaku pelanggaran HAM terbukti sangat lemah dan tidak efektif.

Konflik di Suriah telah mengungkap kelemahan mekanisme perlindungan internasional, di mana kedaulatan negara seringkali mengesampingkan perlindungan kemanusiaan.

Pendekatan komprehensif untuk mengatasi perlindungan HAM di Suriah memerlukan reformasi menyeluruh pada level internasional, regional, dan nasional. Diperlukan mekanisme investigasi independen yang kredibel, sanksi khusus terhadap pelanggar, dan upaya rekonsiliasi oleh semua pihak.

Prinsip tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect/R2P) yang diakui hukum internasional harus diterapkan secara efektif dan tidak hanya menggunakan retorika diplomatik. Koridor kemanusiaan, gencatan senjata permanen, serta mekanisme perlindungan sipil yang komprehensif merupakan prasyarat mutlak untuk menghentikan siklus kekerasan yang telah berlangsung selama hampir satu dekade.

Kesimpulannya, konflik Suriah menghadirkan realitas kelam tentang kegagalan sistem perlindungan hak asasi manusia internasional. Ia bukan sekadar konflik regional, melainkan cermin dari ketidakmampuan masyarakat internasional dalam mencegah dan menghentikan pelanggaran kemanusiaan.

Tanpa komitmen konkret untuk menghormati martabat manusia, menegakkan prinsip-prinsip hukum humaniter, dan membangun mekanisme perlindungan yang efektif, konflik seperti di Suriah akan terus menjadi langgam tragis dalam sejarah umat manusia.

Perlindungan hak asasi manusia tidak boleh sekadar menjadi retorika kosong, tetapi harus menjadi praktik konkret yang ditegakkan dengan konsisten dan tanpa kompromi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *