DIGITALISASI PESANTREN DAN PELUANG SANTRI JADI LEBIH ‘ALIM DIBANDING KIAI

*Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Pengasuh Pesantren Planet Nurul “NUFO” Furqon, Rembang; Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ.

Di antara problem terbesar pesantren adalah akses santri kepada khazanah intelektual Islam yang masih sangat terbatas. Bukan karena di pesantren tidak tersedia kitabnya, akan tetapi kitab-kitab itu hanya diakses oleh para kiai dan keluarganya.

Selain itu, sesungguhnya belum banyak santri yang mampu membaca kitab kuning, kira-kira masih di bawah 2%. Karena itu, santri secara umum hanya belajar kitab-kitab yang menjadi bahan ajar, seperti Jurumiyah, ‘Imrithi, dan Alfiyah dalam disiplin nahwu, Tafsir al-Jalalayn, Tanwir al-Miqbas, dan Tafsir al-Munir dalam disiplin tafsir al-Qur’an, al-Arba’in, Bulugh al-Maram, dan Riyadl al-Shalihin dalam bidang hadits, Aqidat al-‘Awam, Jawharat al-Kalamiyah, dan dalam bidang tauhid, Fathul Qarib, Tuhfat al-Thullab, dan paling tinggi Fath al-Mu’in dalam disiplin fikih, al-Hikam, Minhaj al-‘Abidin, dan Tanwir al-Qulub, dan kitab-kitab kecil lain dalam disiplin keilmuan Islam yang lain.

Motode pengajiannya didominasi oleh bandongan, bahkan ceramah.
Karena bahan bacaan santri sangat terbatas, maka berharap santri bisa memiliki kebiasaan untuk berdialektika secara tajam, apalagi memiki kritisisme terhadap pandangan yang telah ada dan dianggap mapan, sungguh sangat sulit.

Memang, di beberapa pesantren, terutama yang memiliki program pendidikan menengah atas atau ma’had ‘ali, ada musyawarah di antara mereka. Namun, musyawarah itu juga hanya membahas tema-tema di seputar persoalan ibadah yang sudah diulang-ulang. Jika dibahas persoalan-persoalan keseharian, itu juga sering kali sesungguhnya tidak ada masalah, tetapi dicari-cari masalahnya.

Karena itu yang terjadi adalah memberikan jawaban tentang sesuatu yang sesungguhnya tidak ada persoalan. Sementara persoalan besar yang menjadi problematika kehidupan umat yang terus berubah malah tidak pernah dibahas, karena wawasan para santri kepada masalah-masalah yang baru muncul juga tidak memadai.

Karena itulah, pesantren harus membangun habitus baru yang bisa membuat para santri memiliki peningkatan secara signifikan di bidang keilmuan Islam. Dan itu hanya mungkin kalau tembok penghalang berupa larangan menggunakan internet dibongkar, lalu diberikan “kebebasan terkendali” untuk santri agar mereka bisa menggunakan perangkat digital yang dengannya para santri bisa mengakses seluruh khazanah intelektual Islam, bahkan membandingkannya dengan khazanah intelektual selainnya, apa pun yang mereka inginkan, dalam bahasa apa pun. Dengan demikian, mereka memiliki horizon yang lebih luas dan mampu membandingkan semuanya secara objektif.

Kebebasan ini tentu saja memiliki konsekuensi berupa tidak adanya lagi hegemoni pimpinan pesantren kepada para santri. Santri tidak bisa lagi ditekan dengan ungkapan-ungkapan yang sesungguhnya ingin mengungkung mereka, bahwa belajar dengan menggunakan perangkat digital sama dengan belajar tanpa guru, sehingga gurunya adalah setan.

Padahal belajar dengan menggunakan sarana-sarana digital, sesungguhnya hanyalah persoalan perubahan media, dari tatap muka secara langsung sebagaimana terjadi di zaman Yunani Kuno, kemudian ditambah dengan membaca buku setelah ditemukan kertas, dan setelah itu belajar dengan menggunakan media digital.

Keuntungan Digitalisasi Pesantren

Digitalisasi di pesantren memberikan banyak sekali keuntungan, di antaranya:
Pertama, memungkinkan belajar sesuai dengan kemampuan, karena materi ajar bisa diulang-ulang tanpa membuat yang mengajar merasa bosan bahkan terpancing emosinya dan kemudian membangkitkan amarahnya.

Peserta didik yang memiliki kemampuan yang tinggi, akan belajar secara cepat. Sedangkan mereka yang lembat, akan bisa mengulang-ulang sesuai dengan kebutuhan.

Kedua, lebih memungkinkan untuk belajar di mana saja dan kapan saja. Digitalisasi memungkinkan banyak bacaan yang pada era sebelumnya tertulis dalam buku-buku dengan jumlah yang sangat banyak dengan bobot yang berat, kemudian tersedia dalam sebuah perangkat yang bisa dibawa dengan sebelah tangan dan mengoperasikannya semudah menggerakkan dua jari jempol.

Ketiga, memudahkan dalam menemukan referensi. Dengan perangkat digital yang dilengkapi dengan menu pencarian, untuk menemukan tema-tema tertentu hanya diperlukan kata kunci yang sesuai. Dengan hanya beberapa kata kunci yang tepat, rujukan yang diperlukan untuk persoalan apa pun yang diperlukan bisa ditemukan tanpa harus berpindah tempat.

Keempat, memungkinkan kajian lebih dalam dan komprehensif. Dengan adanya banyak referensi, satu tema atau persoalan akan dilihat oleh para ilmuwan dengan disiplin keilmuan yang berbeda-beda, bahkan oleh ilmuwan dengan disiplin yang sama dari berbagai sudut pandang, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan paradigma yang lebih utuh dan saling melengkapi.

Kelima, menghidupkan diskusi dan dialektika untuk melakukan falsifikasi, konfirmasi, dan rekonstruksi. Ini sangat diperlukan agar ajaran-ajaran Islam senantiasa relevan dengan perkembangan dan dinamika zaman. Bahkan bisa menjadi inspirasi untuk melakukan usaha-usaha ilmiah atau penelitian untuk mendapatkan temuan-temuan baru. Inilah yang akan mengembalikan kejayaan umat Islam di masa depan.

Jika umat Islam tidak memiliki temuan-temuan baru dan terus menutup pintu ijtihad, maka umat Islam akan makin jauh tertinggal.

Dua Kemungkinan yang Akan Terjadi

Konsekuensi dari semuanya itu adalah lahirnya santri-santri yang tidak mungkin lagi dibatasi oleh satu paradigma yang bersifat doktriner dan menuntut sikap “sam’an wa thaa’atan”. Secara bersamaan juga budaya feudal di pesantren akan terkikis. Karena itu, para pemimpin pesantren harus bersiap untuk menerima setidaknya dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu:

Pertama, keulama’an tidak akan lagi didominasi oleh keluarga pemilik pesantren. Sebab, para santri dengan peluang-peluang membaca yang lebih luas, akan berpotensi untuk menyamai bahkan mengungguli anggota keluarga kiai, bahkan kiai itu sendiri.

Setidaknya, santri bisa memiliki kapasitas keilmuan yang andal. Jika pun berbeda, maka ia memiliki keunggulan komparatif yang bisa dikatakan setara.

Kedua, ketundukan berlebihan yang selama ini nampak di pesantren akan berpotensi hilang. Sebab, para santri akan mendapatkan pemahaman dan wawasan lain tentang relasi dalam kehidupan yang egaliter antar sesama umat manusia.

Apalagi sikap yang demikian itu juga dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan bersama dengan para sahabat. Bersamaan dengan kemunculan sikap kritis para santri, bisa saja mereka akan memiliki kesadaran baru bahwa banyak ungkapan, perkataan ulama, hadits, bahkan ayat al-Qur’an digunakan secara tidak tepat untuk membangun dominasi elite agama atas umat. Misalnya ungkapan “al-adab qabl al-‘ilm” yang sesungguhnya mengandung pengertian bahwa kebiasaan harus ditanamkan sebelum pemahaman, tetapi dijadikan sebagai basis legitimasi membangun feudalisme.

Di antara contoh paling sederhana tentang kebiasaan yang harus dikuatkan sebelum pemahaman adalah shalat bagi anak-anak. Walaupun mereka belum baligh, tetapi Nabi sudah menekankan bahwa ketika anak sudah berusia tujuh tahun, maka mereka harus dibiasakan untuk menjalankan shalat. Kebiasaan itu akan membuat mereka memiliki rasa penasaran tentang aktivitas apa yang sesungguhnya mereka lakukan.

Selanjutnya, mereka akan mempelajari tentang apa hakikat, fungsi, dan tujuan shalat secara keilmuan, baik berdasar al-Qur’an, hadits, maupun disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Dengan pemahaman ini, dominasi elite agama atas umat akan terkikis, dan semuanya menjadi umat yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *