Membaca al-Qur’an

Baladena.ID

Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE

Allah menamakan kitabNya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan al-Qur’an tentu dengan tujuan, bertekanan khusus, agar dibaca. Sebab, makna literal al-Qur’an adalah bacaan. Kata bermakna bacaan ini, jangan sampai membuat manusia sekarang salah persepsi tentang apa yang dimaksudkan. Sebab, pada awalnya objek bacaan atau yang dibaca tidak berwujud tulisan. Ketika Jibril mewahyukan ayat pertama yang memerintahkan untuk membaca, iqra’ bi ismi rabbika alladzii khalaq, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (al-‘Alaq: 1), sesungguhnya tidak ada tulisan yang disodorkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.

Nabi mengikuti bacaan Malaikat Jibril dan bacaan itu melekat kuat di dalam hatinya (al-Syu’ara’: 193) sebagai hafalan yang tak pernah terlupakan (al-A’la: 6). Bacaan dengan tanpa objek bacaan sesungguhnya justru merupakan bacaan dengan tekanan lebih, karena ia harus benar-benar dihafalkan, tidak sekedar dibaca dan setelah itu dilupakan. Berbeda dengan itu, al-Qur’an harus dibaca dengan ikatan kuat ingatan.

Tekanan tentang perlunya membaca kitab Allah itu terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad saw.. Al-Qur’an memberikan jalan mudah dengan memberikan perintah agar membaca ayat-ayat yang mudah (al-Muzzammil: 20). Ini memberikan pengertian, dan memang sesuai dengan fakta, bahwa ada ayat-ayat dengan tingkat kemudahan yang berbeda saat dihafalkan. Sedangkan Nahi Muhammad menjanjikan pahala kepada orang yang membaca al-Qur’an, pada setiap hurufnya. Dan karena itulah, para ulama’ ahli al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad yang membacanya mendatangkan pahala. Berbeda dengan bacaan-bacaan lain yang membacanya tidak ada janji khusus mendapatkannya.

Sampai Rasulullah meninggal dunia, al-Qur’an bahkan belum dikompilasi dalam satu catatan yang lengkap atau dibukukan dengan urutan sebagaimana sekarang ada sebagai mushhaf yang dibaca oleh ummat Islam di seluruh dunia. Bahwa oleh para sahabat, setiap ada wahyu turun dan dibacakan oleh Nabi, beberapa sahabat yang bisa baca tulis dengan baik kemudian mencatatnya pada berbagai media, di antaranya kulit binatang, lempengan bebatuan, tulang belulang, atau pelepah kurma, itu memang iya. Namun, itu tidak berbentuk sebuah kompilasi yang utuh, apalagi urut. Terlebih al-Qur’an memang turun tidak urut sebagaimana urutan yang ada dalam mushhaf sekarang, bahkan ada ayat-ayat yang diturunkan tidak hanya sekali. Jadilah tulisan-tulisan para sahabat itu berserak acak. Namun, dalam bacaan hafalan, Nabi Muhammad dengan panduan Malaikan Jibril telah mengurutkan al-Qur’an mulai awal sampai akhir. Sebagian besar ulama’ ahli al-Qur’an berpandangan bahwa urusan surat dan ayat dalam al-Qur’an adalah tauqifi, alias ditentukan oleh Allah Swt..

Al-Qur’an baru dibukukan para zaman Abu Bakar, setelah perang Yamamah merenggut jiwa banyak sahabat Nabi sebagai syahid. Ada yang menyebut 500, atau 600, bahkan 1200 orang syahid dan tidak kurang dari 70 orang di antaranya merupakan penghafal al-Qur’an, bahkan termasuk Salim Maula Abu Hudzaifah yang merupakan qari’ Rasulillah, sehingga membuat sahabat Umar Ibn al-Khaththab merasa khawatir bahwa al-Qur’an akan hilang karenanya. Bahkan, karena Abu Bakar menyatakan dengan tegas tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, maka Umar harus melakukan usaha keras untuk meyakinkannya bahwa itu adalah tindakan yang baik.

Dari sejarah tersebut, jelas bahwa tradisi membaca dalam masa awal Islam tersebut adalah tradisi hafalan. Maksudnya, mengucapkan kalimat-kalimat tanpa melihat itu juga disebut dengan membaca. Bahkan, dalam tradisi saat itu, hafalan di kalangan masyarakat Arab sangat dikagumi. Hafalan di satu sisi dengan jumlah hafalan yang sangat banyak, menunjukkan kualitas intelektual seseorang. Terlebih kalimat dalam bahasa Arab telah terbukti sebagai kalimat yang sangat mudah dihafalkan jika dibandingkan dengan bahasa lainnya. Pada sebagian orang, muncul prinsip bahwa kalau semua bisa dihafalkan di luar kepala, kenapa mesti ditulis?

