“Menanti Fajar di Sepertiga Malam”

Baladena.ID

Di persimpangan jalan Dr. Kariadi, aku kembali mengenang tentangmu. Membuka memori dua tahun yang lalu. Tentang perempuan surga yang terbaring lemas dengan wajah yang melas, dengan tangan terinfus hingga rasa sakit terbius, dengan mata terpejam hingga menghabiskan waktu dua ratus empat puluh lima jam. Sedang aku, hanya bisa mengangkat tangan, berdo’a dan terpaku melihat kekalahanmu, terkulai layu penuh dengan alat bantu.

Sungguh aku merindukan masa-masa kita bertengkar. Melihat mata indahmu mencair, menerima ratusan suratmu bertuliskan maaf, serta telepon Ibumu bersebab kau mengadu tentang ulahmu yang menyakiti hatiku.

Sungguh aku merindukan masa-masa kita berkelakar. Melihat bibir tipismu mengembang, menerima ribuan suratmu berisikan cinta, serta telepon dari Ibumu bersebab kau bercerita tentang kebaikanku yang membahagiakan harimu.

Masa-masa itu sungguh indah, kita lewati cerah dan hujan, panas dan dingin, terang dan gelap, terbangun dan terlelap dengan bergandengan tangan. Sejak kita memutuskan untuk berteman secara halal, bersama dengan itu, kita bersepakat, saat sehat atau sakit, kaya atau miskin, suka atau duka, senang atau derita, kenyang atau dahaga, kita akan selalu bersama, berdua, menjalani hari dengan penuh rencana.

Tetapi Tuhan Yang Maha Bijaksana memiliki rencana berbeda. Hingga saat sakitmu tiba, Dia ajarkan kepadaku tentang rasa iba, ketulusan dalam berdo’a, dan mengasihimu lebih daripada biasanya. Dia pun menghadirkan sebuah keyakinan, bahwa sakit jua akan sembuh, bertemu kepada sehat.

Puan, masih banyak kenangan yang mesti kita menangkan. Masih banyak kegoyahan yang mesti kita tenangkan. Masih banyak kelelahan yang mesti kita kalahkan. Teringat kala raga kita terpisah jarak, kau berucap: “Semarang tak hebat tanpa kabarmu.” Aku pun memberi jawab: “Rembang tak bangkit tanpa hadirmu.”

Kini, aku menanti datangnya fajar di sepertiga malam. Berdo’a sepanjang perjalanan Rembang ke Semarang. Untuk mengadu tentang keadaanmu. Untuk memohon keselamatan jiwa dan ragamu. Hingga datang subuh, dahiku masih penuh dengan peluh, melihatmu belum juga terbangun walau sekedar mengaduh. Begitulah fajar di sepertiga malam selama sepuluh hariku berlalu.

Hei perempuan surga yang tengah terbaring lemah tanpa daya. Sungguh aku merindu suaramu, yang mengucap syukur kala aku goda dengan lagu rayu yang merdu.

Hei perempuan surga yang tengah berjuang menumbangkan segenap rintangan. Sungguh aku merindu melihat bulan sabit di bibirmu, kala aku memanjatkan do’a tentang hari depan generasi kita yang gilang gemilang bercahaya.

Hei Pemilik fajar dan sepertiga malam! Mohon dengarkanlah! Aku ingin merayu-Mu, untuk yang ke sekian kali, tanpa rasa bosan.

Semarang, 2 Januari 2020

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *