Lelaki dan perempuan adalah sepasang manusia yang memiliki martabat yang sama, tetapi harus diakui pula adanya perbedaan di antara keduanya. Hendaknya perbedaan tersebut dijadikan asas terbinanya harmonisasi guna terbentuknya masayarakat yang penuh kesadaran dan kesejahteraan bagi semua pihak. Namun sungguh disayangkan, idealitas tersebut masih sering dianggap formalitas belaka, Perempuan seringkali diperlakukan tidak wajar baik karena tidak taukadar kemampuannya, maupun mengetahui tapi secara pasrah menerimanya. Hal ini berimbas pada nasib perempuan dalam hal karir dan pendidikan. Jangan berbincang jauh soal karir perempuan, bahkan pendidikan dianggap tidak penting karena pada akhirnya perempuan hanya akan berada dibawah tanggungjawab suami.
Berbicara soal perempuan dalam dunia karir, tentu tidak jauh dari istilah “Peremehan”. Seringkali peran wanita dalam dunia karir diremehkan khalayak umum. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah seakan sudah mendarahdaging dalam pemikiran masyarakat. Perempuan pun ikut terdoktrin dengan pemikiran tersebut, sehingga banyak dari mereka yang ikut terpatri pada pemikiran tersebut. Pemikiran tersebut secara otomatis mempengaruhi pemikiran masyarakat secara turun-menurun, para orangtua menelantarkan pendidikan putrinya . Tidak banyak yang berani membantah doktrin tersebut.
Pandangan negatif terhadap perempuan diperparah juga oleh masyarakat dan pendidikan di rumah tangga yang seakan lebih memprioritaskan laki-laki dibanding perempuan. Padahal, kalua merujuk kepada al-Qur’an tidak ada dasar superprioritas anatara satu jenis atas jenis yang lain. Namun, bukan berarti semua perempuan mengikuti hal ini dengan pasrah. Sebut saja RA Kartini, perempuan tangguh dari Jepara yang mencetuskan emansipasi perempuan. Dengan berani meghimpun suara para perempuan Indonesia guna memenuhi hak-hak perempuan yang terbilang sangat rendah kala itu. Perjuangan ini ternyata tidak sia-sia, perlahan mata masyarakat pun terbuka, mereka mulai menyadari akan diskriminasi tersebut.
Seiring berkembangnya zaman, istilah perempuan karir bukanlah rahasia umum lagi. Mereka dituntut mampu membagi waktu dengan baik, mengingat peran perempuan utamanya yang sudah berkeluarga cukup banyak, meliputi keluarga hingga karir. Keterlibatan perempuan dalam karir kerja memiliki dampak positif dan negatif bagi masing-masing keluarga, organisasi, bahkan bagi diri mereka sendiri. Untuk meminimalkan dampak negatif tersebut, perempuan karir diharuskan menyeimbangkan peran mereka dalam ranah kerja dan keluarga. Berbagai spekulasi bermunculan guna membahas keseimbangan keluarga perempuan karir, dengan asumsi bahwa interaksi antara lingkungan kerja dan lingkungan keluarga adalah fokus utama perempuan karir. Dalam hal ini, seorang individu perempuan berusaha mengelola lingkungan kerja dan keluarga secara tepat untuk menjaga keseimbangan. Upaya yang telah dilakukan termasuk mengelola keterlibatan di tempat kerja dan di keluarga, dan membuat komunikasi yang tepat antara suami dan majikannya tentang masalah di tempat kerja dan di keluarga.
Istilah perempuan karir juga bukanlah hal yang baru lagi. Sebut sajapara perempuan yang hidup pada zaman Umar bin Khattab. Banyak dari mereka yang terjun kr psar una bekerja sebagai Pengatur administrasi, pedagang dan lain-lain. Pun Siti Khodijah, istri Rasulullah, perempuan tanggung nan kaya raya berkat karirnya dalam dunia wirausaha.
Islam sendiri tidak melarang perempuan untuk berkarir di luar tempat tinggalnya. Tidak ditemukan dalil yang pasti yang melarang perempuan untuk berkarir. Karena iu, pada dasrnyaperempuan tidak dapat dilarang untuk bekerja, karena pada dasarnya agama menetapkan kaidah yang berbunyi: “ Dalam hal kemasyarakatan, semuanya boleh selama tidak ada larangan, dan dalam hal ibadah murni, semuanya tidak boleh kecuali ada tuntutan.”