Mengutip dari buku yang berjudul Melawan Takdir bab terakhir halaman 331, karya Prof. Hamdan Juhannis, M.A., Ph.D., “Bersabarlah karena dirimu ditakdirkan seperti itu!” Prof Hamdan, mengutarakan bahwa kesalahan manusia yang memiliki rasa pesimis terhadap kata “takdir”. Perjalanan masih panjang, masih banyak waktu untuk menapaki nasibnya dan mengubah menjadi lebih baik. Manusia masih bisa berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain. Bagi yang pesimis akan takdir, ia akan menjadi pecundang bukan pemenang dalam menjalani kehidupan ini.
Bermimpi, berusaha, dan berdo’a dengan takdir-Nya, karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik buat hamba-Nya. Itulah takdir, menerima ketentuan Tuhan bukan dari apa yang diinginkan, tetapi Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan hambanya melaui mimpi-mimpinya. Manusia adalah hamba Allah yang paling sempurna. Mereka telah dikaruniai potensi-potensi yang sama sejak keluar dari rahim ibu mereka. Potensi-potensi yang terus dikembangkan dan dilatih secara sungguh-sungguh akan membentuk kompetensi yang membedakan manusia satu dengan lainnya.
Berawal dari sebuah perkenalan dengan seseorang mentor Monash Institute sekaligus juga merupakan awal dari seribu langkah saya di Semarang, saya mulai menyusun takdir di kota atlas itu. Tidak terasa waktu terus bergulir, detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, dan hari telah berganti bulan. Hampir tujuh tahun, saya tinggal di suatu tempat yang sangat sakral ini. Tentu itu menjadi sebuah kebanggaan bagi orang kampung seperti saya ini, bisa kuliah di kota besar, salah satu ibu kota provinsi di Indonesia.
Sebelumnya, saya tidak menyangka akan tinggal di pesantren yang didesain secara modern dengan visi dan misi yang luar biasa. Pesantren Monash Institute, begitulah orang-orang seantero Nusantara menyebutnya. Segala ketentuannya diatur secara ketat. Setiap tindakan yang melanggar ada hukumanya. Dan dalam berbicara sehari-hari saja harus menggunakan bahasa Asing. Bahkan yang sangat luar biasa pengasuhnya adalah selain seorang yang hafal al-Qur’an (hafidh), ia juga seorang doktor Ilmu Politik, yang tidak lain adalah Dr. KH. Mohammad Nasih, M.Si.
Selain itu, yang menambah luar biasa juga, pesantren Monash Institute menghadrikan para mentor yang sangat profesional di bidangnya masing-masing untuk mengajarkan ilmu-ilmu tanpa bayaran sepeserpun. Bagi saya, ini menambah sempurnanya pesantren ini. Satu kalimat yang dapat saya katakan, kesempatan ini adalah kesempatan emas, dibina oleh insan-insan bersahaja yang multitalenta. Itu semua membuat saya harus bersungguh-sungguh dalam belajar, membawa diri saya sendiri menuju perubahan yang positif dan radikal.
Sebagai hamba Allah yang paling sempurna, manusia dikaruniai potensi-potensi yang sama sejak keluar dari rahim ibu mereka. Potensi-potensi itu harus terus dikembangkan secara optimal. Selama tinggal di pesantren ini, banyak perubahan yang berarti dalam menggali potensi-potensi yang masih terpendam. Beberapa cara pandang pendiri Monash Institute yang mampu membuat saya banyak mengalami perubahan, yaitu pertama, cara berfikir saya yang dahulunya masih sangat kerdil, dengan mengikuti kajian Abah Nasih—panggilan para santri kepada beliau—sedikit demi sedikit demi sedikit mengubah cara berfikir saya yang tadi kecil menjadi besar.
Awal mulanya, saya hanya berpikiran kuliah S1 sambil kerja dan bisa membayar kuliah. Rasanya, hidup sudah terasa aman. Akan tetapi tugas seorang manusia tidak hanya sekedar itu. Menurut Abah, manusia harus bebeda dengan ayam, yang aktivitasnya hanya melakukan reproduksi dan mengais makanan untuk diri sendiri dan keluarganya. Dengan kata lain, sebagai manusia harus mampu menjadi insan yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi manusia lainnya, tidak hanya memikirkan diri sendiri.
Kedua, hidup sekali di dunia, harus memiliki cita-cita atau mimpi yang tinggi. Bahkan dalam memotivasi santri-santrinya, Abah Nasih sering berkata: “Mumpung bermimpi itu belum dipungut bayaran, maka bermimpilah yang tinggi, setinggi-tingginya”. Kemudian dilanjutkan dengan motivasinya, “Bangun tidur untuk mewujudkan mimpi atau tidur lagi untuk melanjutkan mimpi”. Walupun berasal dari kampung dan keluarga yang biasa-biasa saja, saya dan teman-teman di Monash Institute harus tetap memiliki mimpi yang tinggi. Dengan begitu, kelak ke depannya kami akan menjadi insan yang bermanfaat untuk umat dan bangsa.
Allah SWT dalam QS al-Ra’d ayat 11 menerangkan: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. Manusia harus bergerak untuk mengubah nasibnya. Begitupun dengan Abah Nasih, ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa segala sesuatu itu berawal dari mimpi dan karena itu kita perlu menyusun mimpi terbaik masing-masing.
Abah sering berpesan, “Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa, tetapi kita bisa memilih mati untuk menjadi siapa-siapa”. Dengan kata lain, adakah yang bisa memilih untuk lahir di dunia ini dari seorang ilmuwan besar atau ulama? Siapa yang bisa memilih untuk dilahirkan oleh orang tua yang kaya raya? Siapa pula yang bisa memilih untuk lahirkan dari keluarga raja atau penguasa? Tidak ada. Namun, kita semua bisa menjemput takdir kita menjadi orang yang cerdas, kaya raya, bahkan berkuasa. Subhanallah; Maha Suci Allah.
Dengan motivasi yang telah ditanamkan hampir setiap detik kepada kami, khususnya saya yang sebelumnya tidak berpikiran setelah lulus sarjana untuk melanjutkan studi pascasarjana, karena motivasi dan arahannya, dengan percaya diri, saya langsung mendaftarkan diri prgram pascasarjana UIN Walisongo Semarang. Sebelum itu, saya yang sebelumnya tidak memiliki cita-cita untuk menulis dan dimuat di media cetak atau online, pada akhirnya mulailah bergelut dalam dunia tulis menulis dan berhasil dimuat di media.
Tidak hanya itu, yang menjadi ultrapetita bagi saya, ada tiga prestasi yang cukup untuk dikenang sejarah. Pertama, Pada Maret 2013 saya mendapat juara (III) tiga lomba Artikel dalam acara Dekan CUP 2013 Tarbiyah Faculty, yang diselenggarakan selama tiga hari mulai tanggal 15-17 Maret 2013. Juara I (satu) lomba menulis lingkup jurusan PAI dan juara III (tiga) dalam lomba memperingati pendidikan antikorupsi. Semua itu, bak mimpi di siang bolong yang menjadi kenyataan secara kontan. Luar bisa pembangunan mimpi itu.
Kedua, bergelut dengan entrepreneurship. Cukup bangga juga, ketika saya mulai bisa menghasilkan uang dari kerja keras sendiri, walaupun jumlahnya tak seberapa. Berawal dari menjadi makelar, jual beli beli makanan ringan di pasar kemudian dijual di pesantren Monash kepada teman-teman, sampai akhirnya telah bisa memproduksi makanan yang bahan bakunya dari singkong atau biasa kami menyebutnya casafa food. Itu saya kerjakan bersama sahabat saya Hartiningsih Sahara.
Dari bahan baku singkong kami dapat membuat beraneka ragam jenis menu makanan seperti Combro Cassava, Onde-Onde Cassava, Kripik Cassava, Steak Cassava, Kopang Cassava, dan lainnya. Dengan modal singkong, kami dapat berperan seolah-olah sebagai “bos kecil”. Setiap pagi hari, beberapa mahasantri Monash Institute ada yang membawa hasil produksi kami ke kampus untuk dijual kepada teman-teman di kampusnya. Kami juga menitipkannya ke kantin-kantin kampus, bahkan ke warung-warung sekitar kampus.
Ketiga, belajar dan menghafal al-Qur’an. Bermula dari paksaan, karena sebelumnya tidak terbesit sedikitpun untuk menghafalkan al-Qur’an, lama kelamaan menjadi kebiasaan. Pada intinya, aktivitas dan ilmu yang diajarkan di pesantren Monash sangat komplit. Mulai dari sharaf, kajian ilmu tafsir yang diajarkan secara maksimal setiap harinya, sehingga secara tidak langsung menambah kosakata saya dalam hal mengetahui maknanya.
Keempat, menjadi aktivis di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia. Saya bangga penah menjadi bagian dari Himpunan. Dia mengajarkan kepada saya banyak hal. Di struktural, saya terakhir menjadi sekretaris Korps-HMI-Wati (Kohati) di tingkat Korkom. Lebih dari itu, kemampuan saya dalam mengajar sangat dipengaruhi oleh aktivitas saya sebagai instruktur di organisasi Hijau Hitam itu. Hampir setiap akhir pekan, saya menghabiskan waktu untuk bertemu dan berdialektika bersama para mahasiswa baru. Dan itu semua berkat arahan dan dorongan Abah Nasih.
Beliau selalu bilang, “Kalian mesti jadi guru-guru yang benar, yang mencerahkan mahasiswa-mahasiswa baru.” Pesan itu membuat kami tidak hanya aktif, tetapi terus belajar untuk mempersembahkan yang terbaik untuk mereka yang akan masuk menjadi anggota-anggota di HMI. Saya pun harus bisa menyinergikan semua itu dengan agenda yang di Monash Institute. Saya “kulakan” dari Abah Nasih di Monash Institute, kemudian saya “jual” di HMI. Begitu terjadi terus menerus, hingga tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan betapa perjalanan ini sangat indah.
Semua agenda di pesantren Monash bersifat membangun perkembangan kecerdasan dan solidaritas setiap disciples. Sifat dan sikap pejuang sejati para mahasantri Monash Institute perlu dijaga, karena mereka mengikuti jejak sang pendiri MI. Semoga mahasantri-mahasantri beliau mampu dan memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan mimpi-mimpi anak kampung sebagaimana yang beliau ajarkan dan berikan kepada kami.
Ini tidak berlebihan. Anak-anak kampung yang tadinya (sebagian besar mungkin) hanya bermimpi bisa kuliah, tetapi oleh Abah Nasih, mimpi-mimpi itu dibesarkan dan bahkan diarahkan untuk dibuat menjadi kenyataan. Saya yang tadinya bermimpi bisa menjadi guru, dan karena itu saya kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), sekarang menjadi dosen di perguruan tinggi. Ini adalah ultra petita dan tentu ini semua merupakan jalan takdir yang Allah berikan untuk saya. Namun, Abah Nasih berjasa besar atas pencapaian ini, bahkan sejak dari pikiran, mengajari kami berimajinasi tingkat tinggi dan membesarkan mimpi-mimpi kami. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Oleh: Nurchamidah, M.Pd., Disciples 2011, Dosen IAIN Salatiga
Editor: Anzor Azhiev