“Bumi ini telah dijadikan Allah sebagai masjid bagiku”. Begitulah ucap Rasulullah SAW. Maka kita saksikan, muslim bersujud mendirikan shalat di manapun mereka berada ketika adzan lima waktu bergema. Ada yang di rumah, di surau, di langgar, di mushalla, masjid kecil maupun masjid besar. Dan jangan heran, bila anda melihat orang shalat di sisi highway, autobahn atau jalan tol. Juga yang shalat di Kebun Raya atau di atas batu-batu di Sungai Ciliwung. Di tengah sawah, bukit, tebing, dan hutan. Shalat di pantai atau di tengah lautan dan samudera. Dan ketika sedang mengudara sekalipun dengan pesawat ulang alik. Bagiku, bagi kita semua, alam semesta ini adalah tempat bersujud sejak matahari terbit hingga mata kepala terpejam.
Ekspansi masjid sejak dari desa hingga kota. Sejak di agropolitan ke metropolitan dan megapolitan. Kita semua bersujud dalam keadaan apapun. Kita sedang sakit, apalagi sehat. Dalam keadaan perang sekalipun, atau damai. Dan juga bila kita sedang berhadapan dengan ujian musibah dan nikmat. Kita semua bersujud, menghadapkan pandangan hidup, jalan pikiran kita kepada pandangan dan jalan Allah. Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fathara as-Samaawaati wa al-ardli. Ya sujud, sajada, masjida, adalah bagian hidup kita. Basic need kita. Tak ada hidup tanpa sujud. Shalat adalah kebutuhan untuk meluruskan pandangan keseharian kita.
Maka terbentanglah Sajadah Panjang-nya Taufik Ismail. Maka berdirilah masjid yang tersusun dari batu-bata-beton-baja bertingkat-tingkat, memaku bumi segala penjuru sejak Andalus hingga Andalas. Dari Maroko hingga Merauke. Di dalam masjid ini berkumpullah secara teratur dan reguler para hamba Allah dengan kapasitasnya masing-masing dalam hal IQ (Intelligence Quotient), tahta, atau harta. Berlapis-lapis atau melingkar (halaqah) dalam rangka bersyukur dan berdoa kepada Allah. Bahkan mereka membicarakan (mubahasah, munadharah, mudzakarah, muhasabah, mujadalah, dan mauidhah) masalah-masalah kehidupan. Masalah keseharian yang mendesak. Juga masalah yang mendunia tentang perdamaian, keadilan, persamaan, kemerdekaan, kemakmuran, persatuan, dan lain-lain.
Muslim jamaah masjid yang penarik becak berlingkar di sebuah pojok masjid ber-muhasabah bagaimana mencari rizki yang halal dan bersaing ketat dengan motor ojek, mobil ojek, atau minibus, untuk menghidupi keluarganya nun jauh di kampung halaman. Di pojok lainnya dari masjid itu kita jumpai halaqah muslim yang remaja (pelajar, mahasiswa) bermudzakarah tentang buku Adik Baru yang diedit oleh Prof. Dr. Conny Semiawan, juga bukunya Salman Rushdie yakni The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan). Kita juga lihat, di pojok masjid itu ada halaqah para ulul albab yang sedang ber-mujadalah dengan serius dan kening berkerut tentang ukhuwah isytirakiah (kesetiakawanan sosial) dengan kaum dhu’afa (yang tertindas hak-hak asasinya), dengan kaum fuqara (yang penganggur, tidak memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya), dan dengan kaum masakiin, sebab tidak kebagian distribusi pendapatan yang adil.
Kemudian halaqah para ulama faqih bermuhasabah di pojok dekat mihrab masjid tentang kemungkinan membangun persatuan umat Islam dan persatuan kyai internasional. Halaqah ulama ini juga bermunadharah tentang makna dan fungsionalisasi kerjasama antara ulama dan umara, salah-salah ulama minta petunjuk pada umara. Salah-salah ulama berfatwa tentang suatu hal sesuai dengan selera umara, bukan selera Allah dan Rasul-Nya. Dan di ruangan lain dari masjid, kaum ibu, dan remaja putri pada emok (duduk di lantai) mengkaji masalah seks, masturbasi, dan persiapan serta memelihara rumah tangga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Masalah qurrata a’yun. Masalah annisa’ imadul bilad. Aljannatu tahta aqdamil ummahat. Juga kegiatan keseharian halaqah keputrian, semisal halal haramnya makanan dan minuman atau mandi besar dan mandi kecil.
Madrasah alifbata pun tersedia di ruangan lain dari masjid itu bagi para pemula, bagi kakek dan nenek yang ingin bisa baca al-Quran dan shalat yang benar dan bagi anak-anak balita atau seusia bustanul athfal. Pokoknya masjid ini terbuka 24×60 menit bagi seluruh lapisan demografis umat sebagai pusat ibadah dan muamalah kemasyarakatan, yakni sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Itulah gambaran yang ada pada benakku dan kita, tentang masjid yang makmur alias masjid maksi. Masjid itu, luas atau sempit, bermenara mencakar langit atau tidak, berlantai semenkah, teraso atau keramik, bagiku tidak terlalu penting. Kita memang terlalu biasa banting tulang dan banting otak hanya untuk membangun fisik masjid. Dan kurang terbiasa bagaimana membangun isi dan fungsi masjid dengan menggunakan idarah, dengan menggunakan manajemen untuk memakmurkan masjid.
Masjid itu luas dan berkilau, megah, gagah, dan indah. Tapi, tampaknya kita biarkan saja kesepian. Sepi pengunjung/jamaah. Miskin kegiatan. Dibuka sekali-kali saja ketika qabla dan ba’da shalat lima waktu. Kita pakai masjid itu hanya untuk shalat bagi jamaah yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari dan shalat jumat. Tak ada halaqah. Dan sunyi dari harakah, langka nikmat, miskin ma’udhah-mujadalah-mubahasah-mudzakarah-munadharah. Inilah, boleh jadi kita namakan masjid mini.
Jumlah masjid mini lebih banyak ketimbang yang maksi. Anda mau menghitung dengan sensus, berapa, di mana lokasinya, keadaan fisik bangunannya, manajemennya, majlis takmirnya, dan entah data apalagi tentang masjid mini dan maksi di tanah air kita? Menurut berita upacara, konon di negeri ini ada 800.000 buah masjid. Termasuk dalam jenis ini adalah masjid swadaya umat di desa dan di kota, masjid plat merah, masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YAMP, yang merupakan masjid inisiatif mendiang Presiden Soeharto), dan juga masjid kampus. Yang disebut terakhir, yakni masjid kampus, biasanya boleh jadi umumnya sangat makmur. Anda boleh kategorikan masjid kampus ini sebagai masjid maksi.
Idarah masjid kampus sungguh excellent. Kegiatannya melampaui batas tata ruang masjid itu sendiri, meskipun masjid-masjid kampus itu mungil saja. Aktivitasnya menjangkau rahmatan lil ‘alamin. Boleh jadi mirip-mirip jangkauan Majidil Haram atau Masjid Nabawi di Madinah yang menyentuh sejak top level hingga grass root level. Barangkali masjid kampus inilah bagaikan titik awal kebangkitan, beriring dengan semaraknya yang bergemuruh dari masjid pesantren di mana kyai/wakilnya memimpin langsung Masjid kampus, masjid pesantren dan masjid lainnya yang setara, boleh anda sebut saja sebagai Pusat Islam (Markazul Islam, Islamic Center).
Sebagai Pusat Islam, masjid ini bukan hanya tempat menjalin komunikasi vertikal saja. Bukan hanya sarana departemen atau seksi kerohanian saja. Tapi juga memperkokoh komunikasi horizontal yakni bahwa dari ruangan dan pojok masjid itulah anda, berfatwa halal-haram, menilai yang haq-bathil, atau adil-lalim. Dari pojok masjid itu pula kita boleh mengambil keputusan penting tentang kesra (kesejahteraan rakyat), ekuin (ekonomi, keuangan, dan industri), dan polkam (politik dan keamanan), sebagaimana Rasulullah SAW pernah memberi contoh-contohnya.
Begitulah yang kita saksikan pula di masjid-masjid atau Islamic Center di luar negeri, terutama di negara-negara industri maju. Di Eropa, USA, Kanada, Australia, bertebaran masjid berwajah Islamic Center yang hidup dan menghidupkan. Umat non-muslim berbagai bangsa dan lapisanpun hadir ke ruangan-ruangan masjid (kecuali ruangan/lantai untuk shalat), membaca perpustakaan Islam, ikut menyaksikan, mendengarkan pengajian, dan diskusi. Anda tahu di antara mereka banyak yang melakukan konversi menjadi pemeluk Islam yang taat. Jaringan informasi antar masjid dan lembaga-lembaga Islam seduniapun dibina. Ditata rapi pula jaringan kerjanya.
Maka kita saksikan sekarang, jangan heran kalau masjid sudah masuk ke pabrik/industri. Masjid masuk ke bank, hotel berbintang, restoran, kantor-kantor segala jenis, dan bahkan ke istana sekalipun. Tapi aku masih penasaran, aku belum mau mati rasanya bila istana dan kantor segala jenis itu belum mau masuk masjid maksi. Wallahu A’lamu Bi Al-Shawab.