Kaderisasi berasal dari kata kader. Kader berarti kerangka utama atau figura. Dalam konteks organisasi, kader adalah orang yang menjadi tulang punggung yang membuat tubuh menjadi tegak. Figura atau frame membuat kertas foto yang ada di dalamnya juga menjadi tegak, tidak tertekuk. Berdasar itu, kaderisasi berarti proses menjadikan seseorang menjadi tulang punggung yang membuat sebuah entitas atau organisasi bisa terus berjalan tegak dan menjadi figur atau simbol.
Untuk menjadi figur muslim, pemahaman dan pengamalan ajaran al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad merupakan sebuah keharusan. Kitab-kitab karya para ulama’ salaf yang shalih juga menjadi khazanah intelektual untuk membantu mempermudah pemahaman dan petunjuk lebih teknis dalam melaksanakan.
Dr. Mohammad Nasih, atau yang oleh anak-anaknya akrab dipanggil Abah Nasih, sejak satu dekade terakhir telah memilih untuk menjadi pengkader. Awalnya dilakukan sebagai aktivitas sampingan selain fokus utama sebagai pengajar di berbagai perguruan tinggi di Jakarta (UMJ, UI, dan STEBANK) juga menjadi pengisi acara di berbagai program televisi nasional. Namun, melihat kebutuhan yang sangat mendesak, aktivitas kaderisasi menjadi fokus utama, bahkan menolak undangan acara televisi. Monash Institute dijadikannya sebagai rumah perkaderan yang makin intensif untuk para mahasiswa. Lalu mendirikan Planet NUFO sebagai Qur’anic Habits Camp untuk pada belia dan remaja, mulai usia SD sampai SMU. Apa gerangan yang menjadi latar belakangnya? Ini hasil wawancaranya:
Baladena: Apa perbedaan lembaga-lembaga kaderisasi yang Abah Nasih asuh dibanding lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada?
AN: Wah pertanyaan ini tajam sekali. Tapi memang karena ingin sesuatu yang lebih baik itulah yang melatari saya dan anak-anak menempuh jalan ini. Karena saya aktivis HMI, saya sering melakukan kalkulasi kasar jumlah aktivis HMI yang sukses. Tentu saja dengan kriteria saya, meliputi aspek ilmu, harta, dan kekuasaan. Indikator keilmuan secara formal memiliki gelar akademik tertinggi dan dibutuhkan baik di internal maupun eksternal HMI sebagai pemberi pencerahan pemikiran. Indikator kesuksesan harta adalah memberikan kontribusi finansial kepada organisasi dan masyarakat, terutama untuk upaya kaderisasi. Dan indikator punya kekuasaan paling simpel yang dimintai LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara). Dari hitungan kasar tersebut, ternyata muncul angka tidak melebihi 0,5 persen. Padahal organisasi HMI adalah organisasi yang harus diakui melahirkan kader paling banyak sebagai pengisi peran-peran sosial dan politik. Dan in put-nya sudah di level mahasiswa yang tentu sudah melewati banyak tahapan seleksi. Hanya yang memiliki potensi di atas rata-ratalah yang akan masuk.
Bermula dari sana, saya juga coba menghitung tingkat keberhasilan santri mengakses khazanah intelektual Islam: tafsir, hadits, ushul fikih, fikih, tauhid, tashawwuf, dll. Ternyata angkanya lebih rendah lagi. Sekolah-sekolah kita apalagi. Baru melahirkan SDM-SDM yang tidak jelas kualifikasinya. Secara umum medioker. Tanggung jadinya. Umat Islam di Indonesia secara umum tidak memiliki akses kepada sumber-sumber ajarannya sendiri. Hanya kurang dari 40 persen saja yang bisa membaca al-Qur’an. Itu pun hanya 1-2 persen saja yang bisa membaca sesuai dengan kaidah tajwid. Lulusan pesantren mesti bisa diharapkan sebagai figur-figur yang memiliki akses itu. Namun, ternyata prosentasenya juga sangat minimalis, nol koma. Dan semua itu terjadi karena pola pendidikan dan bahkan kaderisasinya masih bersifat sangat massal. Di sekolah, rasio guru:murid satu banding puluhan. Di pesantren bahkan sampai ratusan. Tentu saja sulit memastikan out come dari keadaan yang demikian. Out put dari lembaga-lembaga itulah yang kemudian masuk organisasi. Walaupun disebut organisasi perkaderan, tetapi kalau penguasaan mereka pada ilmu dasar tidak mumpuni, hasilnya tentu juga akan todak optimal.
Inilah yang membuat saya terpanggil. Saya harus membangun sistem perkaderan yang super intensif. Para kadernya harus menguasai mulai dari ilmu-ilmu alat. Jika ilmu alat sudah dikuasai, maka mereka sudah memagang kunci. Tinggal membuka pintu gudang ilmu dan mengangkutnya. Mereka ibarat telah membawa jala, jaring, dan bahkan pukat harimau. Tinggal ditebar ke laut, maka akan membawa pulang banyak ikan. Namun, jika ilmu alat tidak dikuasai, mereka hanya akan merasa kelelahan, lalu pulang dengan putus asa, tanpa membawa apa-apa. Bayangkan mondok bertahun-tahun, menghabiskan berton-ton beras, tapi pulang dengan tanpa kompetensi sebagai santri yang mestinya naik kelas menjadi kiai atau ustadz.
Baladena: Apa langkah khusus dan strategis untuk mewujudkan itu?
AN: Ya kaderisasi dalam arti dan aksi yang sesungguhnya. Jangan mendidik, padahal hanya menghardik. Jangan bilang pondok pesantren kalau faktanya hanya mengurung anak. Anak dipondokkan itu kan agar mendapatkan pendidikan full time, bukan hanya full day. Jika waktu yang dialokasikan sudah full, tetapi yang mendidik tidak ada, bahkan pergi ke mana-mana, ya itu bagaikan telur yang mestinya dierami agar menetas, tetapi ditinggal pergi, dan kembali hanya seperlunya. Pasti telurnya akan gagal menetas, bahkan bisa jadi busuk.
Baladena: Di mana sesungguhnya letak paling signifikan kaderisasi generasi muslim?
AN: Ini pertanyaan cerdas. Belajar Islam itu tidak seperti belajar yang lain-lain. Yang pertama, karena sumbernya berbahasa Arab. Terjemahan tidak akan pernah mampu memberikan pemahaman yang utuh. Harus menguasai bahasa Arab untuk menangkap sampai pada rasa bahasanya. Kalau bahasa Inggris sering dianggap penting, maka bahasa Arab fushhah untuk memahami al-Qur’an dan hadits Nabi, jauh lebih penting lagi, dan sejatinya menjadi fardlu ‘ain. Kalau mau diperingan ya jadi fardlu kifayah.
Kedua, pemahaman kepada ajaran ini meniscayakan pengamalan. Bukan muslim kalau paham tapi tidak mengamalkan. Nilainya ya mirip-mirip orientalis saja, paham tetapi tidak mengamalkan. Dan pengamalan ini memerlukan pembiasaan. Jika sejak beliau telah memiliki pemahaman yang baik dan sekaligus pengamalan yang telah jadi kebiasaan (habit), nah ini yang akan menjadi bekal sangar strategis.
Baladena: Apa target dari kaderisasi yang Abah Nasih lakukan ini?
AN: Saya berharap besar akan lahir kader-kader berkualitas muslim intelektual profesional. Tiga kualitas itu ada dalam diri yang satu. Bukan hanya satu-satu, sehingga menjadi pincang. Seorang muslim tidak hanya beribadah untuk keselamatan dirinya sendiri. Namun, harus mampu membangun argumen canggih nan intelektual untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang benar secara rasional. Semua harus bermuara ke sana, apa pun disiplin ilmu yang ditekuninya, karena basis al-Qur’annya sudah ada. Dan tentu itu harus dilengkapi dengan profesi yang menghasilkan biaya yang bisa digunakan untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berjuang. Sebab, jihad dalam arti yang seluas-luasnya, butuh pendanaan yang unlimited. Tidak bisa hanya dengan ngomong saja. Al-Qur’an menekankan pentingnya jihad berkali-kali dan beberapa di antaranya menyatakan dengan tegas bi amwaalikum/him, dengan harta kalian atau mereka. Tidak ada bi aabaabikum. Yang terakhir ini tidak ada di dalam al-Qur’an, berjuang kok dengan abab, alias semburan hawa mulut, alias ngomong doang. Logika perlu logistik pastinya.