Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren Tahfidh al-Qur’an Dar al-Nashihah MONASH INSTITUTE Semarang. Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.
Ilmu pengetahuan bagi manusia berarti sangat penting. Dengan ilmu pengetahuan itu, manusia mampu membangun peradaban yang terus meningkat. Karena itulah, sejak awal diciptakan, Allah membekali dengan ilmu (al-Baqarah: 31). Makhluk yang tidak tahu apa-apa, dengan pengajaran Allah itu menjadi memiliki pengetahuan, walaupun hanya sedikit saja dari ilmuNya (al-Kahfi: 85). Dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia akan benar sejak dalam ide dan diharapkan berlanjut kepada sikap dan perbuatan.
Jika dalam ide sudah salah, maka sikap dan perbuatan juga pasti akan salah. Dan jika pun benar, akan bernilai salah. Dan dengan pengetahuan kepada kebenaran itu, maka manusia akan menjalani kehidupan dengan lebih mudah, sebagaimana masyhur dalam rangkaian kata hikmah “barang siapa menginginkan dunia, maka hendaklah ia kuasai ilmu; barang siapa menginginkan akhirat, maka hendaklah ia kuasai ilmu; dan barang siapa menginginkan keduanya, maka hendaklah ia kuasai ilmu”.
Dengan ilmu pengetahuan itu, Allah mengangkat derajat siapa saja yang memilikinya (al-Mujadilah: 11). Karena itulah, di dalam al-Qur’an maupun hadits yang merupakan fundamen atau bahkan sumber ajaran Islam, penguasaan kepada ilmu pengetahuan sering ditekankan. Seruan itu menjadi motivasi agar manusia senantiasa giat untuk senantiasa belajar sejak masih dalam ayunan sampai liang lahad.
Di samping memerintahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan, Islam juga menekankan untuk menyampaikannya sebagai bagian dari dakwah ke jalan Allah. Langkah menyampaikan itu merupakan kewajiban, dengan harapan setiap manusia bisa memiliki akses kepada kebenaran. Menyembunyikan kebenaran, adalah tindakan yang dicela, dan karena sikap itulah muncul kafir sebagai istilah ideologis.
Al-Ghazali di dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulum al-Diin, telah mengkategorikan manusia berdasarkan penguasaan dan tanggung jawabnya karena ilmu menjadi empat, yaitu: tahu dan tahu bahwa ia tahu, tahu tapi tidak tahu bahwa ia tahu, tidak tahu tapi tahu bahwa ia tak tahu, dan tidak tahu tapi ia tak tahu bahwa ia tak tahu. Dan ulama’, ia kategorikan menjadi dua, yaitu ulama’ dunia (buruk) dan ulama’ akhirat (baik). Tulisan ini, hendak melengkapi kategori ulama’, dengan melakukan identifikasi secara lebih rinci dengan melihat peran yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan peran pencerahan dan pemberdayaan berbasis ilmu itu, ulama’ bisa dikategorikan menjadi lima, yaitu:
Pertama, ulama’ yang membodohi. Ini merupakan ulama’ yang sesat dan menyesatkan. Karena itu, ulama’ jenis ini terlaknat. Ulama’ jenis ini menggunakan ilmu yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan material atau duniawi dengan menjadikan banyak orang sebagai sarananya. Ia rajin membangun pengaruh di dalam masyarakat. Kapasitas keilmuan dan pengaruhnya digunakan untuk membangun konstruksi pandangan yang hanya menguntungkan diri dan/atau kelompoknya saja.
Untuk melanggengkan pengaruh ini, maka pengikutnya jangan sampai menjadi cerdas. Dengan para pengikut tetap berada dalam kegelapan, maka mereka akan tetap menjadi basis bagi kekuasaan dalam masyarakat, yang pada saat-saat tertentu bisa dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan struktural, atau bisa dijual kepada orang lain yang berkompetisi untuk meraih jabatan struktural. Mereka tidak peduli umat berada dalam kemiskinan dan tereksploitasi. Yang terpenting adalah mereka mendapatkan keuntungan untuk memenuhi hasrat hidup mewah, dengan tempat tinggal dan kendaraan yang mewah, tidak sekedar fungsional.
Ulama kategori ini sudah dikenal sejak lama. Al-Qur’an melihat ini sudah terjadi pada era Yahudi dan Nashrani. “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih” (al-Taubah: 34). Mereka orang-orang berilmu yang seharusnya menunjukkan jalan yang benar, tetapi justru melakukan yang sebaliknya, yakni menghalangi dari jalan Allah.
Pada zaman Yunani Kuno, ulama’ jenis ini bahkan berjumlah lebih banyak. Karena orientasi duniawi mereka, maka julukan sofis menjadi berkonotasi negatif. Mereka adalah orang-orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan dengan orientasi uang atau bayaran. Karena orientasi material itulah, mereka sering membolak-balikkan kebenaran, tergantung keinginan penguasa atau pemilik uang.
Kedua, ulama’ yang tidak punya panggilan untuk mencerdaskan. Ulama’ kategori ini sudah disebut oleh al-Ghazali sebagai orang yang berilmu, tetapi tidak menyadari bahwa ia tahu (rajulun laa yadrii wa laa yadrii annahuu laa yadrii). Mereka tidak merasa bahwa ilmu yang ada pada mereka merupakan anugerah dari Allah dan konsekuensinya adalah kewajiban untuk menyampaikannya.
Padahal, Nabi Muhammad menegaskan bahwa ulama’ adalah orang-orang yang mewarisi para nabi, dan karena itu harus mewariskan yang diwarisi dari para nabi itu kepada ummatnya, agar mereka menjadi manusia yang memahami panduan Allah. Ulama’ jenis ini tidak mau menempuh jalan sulit dengan berusaha untuk mencerahkan. Apalagi dalam upaya itu pasti ada status quo yang terganggu dan berpotensi menjadi musuh. Mereka tidak memiliki kesiapan mental profetif dimusuhi oleh orang-orang yang merasa terganggu oleh paradigma yang benar, sehingga memilih bermain aman dengan tidak melakukan upaya melakukan pendidikan.
Ketiga, ulama’ yang tidak menguasai metode untuk mencerdaskan. Ulama’ kategori ini sudah melakukan tugas mendidik ummat. Namun, aktivitas mendidik yang dilakukan tidak memiliki efek signifikan untuk mencerdaskan atau mencerahkan umat secara signifikan. Aktivitas mengajar menjadi rutinitas harian. Bisa juga karena tradisi yang ada secara turun temurun. Tidak ada kreativitas inovatif untuk membangun metode pendidikan baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Akibatnya, materi-materi pengajaran yang disampaikan tidak bisa diserap dan dipahami oleh umat. Atau jika pun dipahami, tetapi mereka kemudian cepat melupakannya. Sebab, umat tidak memiliki alat untuk mengikat ilmu pengetahuan yang disampaikan. Apalagi niat awal mereka hanya sekedar mencari pahala menghadiri majelis ilmu. Akibatnya, majelis ilmu kehilangan nuansa dinamis. Semua berjalan apa adanya saja tanpa evaluasi, karena juga tanpa target tertentu.
Keempat, ulama’ yang mencerahkan. Ulama’ ini mampu membuat umat memahami ajaran agama dengan baik, sehingga mereka berhasil keluar dari kegelapan (dhulumat) menuju kepada cahaya terang (nur). Ulama’ jenis ini, tidak hanya mengisi gelas kosong, tetapi juga sekaligus mengobarkan api yang awalnya kecil. Ulama’ jenis ini memperkuat ilmu alat dalam praktek memahami doktrin-doktrin agama, juga mempelajari fakta peradabannya. Namun, pencerahan itu berhenti pada tataran pengetahuan, belum beranjak pada aksi. Sebab, tidak memiliki keterampilan teknis untuk melakukan sesuatu yang aplikatif dan menjadi kebutuhan material hidup masyarakat. Karena itu, mereka menjadi orang-orang yang pintar beretorika, tetapi minim dalam kerja.
Kelima, ulama’ yang memberdayakan. Ini adalah tingkatan tertinggi ulama’. Tidak hanya wacana dengan olah fikir dan dzikir yang diajarkan, tetapi juga jalan menundukkan dunia dengan kerja nyata. Sebab, Islam mengajarkan tentang kehidupan yang baik, bukan hanya di akhirat saja, tetapi juga di dunia. Ulama’ dalam konteks ini memainkan peran untuk membimbing agar umat tidak fatalistik dengan hanya pasrah menerima keadaan. Sebaliknya, bimbingan diberikan untuk menumbuhkembangkan ketrampilan untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Dengan kemampuan ini, umat bisa menunjukkan kemampuan untuk berlomba dalam kebaikan dengan umat lain dan benar-benar menunjukkan diri sebagai umat terbaik. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bisa menjadi salah satu contoh. Jejak keilmuannya tidak ada yang meragukan. Bahkan dikenal sebagai Sulthan al-Awliyaa’. Jejak upaya pemberdayaannya bisa dilihat sampai sekarang, di antaranya tanah wakafnya sebesar 80 hektar di Irak.
Di dalam generasi tabi’in, juga ada ulama’ pengusaha bernama Laits bin Sa’ad. Ia tidak hanya memberikan pencerahan dengan ilmu luas yang ada padanya, tetapi juga melakukan berbagai model pemberdayaan dengan harta kekayaannya. Bahkan, walaupun penghasilannya jika dirupiahkan mencapai ratusan milyar pertahun, tetapi dia tidak pernah membayar zakat, karena sudah langsung dihabiskan untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya. Termasuk ulama’ model ini adalah ulama’ yang mampu membangun gerakan perlawanan terhadap segala jenis penjajahan dan penindasan.
Karena itulah, al-Qur’an menegaskan dua kriteria utama seseorang boleh diikuti. “Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Yasin: 21). Jika seseorang tidak memerlukan imbalan, maka secara sederhana bisa dianggap sebagai orang yang tanpa pamrih. Namun, sikap itu menjadi tidak berarti jika yang disampaikan bukanlah kebenaran berdasarkan petunjuk dari Allah Swt..
Dan untuk bisa memenuhi dua kriteria itu, seorang ulama’ harus berdaya. Ia haruslah menjadi orang yang mandiri secara finansial. Dengan kemandirian secara intelektual dan finansial, maka menyampaikan kebenaran akan menjadi mudah. Sebab, tidak ada beban disebabkan oleh hutang budi kepada orang-orang tertentu yang pernah memberikan bantuan. Nah, anda termasuk yang mana? Tentu kita harus terus berusaha bisa termasuk dalam kategori yang kelima. Wallahu a’lam bi al-shawab.