Sejarah berikutnya, kodifikasi al-Qur’an dilakukan di era ‘Utsman bin ‘Affan, dengan menjadikan mushhaf yang telah dikodifikasi di era Abu Bakar yang kemudian diserahkan dan ada di tangan Umm al-Mu’minin Hafshah binti Umar sebagai standar. Dari rangkaian sejarah itu, jelas bahwa makna bacaan yang maksud adalah melafalkannya tanpa harus melihat teksnya.

Karena al-Qur’an berisi bukan kalimat-kalimat sembarangan, melainkan firman Allah yang berisi panduan untuk menunjukkan, maka membacanya pun harus dilakukan dengan benar. Kekeliruan satu huruf, tempat berhenti (waqf), bahkan harakat, bisa jadi mengubah makna menjadi tidak sesuai dengan keinginan Allah. Karena itulah, para ulama’ yang memiliki perhatian lebih kepada al-Qur’an melakukan langkah-langkah untuk membuat al-Qur’an dibaca dengan akurat. Pada awalnya huruf al-Qur’an ditulis bahkan dengan tanpa tanda-tanda baca. Tidak ada titik, tidak ada harakat, dan tidak ada tanda waqf (berhenti). Seiring dengan meluasnya Islam ke luar wilayah Arab, maka makin banyak orang yang mengalami kesulitan dalam membaca al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab.

Karena itu, muncul ide untuk memberikan tanda-tanda yang diharapkan bisa membantu kesukitan tersebut. Ini merupakan fase awal pemberian tanda yang terjadi pada era kekuasaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah menugaskan Abu al-Aswad al-Duwali untuk melakukan tugas itu. Disusul oleh fase kedua dengan meletakkan titik untuk membedakan antara satu huruf dengan huruf lain yang mirip sehingga membuat orang non-Arab bisa membedakan antara huruf ba’, ta’, tsa’, dan ya’, misalnya. Ini terjadi pada masa khalifah kelima Bani Umayyah, yakni Abdul Malik bin Marwan dengan memerintahkan Gubernurnya, bernama al-Hajjaj bin Yusuf. Baru setelah dalam kekuasaan Bani Abbasiyah, ditambahkan juga harakat fathah, kasrah, dlammah, sukun, dan tasydid. Sebab, kekuasaan Islam saat itu sudah sampai ke Eropa. Pemberian tanda-tanda baca itu merupakan kebutuhan yang sangat mendesak agar semua pemeluk Islam, termasuk yang bukan Arab bisa membaca al-Qur’an yang tidak bisa serta merta dialihbahasan ke bahasa non-Arab itu dengan benar.

Jika al-Qur’an dibaca dengan benar, dengan hukum-hukum tajwid secara akurat, maka akan melahirnya nuansa yang sangat indah. Bacaan jelas dan dengungnya, juga bacaan hidup maupun mati pada ujung-ujung ayatnya yang berima melahirkan keindahan sastra yang sangat terasa. Ini hanya akan terasa jika al-Qur’an dilafalkan, bukan sekedar dibaca dalam hati. Dengan kata lain, al-Qur’an lebih “menginginkan” untuk dilafalkan. Sebab, keindahannya lebih bisa terasa apabila bacaan al-Qur’an disuarakan atau diperdengarkan. Desisan sebagai efek huruf sin yang dimatikan, terjadi pada setiap akhir keseluruhan surat al-Naas. Tekanan huruf qalqalah terasa dan terjadi secara bergantian pada setiap ujung surat al-‘Alaq. Letupan huruf dal terjadi pada setiap akhir kata dalam keseluruhan ayat surat al-Ikhlash. Keindahan yang sama terasa dalam keseluruhan surat dalam al-Qur’an.

Membaca dalam konteks sekarang dengan adanya teks yang dibaca, merupakan langkah awal. Masih ada langkah-langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh setiap muslim, agar ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur’an menjadi nyata dalam kehidupan, yakni: memahami artinya, menghafalkannya, merenungkannya (tadabbur), mengamalkannya, mengajarkannya, lalu memperjuangkannya agar bisa ditransformasikan ajaran-ajarannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *