Gantungan itu masih tergeletak di atas almari. Kubiarkan ia berteman debu. Kemarin, pemiliknya menemuiku, bertanya kabar. Memberikan sebagian kecil sisi kisahnya dihabiskan bersamaku. Meski diiringi senyum, aku bisa melihat matanya yang sayu. Meski ia bercerita tentang pertandingan sepak bola grup favoritnya, aku tahu ia sedang memikirkan kisah si kelasi di atas Armada Langit. Kurasa, ia sedang tidak baik-baik saja.
Benar, esoknya, ia kabarkan kepergian yang cukup lama. Aku hanya tersenyum, membiarkan derap langkahnya berlalu begitu saja. Aku tidak pernah suka bertanya, terlebih tentang masalah seseorang. Dan dia, dari kabar yang kudengar, menunggu aku meminjamkan telinga atas kisahnya. Bagiku, telingaku adalah sahabat kisahku, bukan kisah orang lain. Mungkin, itu alasan mengapa semalam ia bercerita tentang Juventus, bukan ceritanya. Terlalu egois memang, namun aku tidak pernah nyaman dan belum bisa menjadi pendengar yang baik.
Satu purnama berlalu. Pagi itu, ketika tanganku sibuk berkutat dengan pasal-pasal pidana, ia berkabar tentang kedatangan. Aku hanya membiarkan pesan itu. Tiak ada sedikitpun semangat untuk menanggapinya. Sebab, yang ia kabarkan adalah kedatangan, bukan kepulangan. Kubiarkan pertanyaan-pertanyaan bermunculan di benaknya. Ia pun pergi sebelum kakiku sempat bergerak menemui. Kukira, itu akan menjadi kedatangannya yang terakhir. Tapi, setelah hari berganti, ketika kakiku melangkah kembali ke peraduan, kudapati sosoknya di ujung persimpangan.
“Mengapa menghilang saat aku datang, Wortelina?”
“Aku sedang sibuk mengamati posisi bulan dan bintang”
“Kau senang aku datang?”
“Hanya itu yang ingin kau tanyakan, Pilik?”
“Tidak, tapi jawabanmu atas pertanyaan itu yang akan menentukan langkahku”
“Aku tak paham maksudmu. Mungkin aku terlalu kecil”
“Meskipun selama ini aku memanggilmu nona kecil. Namun, pemikiranmu jauh lebih maju dibandingkan aku”
“Sebenarnya, apa alasanmu datang?”
“Aku hanya ingin melepas rindu”
“Denganku?”
“Iya, Wortelina. Dengan siapa lagi memang”
“Baiklah, kau menang. Aku memang merindukanmu. Namun, aku tak pernah berharap akan kedatanganmu”
“Mengapa? Bukankah kau risau saat tak mendengar kabar dariku?”
Aku hanya bisa menggeleng.
“Bukankah engkau menunggu kedatanganku?”
“Tidak”
“Bukankah engkau merasa sepi saat aku tak berada di sampingmu?”
“Tidak. Tidak, Pilik. Aku tidak pernah risau tanpa kabarmu, aku tak pernah menunggu kehadiranmu, aku tak pernah merasa sepi tanpamu. Bahkan, aku tidak pernah sedikitpun menghawatirkanmu. Kamu terlalu pengecut untuk sekedar bercerita. Kamu terlalu penakut untuk menghadapi dunia. Kamu terlalu pecundang untuk mau melihat duniaku. Lalu, masihkah aku harus risau?”
Selesai mengungkapkan kekecewaanku. Aku ingin segera melangkah pergi. Namun, kakiku tertahan oleh isakan. Apakah aku secengeng itu?, menangis di hadapan orang yang aku anggap pengecut. Kuraba kedua pipiku. Namun, aku tak mendapati aliran atau buliran air mata. Ujung matakupun masih kering, bahkan aku masih bisa dengan jelas merasakan celak yang pagi tadi aku oleskan, masih tertata rapi. Lalu kutengokkan kepala. Pantas saja, isakan itu ternyata berasal dari laki-laki itu. Selama ini, ia yang menghapus air mataku. Selama ini, ia yang meredakan isakanku. Lalu, mengapa ia secengeng itu. Apakah aku sudah terlampau kasar kepadanya?
“Wortelina, maaf”
“Sebentar lagi gerhana. Maaf, aku harus segera pergi ke planetarium.”
Langkahku terasa berat. Seberat pancaran kecewa yang bisa kurasakan dari raut mukanya. Namun hatiku merasa bebas seketika itu. Merasa duniaku akan segera pulih dan normal kembali. Aku tidak peduli dengan perasaannya. Namun, bukan berarti aku ingin menghindar dan bersikap tidak dewasa seperti yang ia lakukan. Aku masih ingin berkawan baik dengannya, masih ingin berbagi kisah dan saling memacu semangat dalam mewujudkan mimpi-mimpi besar kami. Bagaimanapun penerimaannya terhadap perasaanku yang sekarang, aku masih ingin kami mewujudkan mimpi di masa depan, bukan terkungkung oleh perasaan.