Sketsa Tuhan Anak-anak Milenial

Sketsa Tuhan Anak-anak Milenial
Ilustrasi

Perjalanan untuk “menemukan” Tuhan ini dimulai ketika aku yang secara kebetulan mengikuti kajian tentang ketuhanan oleh Kanda Mohammad Nasih. Kajian itu diadakan sekitar enam tahun silam di AMPI (Asrama Mahasiswa Pemuda Islam) Monash Institute Semarang. Tak tanggung-tanggug, pembahasan tentang Tuhan, dilaksanakan hampir satu hari penuh. Dari sini, nuraniku mulai terusik. Perang batin mulai berkecamuk di dalam dada. Namun pada akhirnya, hal itu tak berlangsung lama. Rasa itu kian memudar seiring kesibukanku sebagai mahasiswa baru serta berjalannya waktu.

Dua tahun berselang, akhirnya ku mulai memantapkan hati untuk memulai kembali dalam perjalanan “pencarian” Tuhan. Aku, yang tanpa sengaja harus mengisi kajian NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) dalam forum perkaderan sebuah organisasi ekstra bernama HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kala itu, posisiku hanya sebagai pemateri pengganti. Sebab, pemateri yang dijadwalkan mengisi materi berhalangan hadir.

NDP merupakan landasan ideologis dalam perkaderan HmI, yang disusun oleh almarhum Cak Nur (panggilan akrab Nur Kholis Majid) – seorang intelektual muslim kontemporer Indonesia – sekitar tahun 1960an. Cakupannya amat luas, namun dikemas dalam tiga kata saja, yakni; iman, ilmu dan amal yang lebih dikenal dengan inti NDP. Fitrah manusia adalah makhluk percaya. Agar kepercayaan yang dianut itu benar-benar benar, harus dikuatkan dasar-dasar kepercayaannya. Manusia harus mengetahui, untuk apa ia memiliki kepercayaan. Manusia harus tau, untuk apa dia percaya terhadap sesuatu. Dan yang lebih penting lagi, apakah kepercayaan yang kita miliki ini memiliki keterlibatan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan kepercayaan yang dimiliki. Maka, ilmu dijadikan sebagai pijakan dalam sebuah kepercayaan. Manusia harus bisa mempertanggungjawabkan kepercayaannya secara rasional. Sebuah kepercayaan yang murni. Sebuah iman yang bukan sekedar iman. Dan amal, baru bisa dilakukan setelah kedua hal di atas. Hal ini penting diutarakan, karena manusia hidup memiliki dua unsur; 1. Hablun min Allah (hubungan manusia dengan Allah) 2. Hablun min an-naas (hubungan manusia dengan manusia). Yang pertama, harus memiliki implikasi terhadap yang kedua. Iman dan ilmu yang kita miliki, harus dilengkapi dengan amal sholeh. Manusia tidak hanya rajin sholat dan puasa, tapi masih terus korupsi. Shalat dan ibadah manusia yang lainnya – berkaitan dengan individu – harus memiliki implikasi terhadap manusia lainnya (sosial).

Perkenalanku dengan Tuhan makin intens pasca ku mengisi kajian NDP untuk pertama kali. Pada kesempatan perdanaku itu, aku sadar bahwa amunisi pengetahuan yang kumiliki jauh dari kata cukup, alias tidak memadai sama sekali. Tujuan semula, aku yang hanya ingin memantaskan diri sebagai pemateri NDP untuk bisa memuaskan dahaga para peserta kini berubah haluan. Ya, aku ingin membebaskan diriku dari berbagai rasa gelisah yang melanda. Rasa gelisah yang membuatku ingin mencari Tuhan. Mengetahui wajah atau rupa-Nya. Dan menyaksikan segala tentang Tuhan secara memuaskan.

Namun, ternyata hal itu bukan perkara mudah. Aku terus dihantui rasa gelisah sampai sekarang. Sehingga, penggambaranku tentang Dia hanyalah sebatas sketsa. Catatan ini hanyalah sebuah pemuas kegelisahan, yang mana tidak ada hasrat apapun untuk menghadirkan sosok Tuhan dalam wujud-Nya. Sebab aku sadar, mustahil jika Tuhan itu dapat digambarkan. Bahkan menghadirkan Tuhan secara realitas, sama saja dengan memberhalakannya, bukan? Karena Dia terlalu agung.

Mungkin inilah yang menjadi alasan, kenapa orang Yahudi menyebut Tuhannya “Yahweh”. Cukup dengan satu kata tersebut. Yahweh, berasal dari kata ya huwa (Wahai Dia). Mereka sadar bahwa penggambaran Tuhan tidak cukup untuk terkungkung dalam sebuah bahasa atau ucapan. Kalau kita melihat ayat Al-Qur’an pun, gambaran Tuhan sangat bernuansa manusiawi. Dengan bahasa Arabnya, yang juga merupakan bahasa manusia, Tuhan digambarkan dalam dimensi manusia. Padahal, Tuhan tidak terikat dengan dimensi manusia. Tuhan yang menciptakan ruang dan waktu. Tidak mungkin Tuhan menempati sesuatu yang diciptakan. Oleh karena itu, gambaran hakiki tentang Tuhan, hanya akan selalu tertanam dalam benak kita masing-masing.

Flashback on 6 tahun silam

Apakah Tuhan maha kuasa? Jawabannya, tentu saja iya. Lalu, seingatku Kanda Nasih segera menambah dengan sebuah pertanyaan lagi. “Kalau begitu, apakah Tuhan mampu menciptakan batu yang sangat besar, sehingga saking besarnya, Dia sendiri tidak mampu untuk mengangkatnya?” Belakangan, aku kemudian tahu bahwa itu adalah sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Karena pertanyaan tersebut, jelas-jelas salah. Kemudian, aku dihantui kembali dengan pertanyaan: “Apakah Tuhan bertempat?” Jawabannya: Tuhan Tuhan di atas. Sewaktu aku kecil, ketika ditanya tentang keberadaan Tuhan, akan ku jawab dengan pasti.

Tuhan itu ada di atas, memakai baju putih-putih, dan memiliki jenggot putih pula. Badannya besar, ada tasbih hitam besar melingkari dalam genggaman. Duduk di atas awan dan sedang mengamati kehidupan di bawah langit, melakukan peranannya sebagai Tuhan (imajinasi masa kecil). Namun, ketika sekolah di Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, pandangan ini sedikit berubah. Guruku mengatakan bahwa Tuhan itu lebih dekat dari urat nadi kita. Guruku yang lain, mengatakan bahwa Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy. Bahkan ada kakak kelasku yang berkata bahwa Tuhan itu ada dimana-mana. Kog bisa? Kalau Tuhan ada dimana-mana, apakah itu berarti bahwa Tuhan ada banyak? Atau Tuhan selalu wira-wiri kesana-kemari dalam menjalankan tugasnya?

Flashback off

Perihal keberadaan Tuhan, Al-Qur’an secara gamblang menjelaskan bahwa Tuhan bersemayam di sebuah tempat di atas langit ke tujuh yang bernama ‘Arsy. Langit pertama, dapat kita lihat sebagai langit biru (sama ad-dunya ). Lalu, disusul lapisan langit ke dua sampai pada akhirnya tiba di langit ke tujuh. Menurut cerita, Muhammad pernah mengunjungi semua langit-langit itu untuk bertemu Tuhan seorang diri. Peristiwa itulah yang sampai sekarang kita kenal dengan isra’ mi’raj yang membuahkan oleh-oleh berupa shalat lima waktu bagi umat Muhammad. Dengan ditemani malaikat Jibril, Muhammad berangkat mengendarai buroq (sejenis binatang yang diumpamakan seperti kuda bersayap dan punya tanduk di atas kepala).

Neraka dan surga pun tak luput dari kunjungan Muhammad. Di neraka, terdapat banyak orang disiksa, terutama perempuan. Ada orang yang digunting lidahnya, kemudian menyatu lagi, lagu lidahnya digunting lagi. Begitu seterusnya sampai hari kiamat datang. Itu hukuman bagi orang yang semasa hidupnya membicarakan kejelekan orang lain (ghibah). Ada pula orang yang ditusuk-tusuk besi panas kemaluannya sampai tembus ke ubun-ubun. Itu gambaran siksaan bagi orang yang semasa hidupnya berbuat zina di dunia. Ada yang tubuhnya disetrika, ada pula yang memotong-motong tubuhnya sendiri, dan lain-lain. Semua itu ku dapat dari cerita guruku. Gambaran-gambatan tentang neraka juga pernah kubaca dalam komik-komik kecil yang kubeli di sekolah dulu.

