Masalah terbesar dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak terletak pada teknis pelaksanaanya, tetapi pada hal paradigmatik. Sudah cukup lama pendidikan di Indonesia kehilangan arah langkahnya, yaitu kebebasan dan keberanian dalam mengolah pikiran.
Akibat hilangnya arah ini, banyak sarjana yang lebih memilih mengambil jalan pintas karena ketidakmampuannya dalam menggambarkan dirinya sendiri. Sungguh ironi yang sangat memprihatinkan. Hal ini tentu akan berdampak kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
Begitu banyak fenomena serupa yang terjadi tidak hanya di kalangan sekola menengah, bahkan di tingkat universitas sekalipun. Tidak sedikit mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menjawab dan menjelaskan sesuatu dengan bahasanya sendiri. Pada tingkat yang lebih rendah, sering dijumpai anak-anak yang tidak berani mengemukan masalah dan berpendapat. Menurut data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat 72 dari 77 negara. Lebih parahnya, di tahun 2018 Indonesia tidak masuk dalam data PISA.
Keadaan pendidikan di Indonesia yang semacam ini berbuntut pada kehidupan sekolah yang hanya sebatas formalistik, tidak membangkitkan gairah, dan hilangnya kontekstual akan lingkungan dan keseharian anak didik. Pada akhinya, banyak anak-anak di sekolah yang kehilangan antusias, orientasi, kepercayaan diri, dan rasa tanggung jawab dalam mengikuti pelajaran yang diberikan. Mereka lebih memilih melakukan hal yang tidak ada kaitannya dengan materi di sekolah. Ini disebabkan berhentinya keberanian mengolah pikiran secara mandiri.
Ketakutan dalam mengolah pikiran secara mendiri sangatlah berdampak fatal. Hal ini bisa dilihat dari generasi-generasi yang tidak percaya diri, ragu-ragu dalam mengambil sikap, mudah didoktrin, dan hilangnya potensi yang dimilikinya. Generasi seperti ini akan mengalami minimnya kreativitas, tidak berani mengambil risiko, dan sikap apatis terhadap realitas di sekitarnya. Lebih mengkhawatirkan, rentannya mereka dimobilisasi oleh kelompok-kelompok tertentu demi kepentingannya karena ketidakmampuan mereka dalam berpikir kritis.
Kenyataan pahit yang dialami dunia pendidikan di Indonesia makin terasa apabila ditempatkan pada konteks perkembangan zaman saat ini, yang menuntut adanya insan muda yang lahir dapat memberikan inovasi-inovasi kreatif. Bagaimana inovasi kreatif bisa tumbuh pada generasi yang tidak mampu bahkan tidak berani untuk berpikir dan mengambil risiko? Bukanlah hal sulit untuk menjawab realita pelik ini.
Sistem perpolitikan yang cenderung represif dan terpusat di Orde Baru menyebabkan pendidikan lebih condong menjadi budak penguasa disbanding kepada anak didik. Kebijakan ini diambil dengan tujuan agar pemerintah lebih mudah dalam mengawasi dan mengendalikan lembaga pendidikan serta para guru apabila terdapat pelajaran yang dianggap kontra dengan keinginan mereka.
Alhasil, para guru tidak berani untuk menggali pikirannya dan bertindak secara mandiri karena ketakutan terhadap pemerintah dan lebih memilih mencari aman agar tidak bermasalah dengan hokum. Profesi guru yang semula mulia, kini tidak lebih hanya sekadar aparatur yang berkerja bukan demi rakyat namun untuk pemerintah berdasarkan petunjuk dan perintah. Tidak heran banyak anak didik yang lebih memilih profesi lain selain menjadi guru. Bagi mereka menjadi guru adalah pekerjaan yang tidak dapat memberikan keuntungan sama sekali, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Sekalipun masa reformasi telah dinikmati kurang lebih 20 tahun, namun peran utama pemerintah masih sama, yaitu pengawasan dan pengendalian serta pemberdayaan paradigma. Ide besar Nadiem Makariem Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertema “Mendeka Belajar” adalah langkah awal yang baik untuk menjalankan serta menerapkan reformasi pendidikan di Indonesia. Meskipun pada dasarnya tema atau ide tersebut belum dapat menyentuh kepada akar permasalahan yang saat ini sedang dialami.
Pokok permasalah pendidikan di Indonesia bukanlah bagaimana teknis belajar mengajar itu sendiri, namun lebih kepada paradigmatic. Pendidikan di Indonesia telah lama kehilangan arah berlayarnya, yaitu mengembangakan keberanian dan kemandirian dalam mengolah pikiran.
Padahal, merdeka dalam belajar saat ini bukanlah hal yang sulit untuk dicapai karena ketersediaan internet yang memudahkan anak didik dalam mengakses berbagai macam pengetahuan, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Hanya saja sumber daya tersebut tidaklah berguna apabila anak didik tidak mampu mengolah pikirannya secara mandiri dan berani mengambil risiko.
Pendidikan yang reformatif, fundamentalis, serta bermotif jangka panjang dapat mengembalikan atmosfer “Merdeka Belajar” di lingkungan lembaga pendidikan. Namun, untuk dapat mencapai tujuan tersebut, guru dan dosen haruslah memiliki pikiran yang mendeka dan berani mengambil risiko.
Lahirnya dosen dan guru yang berpikiran merdeka butuh system administrasi yang tidak rumit, elastis, dan menghargai keunikan lembagi pendidikan. Oleh karena itu, kampus dan sekolah haruslah diberi otonomi lebih luas dalam mengatur dan menerapakan system yang sesuai dengan anak didiknya. Otonimo yang luas tidak hanya menyesuaikan realitas keadaan kampus dan sekolah di Indonesia, namun juga komitmen nyata semboyan Kemendikbud “Tut Wuri Handayani”.
Di samping itu, proses pengembangan berpikir kritis dalam dilakukan dengan metode pembelajaran yang berciri proyek. Sebab, akan lebih baik apabila setiap perguruan memberi bekal kepada mahasiswanya dengan filsafat ilmu sebagai fondasi dalam mengerjakan skripsi atau pun berpikir kritis yang ilmiah.