Mengkader Muslimah Siap Nikah: Rekayasa Sosial Kanda Nasih

“Pernikahan merupakan perjumpaan dua insan manusia yang berlawanan jenis. Meskipun dari jenis berlawanan, pernikahan tidak menjadi perseteruan. Tetapi merupakan peristiwa yang hadir dalam perjumpaan yang bermakna spiritual. Karena itu dalam perjalanan manusia beragama, peristiwa inilah yang dianggap memiliki nilai sakralitas paling tinggi” (Chumaidi Syarif Romas dalam buku, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama, hlm. 15).

“Cinta adalah kedahsyatan dan sumber kreativitas tanpa batas” (A. Fuadi dalam buku, Bukan Cinta Biasa, hlm. vii)

Ungkapan dua tokoh itu menunjukkan pada diri kanda Mohammad Nasih juga dalam mempersiapkan muslimah siap nikah yang harus didesain sedemikian rupa, supaya mampu terus merawat dan memupuk cinta pada pasangannya di kemudian hari, sehingga terus tumbuh dan mekar tanpa mengenal waktu dan kondisi. Melalui rumah perkaderan Monash Institute di Semarang, Jakarta, dan Rembang, Kanda Nasih menetapkan dasar-dasar dan langkah awal untuk mendesain muslimah yang tangguh, mandiri, kreatif, cerdas, bermental baja, dan sebagai bekal mengarungi bahtera rumah tangga yang telah siap menikah lahir dan batin.

Pernikahan itu bukan sekedar terjadi perjumpaan yang memikirkan keluarga saja, namun lebih dari itu hasil pernikahan itu menjadi langkah awal untuk memberi pengabdian yang lebih luas kepada banyak orang, bangsa, dan negara. Dengan demikian, seorang istri tidak hanya sekadar merawat anak, mengurus rumah tangga, tetap juga mampu sekaligus memberi peran pada kebaikan sosial. Konsep itulah yang dimaksud kanda Nasih sebagai muslimah siap nikah.

Konsep yang diterapkan kanda Nasih dalam mengkader muslimah siap nikah menjadi hal menarik, karena ada perpaduan orientasi duniawi dan ukhrawi; perpaduan kualitas hati, pikiran, dan tindakan; perpaduan intelektual, spiritual, dan finansial. Paket komplit.

“Rizki sudah diatur, ya diatur hanya untuk orang-orang yang mau berusaha dan akan barokah bagi orang-orang yang menyertai usaha dan doa. Mentalitas miskin akan membuat orang tetap miskin, walaupun telah bekerja keras membanting tulang tanpa kenal siang dan malam. Perbaiki mental, lalu kerja keraslah dengan do’a yang selalu menyertai.” (Dr. Mohammad Nasih: Pendiri Monash Institute)

Demikian itu pikiran-pikiran perubahan sosial kanda Nasih harus diawali dengan mental yang baik dan harapan lebih baik di masa depan disertai usaha, kerja keras dan do’a. Menerapkan konsep perubahan sosial dan orientasi manusia ideal sebagaimana yang diajarkan Allah yang selalu dibaca sebagai do’a setiap hari yaitu dalam QS. al-Baqarah ayat 201.

رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١

Artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

Do’a itu menggambarkan ciri-ciri manusia ideal, manusia berkualitas yaitu, mampu merasakan atau menikmati kebahagiaan dunia dengan berbagai jenisnya yang sejalan dengan prinsip agama dan mampu mencapai kebahagiaan akhirat dengan mempersiapkan bekal amal yang banyak dengan berbagai kreativitas dan pengabdian.

Prinsip kanda Nasih bahwa tidak apa-apa menjadi perawan tua lalu menikah sebagaimana ukuran masyarakat pada umumnya, karena di Monash Institute perempuan harus selesai dulu strata dua (S2) lalu menikah. Kalau mondok harus sampai lengkap, tuntas, karena menjadi perempuan tidak gampang atau susah, lebih susah daripada laki-laki, bahkan pernikahan mestinya media menjalin kerjasama untuk mencapai cita-cita.

“Siapa tak gundah bila jodoh belum tiba sesuai harapan? Satu demi satu teman, sahabat, kerabat, saudara-saudara menikah. Pertanyaan orangtua menjadi gema yang menyedihkan, “Kapan menikah? Kapan menimang cucu?” Tentu bukan kehendak sendiri mengapa belum menikah saat ini. Sekedar ijab qabul itu mudah. Sekedar cari pasangan itu tidak sulit, tetapi menemukan cinta sejati yang bersamanya menghabiskan waktu hingga akhir hayat, bersamanya membangun cita-cita sederhana hingga cita-cita spektakuler, bersamanya ingin membangun surga baik di dunia maupun di akhirat.” (Sinta Yudisia, Kitab Cinta & Patah Hati, hlm. 135).

Ungkapan di atas sejalan dengan pikiran-pikiran kanda Nasih bahwa menikah bukan sekedar menikah, tapi ada perencanaan, ada cita-cita, ada komitmen bersama dalam perjuangan untuk ummat. Kanda Nasih sangat memahami bahwa Mahasantri-Mahasantriwati Monash berusaha didesain bergerak cepat, mampu meraih hal yang diinginkan dengan cepat dan berkualitas, termasuk bisa selesai S2 dengan cepat, terbaik, bekerja, dan menikah dan mengabdi. Kemudian kanda Nasih menginginkan bukan sekedar mahasantriwatinya bergelar master dalam bidang akademik dengan berbagai bidang yang telah dipilih, namun juga memperoleh gelar MSI yaitu “Magister Segala Ilmu”. Dalam artian berbagai kemampuan dan kreativitas yang dimiliki.

Perkembangan kehidupan makin cepat, dan segala hal mengalami perubahan, tantangan masa depan begitu dinamis, peluang dan tantangan makin banyak, siapa yang cepat mencari peluang dan mempersiapkan kualitas masa depan, itulah yang akan mendapat tempat di tengah persaingan yang begitu ketat. Demikian itu karena kita bukan lagi generasi Indonesia semata, tetapi juga telah menjadi masyarakat ASEAN sejak kesepakatan MEA ditandatangani pemerintah RI, bahkan kita juga sudah menjadi masyarakat dunai (global society). Di tengah segala hal berubah, kanda Nasih selalu konsisten menjadikan al-Qur’an sebagai landasan perubahan sosial, dengan pemikiran yang terbuka merespon perkembangan-perkembangan kekikinian untuk mempersiapkan generasi-generasi terbaik masa depan  bisa mengambil peran dalam perubahan bangsa lebih baik. Maka Monash institute didesain untuk menanamkan dasar ke-Islaman yang kuat, sekaligus menguasai persyaratan lain untuk masa eksistensi masa depan, seperti penguasaan bahasa Arab, bahasa Inggris, dan lainnya.

Dalam membina generasi terbaik masa depan, maka terlebih dahulu disiapkan muslimah yang unggul, cerdas, beriman, dan siap menikah lahir dan batin. Baginya, pernikahan merupakan pintu pertama membuka lahan untuk merencanakan, membentuk dan mendesain generasi-generasi yang banyak dan berkualitas. Beliau selalu mengutip ayat perubahan sosial itu melalui jalur pernikahan yaitu dalam QS. an-Nisa ayat 1.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Kanda Nasih memaknai ayat itu bukan sekedar kisah asal muasal perkembangan manusia, baginya al-Qur’an harus dimaknai juga untuk petunjuk masa depan, sehingga itu bermakna bahwa tujuan pernikah yaitu supaya punya anak yang banyak, sehingga makna kata,

وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ

Merupakan anjuran supaya pernikahan mampu melahirkan anak-anak yang banyak dan berkualitas, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk melahirkan anak yang banyak dan berkualitas maka harus direncanakan dengan berbagai persiapan, lahir dan batin. Keluarga Berencana (KB), kanda Nasih memahaminya sebagai “keluarga berencana” yaitu keluarga yang berencana punya anak yang banyak dan berkualitas, sebab kalau tidak berkualitas tidak perlu direncanakan.

Perempuan menikah setelah lulus S2 dalam konsep dan metode Monash, merupakan syarat sudah memenuhi kualifikasi, sebab di samping ilmu yang matang, pengalaman banyak, juga sudah terlatih untuk mencari duit, seperti pandai bertani, berkebun, bisa memproduksi makanan dan minuman untuk dijual, bisa mengajar, bisa mengembala, hafal al-Qur’an, hadis, bahasa Arab yang bagus, bahasa Inggris yang mantap, pintar menulis, berbagai keilmuan dikuasai, dll. Hal demikian mengembalikan dan menumbuhkan sikap percaya diri pada generasi bahwa meski sudah berilmu tinggi, harus tetap peka dan mau turun langsung memberdayakan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia, bahkan bisa menjadi jalan mendatangkan finansial. Kemampun muslimah Monash juga siap melakukan pengabdian tanpa batas untuk kebaikan umat, bangsa dan negara, itulah cita-cita Monash secara bersama.

Dengan berbagai program Monash yang didesain kanda Nasih, menjadikan mahasantri-mahasantriwati bisa mandiri. Mahasantriwati juga diharap tidak menggantungkan nasibnya pada orang lain termasuk pada suaminya sebab bisa mencari duit sendiri. Bahkan kanda Nasih sering mengatakan bahwa menikahi santriwati Monash, jatah belanja dari suami dalam sebulan seratus ribu pun sudah cukup, karena sudah ada bekal Master Segala Ilmu (MSI) tadi. Demikian itu bukan berarti bahwa laki-laki yang menikahi santri Monash tidak mesti dinafkahi, tetap laki-laki punya kewajiban menafkahi isteri dan anak-anaknya. Muslimah yang sudah menikah dan memiliki kemampuan dan skil yang bagus, bisa  menyalurkan ide, dan tenaganya mengabdi dan bisa mendatangkan finansial. Demikian itu menjadikan dirinya manusia yang merdeka, seperti finansial yang banyak bisa digunakan untuk kebutuhan diri dan keluarganya supaya bisa memberi yang terbaik dalam mendesain generasi-generasinya, juga bisa membantu orang-orang yang membutuhkan atau mengkader generasi berkualitas dan beriman.

Kanda Nasih selalu menyampaikan bahwa kemampuan finansial yang dimiliki diusahakan menyumbangkannya sebanyak 85%, sebab dalam ilmu fiqhi diatur pengeluaran harta yang dimiliki misal 2,5%, bagi kanda Nasih itu batas kepelitan, semakin banyak dikeluarkan semakin banyak kembalinya. Kita pahami bahwa kanda Nasih setiap hari kuat mencari uang dengan berbagai kemampuan dan kegiatan yang dilakukan, bahkan hasilnya sangat banyak, tetapi kebanyakan hasil keringatnya itu diwakahkan untuk membentuk umat, bangsa dan negara yang baik, berkualitas, untuk mencapai bangsa yang adil, sejahtera, makmur yang diridho’i Allah SWT. Pengorbanan yang begitu banyak, namun rezekinya terus makin bertambah, itulah janji Allah SWT dalam banyak ayat al-Qur’an seperti QS. Saba ayat 39:

قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ٣٩

Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya”.

Ayat ini ditafsirkan Ibnu Katsir bahwa makna ayat itu adalah “apapun yang kamu infakkan dalam apa yang diperintahkan kepadamu atau yang dimubahkan bagimu, maka Dia akan memberi gantinya untukmu di dunia, dan diakhirat dengan ganjaran dan pahala.” Rekayasa perubahan sosial melalui jalan menginfakkan harta untuk kebaikan banyak orang, dengan jalan banyak bekerja dan punya banyak keahlian, kemudian membentuk kelompok, komunitas, atau wadah untuk bergerak secara bersama-sama dengan tujuan yang sama. Mahasantri-mahasantriwati Monash dibuatkan program yang banyak yang bisa membuka jalan kemampuan finansial dan kemampuan spiritual, maka itu menjadikan muslimah yang siap nikah.

Kanda Nasih mengharap mahasantri Monash bukan sekedar mampu dan bisa mandiri secara finansial, dan spiritual, namun muslimah Monash juga harus membentuk dirinya menjadi perempuan yang hebat dan bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Kanda Nasih menambahkan bahwa rata-rata laki-laki setelah menikah baru memahami bahwa ternyata perjuangan seorang ibu atau isteri itu luar biasa, mengandung, melahirkan kemudian menyusui dua tahun lamanya merupakan pola penyusuan yang ideal baik dari segi Islam maupun dari segi medis. Kemudian bayi tidak makan apa-apa selama enam bulan kecuali Air Susu Ibu (ASI) juga merupakan langkah mendesain anak yang cerdas dan berdaya ingat yang tajam. Dalam penelitian medis, bahwa ibu menyusui anaknya dengan ASI selama enam bulan sejak lahir tanpa makanan lain, akan menjadikan anak-anaknya sehat dan cerdas.

Kanda Nasih mengkonsep banyak hal sebagai proses perkaderan seperti di Semarang, Jakarta, Rembang, yang memadukan konsep hafal al-Qur’an, penguasaan ilmu-ilmu Islam, penguasaan bahasa Arab, Ingris maupun bahasa asing lainnya, sambil aktivitas, atau bekerja untuk mendatangkan finansial. Hasil yang diinginkan lahirnya para penghafal al-Qur’an, muslim-muslimah yang menguasai ilmu dan bisa cari duit. Baginya kita hidup di dunia butuh duit, jadi santri sekaligus bisa mendatangkan duit. Kanda Nasih juga selalu mengharap seorang ibu bisa melahirkan banyak anak, bahkan kalau bisa 12 anak malah lebih bagus asal direncanakan dengan baik. Berbagai konsep dan tindakan kanda Nasih menunjukkan beliau sosok yang pekerja keras, semangat tinggi, kurang istirahat, asal banyak mengabdikan diri untuk kebaikan umat dan bangsa.

Aktivitasnya terus berjalan secara rutin dengan terjuan langsung mempelopori santri-santrinya bertani, berkebun, beternak sambil mengajar di Rembang. Kanda Nasih juga membagi waktunya ke Semarang, Jakarta, dll, semua itu untuk melangsungkan perjuangan sosialnya. Mahasantriwati menjadi kuat dan tahan dengan berbagai hal, di sisi lain ketika sudah menikah ibu-ibu harus paham bagaimana memelihara anak dengan baik, tidak mesti dokter yang harus mengerti cara mengurus anak dengan baik, semua ibu-ibu harus pintar dengan belajar sejak sebelum menikah. Anak-anak yang lemot (lemah otak), susah menerima pelajaran dll, itu karena ibu yang mengurus anak yang kurang berkualitas dan kurang berilmu.

Membentuk muslimah yang siap menikah juga harus mampu mengajari anak-anaknya sejak masih dalam kandungan. Ibu yang lebih dekat dan lebih banyak bersentuhan langsung dengan anak meski anak masih dalam kandungan, maka seorang ibu harus memahami banyak hal, misal ingin mendesain anaknya menjadi ahli dalam ilmu pasti, atau ingin anaknya cerdas dari berbagai hal, bisa melatihnya berhitung, matematika, supaya anak-anaknya pintar matematika. Kalau ingin mendesain menjadi penghafal al-Qur’a sejak masih anak-anak, maka dilatih sejak dalam kandungan sudah dituntun anak menghafal al-Qur’an, begitu juga ketika masih menyusui.

Misal mau menyusui, baca satu atau dua ayat baru diberi ASI, dengan berkali-kali dalam setiap hari, maka hanya beberapa waktu ke depan akan mahir dan pintar sebagaimana yang diinginkan. Kanda Nasih mengharap santrinya bisa membentuk keluarga yang semua hafal, memahami dan mengamalkan al-Qur’an, ibu-ibu harus banyak membaca al-Qur’an supaya anak-anaknya terbiasa, yang bisa mengerjakan dengan intens hanya perempuan atau ibu. Disadari bahwa peran perempuan begitu banyak dalam mendesain generasi yang unggul, maka menjadi keharusan mendesain muslimah siap nikah lahir dan batin.

Oleh: Muhammad Hamsah, M.Pd., Instruktur NDP HMI, Dosen UCY dan IAIN Salatiga, menikah dengan salah satu disciples 2011.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *