Royalti Hak Cipta adalah Amanah Undang Undang

*Oleh : Kanti Rahayu, MH, Dosen Fakultas Hukum UPS Tegal

 

Semestinya tiada lagi perdebatan mengenai pembayaran royalti atas suatu Hak Cipta, sebab Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta khususnya pada Pasal 1 angka 21 telah menyebutkan dengan jelas bahwa Royalti merupakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi maupun hak terkait atas suatu ciptaan yang dimiliki oleh Pencipta.

Sehingga para pengguna hak cipta khususnya yang berupa lagu atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial atau menghasilkan keuntungan secara ekonomi bagi pengguna maka wajib melakukan pembayaran royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang juga telah diatur keberadaannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yakni pada pasal 1 angka 22 serta pasal 87 dan 88.

Bacaan Lainnya

Lembaga Manajemen Kolekatif merupakan lembaga nirlaba yang berbadan hukum dan diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait untuk mengelola hak ekonominya dalam bentuk penghimpunan dan pendistribusian royalti.

Lembaga Manajemen Kolektif adalah lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk oleh Kementerian Hukum berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 PP No. 56 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.

Dengan demikian setiap orang boleh menggunakan lagu atau musik secara komersial di ruang publik, selama royalti dibayarkan kepada pihak terkait melalui LMK sesuai ketentuan peraturan pemerintah.

Lalu untuk menjawab pertanyaan berapa besaran tarif royalti atas penggunaan Hak Cipta, maka penetapan besaran persentase atau tarif royalti atas pemanfaatan karya cipta, khususnya lagu dan musik, berada di bawah kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

LMKN merupakan badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dengan mandat mengelola pengumpulan dan distribusi royalti secara sistematis dan terstruktur. Dasar hukum yang mengatur kewenangan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Dalam proses penetapan tarif royalti, LMKN melakukan analisis komprehensif yang mempertimbangkan jenis pemanfaatan karya, skala kegiatan komersial, serta input dari pemilik hak cipta dan pihak pengguna.

Selain itu, praktik dan standar internasional juga dijadikan acuan untuk memastikan kesesuaian tarif. Setelah melalui proses evaluasi dan konsultasi, LMKN menetapkan dan mengumumkan tarif royalti yang berlaku secara nasional untuk menjamin kepastian hukum dan transparansi dalam pembayaran royalti kepada pencipta serta pemilik hak terkait.

Meski telah diatur secara yuridi dasar penetapan royalti serta lembaga yang berwenang untuk menghimpun dan mengelolanya, bukan berarti tiada problematika dalam penerapan royalti. Regulasi yang sudah baik tidak cukup untuk dapat menjamin bahwa pelaksanaannya juga pasti baik.

Perdebatan dan konflik terkait hak royalti atas lagu dan musik masih sering terjadi dikalangan pencipta dan pengguna hak cipta.

Perdebatan mengenai royalti antara penyanyi dan pencipta lagu atau ahli waris dari pencipta mencerminkan dinamika yang kompleks dalam pengelolaan royalti bagi pencipta karya musik di Indonesia.

Secara ilmiah, permasalahan ini dapat dianalisis melalui perspektif hukum hak cipta, ekonomi kreatif, serta prinsip keadilan distributif. Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah memberikan landasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban pencipta serta pemegang hak terkait dalam memperoleh royalti atas pemanfaatan karya mereka.

Namun, implementasi teknis pengumpulan dan distribusi royalti masih menghadapi tantangan, seperti transparansi mekanisme pembayaran dan ketepatan penetapan besaran royalti yang ditetapkan.

Dalam industri seni musik dan lagu, masih terdapat fakta yang memprihatinkan bahwa banyak pelaku seni kurang memahami secara mendalam mengenai hak cipta. Kurangnya pengetahuan ini berdampak pada kesadaran mereka terhadap perlindungan hukum yang seharusnya menjadi hak dasar pencipta dan pemilik karya. Kondisi ini sering kali menyebabkan terjadinya pelanggaran hak cipta, baik secara tidak sengaja maupun karena minimnya informasi mengenai mekanisme pengelolaan dan pengawasan royalti.

Faktor penyebabnya meliputi kurangnya edukasi formal mengenai aspek hukum hak cipta, minimnya sosialisasi dari lembaga terkait, serta keterbatasan akses terhadap informasi yang valid dan mudah dipahami oleh para pelaku seni. Ketidakpahaman ini tidak hanya merugikan pencipta secara finansial, tetapi juga menghambat perkembangan industri musik secara keseluruhan, karena hak cipta yang tidak terlindungi secara efektif dapat melemahkan insentif bagi inovasi dan kreativitas.

Oleh karena itu, peningkatan edukasi dan penyuluhan mengenai hak cipta kepada pelaku seni musik dan lagu menjadi suatu kebutuhan mendesak agar mereka dapat menghargai dan mengelola hak atas karya cipta dengan lebih baik, sekaligus mendukung keberlanjutan industri kreatif secara keseluruhan.

Selain itu, itikad baik merupakan salah satu asas yang perlu dikedepankan dalam lapangan hukum privat, sehingga hukum kekayaan intelektual yang berada dibawah lapangan hukum privat juga menjunjung tinggi itikad baik dalam perlindungan segala bentuk cakupan bidang Kekayaan Intelektual termasuk didalamnya royalti hak cipta.

Adanya Itikad tidak baik secara subjektif maupun objektif dapat disimilarkan sebagai bentuk perbuatan yang tidak jujur dan menimbulkan ketidakpatuhan. Mengingat begitu besarnya manfaat ekonomi dan moral yang terkandung dalam perlindungan Kekayaan Intelektual khususnya dalam karya lagu dan musik, maka sudah sepatutnya bahwa diperlukan reformasi kebijakan yang mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan royalti, termasuk penggunaan teknologi digital untuk memonitor pemanfaatan karya secara real time.

Penguatan peran lembaga manajemen kolektif melalui pengawasan reguler dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga penting untuk memastikan distribusi royalti yang tepat dan tepat waktu. Selain itu, edukasi dan sosialisasi hak cipta bagi para pelaku industri musik harus terus ditingkatkan agar pemahaman dan kepatuhan terhadap regulasi dapat terwujud secara menyeluruh.

Dengan penerapan solusi tersebut, diharapkan konflik-konflik yang terjadi dapat diminimalisir dan industri musik nasional dapat tumbuh secara berkelanjutan.

Perlindungan Hak Cipta diberikan dalam rentang waktu yang lebih panjang, sejalan dengan penerapan standar internasional di berbagai negara. Untuk karya tertentu, masa perlindungan ini berlangsung selama pencipta masih hidup dan dilanjutkan hingga tujuh puluh tahun setelah wafatnya.

Selain itu, perlindungan ini juga mencakup hak ekonomi para pencipta dan pemilik hak terkait, termasuk pembatasan pengalihan hak ekonomi secara permanen, seperti praktik jual putus.

Dalam menyelesaikan sengketa terkait Hak Cipta, mekanisme yang efektif seperti mediasi, arbitrase, maupun proses peradilan dapat dijalankan. Pengelola pusat perdagangan memiliki tanggung jawab penuh terhadap potensi pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait yang terjadi di lingkungan operasional mereka.

Hak Cipta sebagai aset tak berwujud juga dapat dijadikan objek jaminan fidusia, memberikan fleksibilitas dalam pemanfaatannya.

Para pencipta dan pemilik hak terkait diwajibkan menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif guna memastikan mereka dapat menerima imbalan atau royalti secara adil dan transparan. Royalti juga diberikan kepada ciptaan yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan untuk tujuan komersial.

Penggunaan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam media multimedia turut diatur untuk menjawab tantangan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus maju.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *