Mengapa Al-Qur’an Perlu Dihafalkan?

Hafal atau Pernah Menghafal al-Qur'an?
Istimewa

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pendiri Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen, Pamotan, Rembang; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Tidak ada kitab suci yang dihafalkan sebagaimana al-Qur’an. Jumlah penghafalnya, kian hari kian bertambah. Itu menunjukkan bahwa janji Allah memudahkan dalam menghafalkannya (al-Qamar: 17, 22, 32, 40) memang nyata. Walaupun kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. itu setebal 604 halaman, tetapi bisa dihafalkan dengan relatif mudah oleh mereka yang memiliki keinginan dan keseriusan.

Ada empat alasan mengapa al-Qur’an perlu, bahkan sangat perlu dihafalkan, yaitu:

Pertama, menjaga orisinalitasnya. Ini sesungguhnya adalah janji Allah sendiri sebagai salah satu cara utama menjaganya. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9). Hata hafal dalam bahasa Indonesia sesungguhnya merupakan serapan dari bahasa Arab ha-fi-dha dan ada yang membaca ha-fa-dha. Dilafalkan oleh lidah Indonesia menjadi hafal. Jadi, hafal sesungguhnya berarti menjaga. Dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kata “Kami” yang itu berarti melibatkan “pihak lain” dalam penjagaan itu, bukan Allah sendiri secara langsung. Karena itulah, Nabi Muhammad menyebut para ahli al-Qur’an sebagai “keluarga Allah dan orang-orang spesialNya”. Rasulullah pernah ditanya tentang keluarga Allah dari golongan manusia yang terekam dalam sebuah hadits. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia”, Kata Rasulullah. Para sahabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulallah?” Rasul menjawab, “Para ahli al-Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan orang-orang spesialNya” (HR. Ahmad). Dengan demikian, menghafalkan al-Qur’an berarti merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan derajat dengan menjadi keluarga Allah.

Kedua, memiliki bahan tadabbur (perenungan) di mana pun dan kapan pun. Sedangkan perenungan mengenai al-Qur’an, secara spesifik juga diperintahkan al-Qur’an (al-Nisa’: 82, Muhammad: 24). Dengan adanya ayat-ayat al-Qur’an di dalam ingatan, maka dalam keadaan apa pun, di mana pun, dan bahkan kapan pun, perenungan bisa dilakukan. Perenungan bahkan bisa dilakukan dalam keadaan gelap atau mata terpejam, karena untuk melakukannya tidak memerlukan teks yang harus dilihat dan dibaca dengan bantuan indera mata. Juga tidak memerlukan alat bantu telinga, karena sudah tidak perlu diperdengarkan. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring juga bisa dilakukan. Menjelang tidur ketika tubuh telah dibaringkan, sampai saat memejamkan mata, dan ketika terjaga dari tidur walaupun masih memejamkan mata, perenungan bisa dilakukan. Bahwa waktu-waktu yang demikian seringkali menjadi waktu yang sangat strategis untuk melakukan perenungan dan menghasilkan pemahaman baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Ilham bisa didapatkan dengan melakukan perenungan yang mendalam kepada ayat-ayat Allah yang terpatri dalam pikiran.

Ketiga, mendapatkan pemahaman yang utuh. Tidak sedikit ayat al-Qur’an yang memiliki korelasi dan interkoneksi. Dengan kata lain, sebuah ayat tidak bisa dipahami secara utuh apabila tidak dihubungkan dengan ayat lain yang terkadang berada pada posisi yang berjauhan. Misalnya, untuk memahami tentang siapa dan dari golongan apa sesungguhnya Iblis yang menggelincirkan Adam dan istrinya dari surga, tidak cukup hanya membaca kisah yang terdapat dalam al-Baqarah: 34, al-A’raf: 31, al-Hijr: 32, dan al-Isra’: 61, tetapi harus melibatkan al-Kahf: 50. Contoh lain bahkan di dalamnya para sahabat keliru dalam memahami makna sebuah kata atau frase, yang terdapat pada al-An’am: 82, karena tidak menghubungkannya dengan Luqman: 13.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman. (Al-An’am: 82) Maka hal ini terasa berat oleh mereka (para sahabat). Lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri?” Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya hal itu bukan seperti apa yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba yang saleh (Luqman), “Hai anakku, janganlah kalian mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Luqman: 13).

Keempat, menganalisis persoalan dan menemukan jawabannya dengan cepat, tanpa alat bantu. Al-Qur’an adalah kitab panduan untuk menjalani kehidupan untuk mencapai ridla Allah. Karena itu, segala hal harus dijalani dengan menggunakan panduan al-Qur’an. Dinamika perkembangan peradaban manusia selalu berubah dan berkembang. Di dalamnya muncul persoalan-persoalan baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Namun, al-Qur’an di dalam moralnya telah memiliki solusinya. Pemahaman tentang solusi itu seringkali hanya bisa didapatkan apabila ayat-ayat al-Qur’an itu diinterkoneksikan. Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah tidak cukup dengan mencari jawaban itu dengan alat bantu komputer yang sekarang kian canggih? Komputer bisa menjadi alat bantu untuk hal-hal yang bersifat tematik dengan kata yang sama. Namun, tidak sedikit persoalan yang terhubungkan dalam berbagai ayat yang secara sepintas tidak berhubungan. Karena itulah, secanggih apa pun, komputer tidak akan pernah bisa menyamai kemampuan otak manusia sebagai ciptaan langsung Allah yang di antaranya karenanya komputer diciptakan oleh manusia sebagai tiruan otak manusia.

Di antara contoh penting, karena sering disalahpahami, adalah pernyataan al-Qur’an bahwa manusia sungguh berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan memerintahkan kebenaran dan kesabaran (al-Ashr: 2-3). Ayat ini sering dipahami secara simplistis bahwa orang yang tidak memanfaatkan waktu, yang bahkan digunakan sebagai bahan sumpah pada ayat pertama, akan mengalami kerugian. Jika hanya sedangkal itu, siapa pun, pasti sudah tahu bahwa orang yang tidak memanfaatkan waktu, maka akan menderita kerugian. Namun, al-Qur’an memiliki perspektif yang jauh lebih dalam, dengan mengatakan bahwa orang yang rugi itu bahkan termasuk orang yang telah memanfaatkan waktunya secara efektif dan efisien, tetapi tidak didasarkan kepada konsepsi iman Islam. Ayat tersebut bisa dipahami maksudnya dengan benar jika dihubungkan dengan al-Kahf: 103-105.

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (al-Kahfi: 103-105)

Konsepsi ini akan makin jelas dan bisa menjadi penangkal paradigma pluralisme agama dan humanisme Barat yang sekuler, apabila dihubungkan setidaknya dengan al-Nur: 38.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (al-Nur: 39).

Sesungguhnya masih terdapat banyak ayat lain yang bisa dihubungkan, yang semuanya itu bisa terjadi apabila dilakukan perenungan mendalam. Sebab, interkoneksi itu kadang terbangun tanpa ada kata yang sama sebagai jembatan untuk menghubungkan. Itulah sebab, menghafal menjadi jalan terbaik untuk memahaminya secara tepat dan cepat. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *