Setiap orang di dunia pasti pernah punya jabatan. Jabatan sebagai presiden, menteri, ketua RT, ketua kelas, sekretaris umum PKK, bendahara, anggota bidang, dan masih banyak lagi jabatan-jabatan yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.

Lazimnya, jabatan sudah dikenalkan pada seseorang ketika ia mulai sekolah di tingkat dasar. Contoh kecilnya, struktur organisasi kelas yang tersusun dari ketua kelas, wakil ketua kelas, bendahara kelas, sie kebersihan, sie keamanan, dan lain-lain. Semua jabatan diatas diisi oleh siswa-siswi yang berada di kelas tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jabatan diartikan sebagai pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi yang berkenaan dengan pangkat dan kedudukan. Logeman mengatakan bahwa ia menghendaki adanya kepastian pada suatu jabatan supaya organisasi dapat berfungsi dengan baik.

Penulis setuju dengan pendapat Logemann di atas. Sebab menurut penulis, dengan adanya jabatan, kepastian dalam pembagian tugas dan pekerjaan akan jelas. Hal itu juga dimaksudkan agar tidak ada perebutan tugas maupun beban tugas ganda.

Jabatan bukan hanya tentang nama yang terpampang di dalam setiap pemberitaan koran, terpampang dalam surat edaran, maupun dalam layar yang setiap hari kita pandang. Lebih dari itu, jabatan memberi arti bahwa ada suatu amanah yang harus diemban oleh seseorang, dikerjakan, dan dipertanggungjawabkan.

Namun, kebanyakan orang tidak memahami apa arti jabatan yang sesungguhnya. Mungkin mereka paham dengan bagian tugas dan pekerjaan yang dibebankan, tetapi belum tentu mereka faham esensi dari jabatan yang diberikan.

Baca Juga  Sindrom Tanduk Setan Pemimpin HMI

Jabatan bukan tentang ketenaran nama yang sering diundang untuk menghadiri beragam acara. Bukan tentang surat yang bertanda tangan dan bernama terang miliknya. Juga bukan tentang uang yang bisa saja menyesatkan dirinya dan keluarga.

Jabatan adalah bagaimana niat yang semestinya kita bangun setelah diberi kepercayaan untuk mengembannya. Niat yang lurus akan mendapat jalan yang lurus. Meskipun tidak diberi jalan yang lurus, pasti akan diberi jalan keluar dari arah yang tak disangka. Itu luar biasa nikmatnya.

Jabatan adalah tentang bagaimana cara menjalankan tugas yang telah diamanahkan. Mengerjakan dengan penuh tanggung jawab, melaksanakan karena ikhlas hanya mengharap ridho-Nya, juga senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Seseorang yang menjabat sudah seharusnya mempunyai iman yang melandasi, juga ilmu yang mumpuni. Sebab, dua hal itulah yang menjadi faktor terbentuknya pribadi unggul dalam segala aspek kehidupan.

Semua orang pasti tidak asing lagi dengan perkataan Albert Einstein tentang hubungan Ilmu dan Agama, religion without science is blind, science without religion is lame.” Agama tanpa Ilmu adalah buta. Ilmu tanpa Agama adalah lumpuh. Ini menunjukkan bahwa urusan ilmu dan agama adalah urusan yang tak dapat dipisahkan.

Hal itu sangat relevan jika diterapkan dalam proses menjalankan amanah dan pekerjaan bagi seseorang yang mengembah suatu jabatan. Sebab, menjalankan amanah bukan semata-mata agar tugas yang dibebankan itu selesai begitu saja. Tetapi juga bagaimana agar tugas yang sudah selesai itu manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang, memberi kebahagiaan kepada mereka, dan pada akhirnya, mereka tersenyum puas melihat kinerja kita.

Baca Juga  Bahaya Laten Bonus Demografi di Era 4.0

Jabatan juga tentang pertanggung jawaban. Pertanggung jawaban yang akan diminta ketika di dunia dan akhirat. Pertanggung jawaban kita kepada manusia dan kepada Sang Pemilik Manusia. Masa inilah yang menjadi puncak dari sebuah jabatan. Saat dimana semua yang kita lakukan akan mendapatkan rentetan pertanyaan.

Apa yang dapat kamu berikan selama menjabat? Sudahkah sesuai dengan program kerja yang kamu rancang sedemikian hebat? Seberapa besar kamu memberi manfaat? Sudahkah sesuai dengan prinsip kemaslahatan untuk ummat? atau mungkin ada sedikit banyak penyelewengan yang kamu perbuat. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang akan terlontarkan.

Untuk itu, bagian ini adalah bagian terpenting  yang harus dipahami oleh seseorang yang memiliki jabatan. Terlebih lagi, tentang pertanggung jawabannya kepada Allah SWT. Sebab, manusia tidak akan mampu memanipulasi dan tidak akan ada yang bisa ditutupi.

Ada banyak orang yang sekarang masih mempunyai jabatan. Ada pula yang belum punya, dan ingin memiliki sebuah jabatan. Tetapi, ada juga yang tidak menginginkan sebuah jabatan. Semua itu kembali pada diri masing-masing. Setiap individu pasti punya alasan yang mendasari mengapa ia berkeinginan demikian.

Menurut penulis pribadi, jabatan itu perlu. Asalkan, niatkan dalam hati bahwa dengan diberinya amanah ini bisa sebagai tempat untuk menempa diri, belajar bagaimana hidup dan realitas kehidupan, juga melatih diri berani berkorban dan mengambil resiko.

Contoh saja, ketika kita diamanahi memegang jabatan di sebuah organisasi. Tentu perlu banyak mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaga, serta harus memperjuangkan apa yang menjadi tujuan dari organisasi tersebut.

Baca Juga  Banyak Uang Kenapa Tak Berkurban?

Jelas, akan berbeda antara orang yang benar-benar menjadi bagian dari perjuangan dengan yang tidak. Ibaratkan saja seperti pemain bola di lapangan dan penonton yang berada di luar lapangan.

Mereka yang tidak berjuang dan memilih berkomentar bahkan mencemooh sang pemain sebenarnya yang sungguh-sungguh, susah payah, jatuh, kemudian bangkit lagi untuk memasukkan bola ke dalam gawang, jelas memiliki dinamika yang berbeda.

Apakah salah menjadi penonton? Tentu tidak, saat ia bisa menjadi penonton yang mensupport, memberi semangat, dan mengapresiasi. Namun, yang harus diingat adalah yang akan tetap menjadi sejarah di lapangan bola ialah seorang pemain, bukan penonton.

Walaupun jumlahnya penonton ribuan, bahkan jutaan. Mereka tidak dikenal dalam perjuangan di lapangan. Untuk itu, jadilah pemain! Rasakan beratnya berjuang di lapangan. Sebab, menjadi bagian dari perjuangan akan menjadikan kita semakin tangguh menghadapi segala hal yang menerpa, meski dengan banyak pengorbanan. Wa Allahu A’lam bi al-Shawaab.

Ida Kholifah
Saya menulis bukan karena saya sudah pintar, sudah baik, atau sudah apa. Saya menulis karena saya sedang belajar. Dan menulis, salah satunya adalah pekerjaan orang belajar untuk mengikat ilmu dan hikmah yang didapat. Dan hidup, sepenuhnya adalah tentang belajar. Karena saya hidup, saya menulis.

    Menjemput Januari

    Previous article

    Semarak Makrab IK-Marsa Dihadiri Puluhan Orda

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Gagasan