Malam itu, di bawah jutaan bahkan milyaran bintang, tanganku masih menggenggam erat lembaran kertas berisikan coretanmu yang sore tadi diantarkan tukang pos. Bukan coretan sebenarnya, di dalam kertas itu hanya ada sebaris kalimat “Januari nanti kita berjumpa di bawah purnama”
Entah ini sudah purnama. Aku tidak lagi suka memandang purnama semenjak kakimu melangkah pergi. Namun, setelah membaca kalimat itu, aku ingin rajin menghitung hari. Sebab, pada purnama di Bulan Januari nanti, engkau menjanjikan sebuah pertemuan. Awalnya, aku merasa bahagia. Hingga beberapa hari berlalu, aku mengalami ketakutan yang luar biasa.
Aku tidak tahu, dari mana ketakutan ini berawal. Yang kutahu, ada kecemasan sangat besar yang menghantuiku. Ketakutan itu berupa ketidaksiapan hatiku apabila pada purnama yang akan datang, aku menikmatinya seorang. Bukan berarti kepercayaan itu mulai menghilang, pada kenyataannya, terlalu sering kalimat-kalimatmu seperti sihir. Bukannya manjur, namun tiba-tiba menghilang. Dan anehnya aku selalu mengulangi kebodohanku dengan selalu memaafkanmu.
Malam ini, aku memulai kembali ritual kita yang dulu. Menghitung bintang di bawah temaram sinar rembulan. Aku mulai mengingat rentetan peristiwa yang menampilkan dirimu. Sudah banyak rajutan kata yang kamu tuliskan. Sudah berarus kali aku membacanya. Beratus kali pula aku tidak bosan mengulanginya.
Salah satu rajutan kata yang paling aku sukai darimu adalah;
Aksara tidak akan bermakna, jika ia tidak terbaca
Bahasa tidak akan bermakna, jika iaa tidak bersua
Hal lucu dari dirimu adalah dengan mudahnya engkau merangkai kata yang menurut kebanyakan orang menarik. Namun, engkau selalu gagal ketika aku memintamu memberinya nada. Engkau pandai berkata, namun tak pakai membaca.
Tidak terasa, lusa adalah jadwal purnama terjadi. Aku tidak henti-hentinya melangitkan harapan agar engkau benar-bemar menampakkan sosokmu. Kau tahu? aku mempersiapkan banyak hal untuk menikmati purnama nanti. Kamu masih ingat dengan jam tangan kura-kura ninja berwarna hijau, origami burung berisi harapan, pita merah putih,Β dan gantungan berbentuk daun? dan masih banyak lagi barang yang sudah kusimpan rapi didalam kotak berwarna toska dan di dalam hati tentunya. Malam ini aku membawa kertas origami sisa dulu yang sering kita buat menjadi pesawat kertas dan menerbangkannya. Aku sudah siap dengan spidol di tangan kanan. Meski tidak semakin kamu dalam menyusun kata. Aku ingin menulis beberapa kalimat sebelum menerbangkan kertas tersebut.
“Bahkan jutaan kerlip bintang belum bisa mewakilkan.
Bahwa aku disini menentang semua ketentuan.
Termasuk bila kamu, tidak sebagaimana do’aku.”
Tanganku sudah berkeringat dingin. Meskipun purnama masih nanti malam. Namun aku sudah bersiap-siap sejak pagi. Aku berlatih berbicara di depan cermin agar tidak kaku ketika nanti kita bertemu,Β bersama-sama menjemput Januari di bawah purnama.
Benarkah kita berjumpa?
πππππ
β€β€β€β€