Setelah berkunjung ke neraka, Muhammad berkunjung pula ke surga. Dulu sewaktu kecil, aku sering dituturi (red: dinasehati) Bapak dan Buk e, kalau kita mengikuti perintah Tuhan, maka kita akan mendapat ganjaran berupa surga. Sebagaimana neraka, surga digambarkan dengan sangat antrooosentrik. Surga itu ada tujuh, katanya. Ada kelas+kelas dalam penempatan surga. Yang tertinggi, jelas akan ditempati para nabi, shahabat, dan salaf as-shaleh. Ibarat alat transportasi, surga ada kelas-kelasnya. Semacam VVIP (very very important person), eksekutif, bisnis dan ekonomi. Meskipun begitu, tidak ada perbedaan fasilitas di dalamnya. Surga tetaplah surga.

Disana, kita akan dilayani bidadari-bidadari yang cantiknya tiada Tara. Ada berbagai macam telaga yang airnya bening. Sungai-sungai yang mengalir air susu, madu, dll. Tempat tidur yang empuk. Makan dan minum dengan piring dan piala yang bertahta emas dan permata. Hanya ada kesenangan dalam surga. Bahkan semua keinginan kita akan terpenuhi apapun itu. Lagi-lagi, gambaran yang sangat berdimensi manusia.

Tuhan juga digambarkan memiliki rupa dan tangan. Secara tekstual, ayat Al-Qur’an menggambarkan demikian. “Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS Al-Fath:10). Dalam gambaran lain, Tuhan bahkan bisa tersenyum. Kita tentu mengenal MAW Brouwer, seorang budayawan asal Belanda yang memiliki cinta amat mendalam terhadap bumi Pasundan (Bandung). Menurut Brouwer, bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Lalu, apakah ada belahan bumi lain yang diciptakan Tuhan sambil cemberut? Entahlah.Lebih jauh lagi, ada yang menggambarkan bahwa Tuhan punya anak, Tuhan bisa menjadi Bapak atau raja yang amat kejam. Semua gambaran tentang Tuhan, terasa sangat manusiawi. Aku sendiri yakin, bahwa itu bukanlah Tuhan melainkan hanya sketsa Tuhan.

Bagiku, semua gambaran di atas terasa aneh. Bagaimana mungkin, gambaran Tuhan beserta surga dan neraka, apakah demikian adanya? Hal itu sangat bersifat materii. Namun, satu hal yang pasti, bagiku, semua itu adalah bentuk perumpamaan. Manusia terbatas menjelaskan perempamaan-perumpamaan di atas, karena jelas kita memiliki keterbatasan bahasa. Tapi, kita jelas butuh gambaran tentang hal-hal tersebut. Sehingga, digunakanlah bahasa manusia. Bahkan surga dan neraka pun yang tidak berada dalam dimensi manusia, harus digambarkan secara manusiawi.

Khususnya dalam dimensi manusia Arab. Gambaran itu, diberikan sesuai kondisi masyarakat Arab yang panas, terik dan tandus untuk memberikan dorongan psikologis agar mereka tunduk dan patuh terhadap perintah Tuhan. Namun, apakah gambaran surga yang demikian, efektif bagi manusia Indonesia? Kita memiliki iklim yang berkelanjutan dengan Bangsa Arab. Untuk apa jauh-jauh memikirkan surga, kalau semua gambaran tentang surga sudah ada di depan mata?

Maka, aku juga memiliki gambaran surga versiku. Bukan surga versi Timur Tengah. Bagi umat Yahudi, gambaran Tuhan mereka tentu berbeda dengan orang Nasrani. Begitu pula dengan gambaran Tuhan orang Islam, Hindu dan Buddha. Meskipun, semua sama-sama menyembah Tuhan. Namun, sosoknya pasti berbeda-beda. Mirip seperti analogi orang buta yang diminta untuk menyentuh gajah, lalu diminta untuk menggambarkannya.

Ada yang menggambarkan Gajah seperti selang air yang tebal. Ada yang mengatakan bahwa Gajah itu seperti kipas yang lebar. Ada pula yang berkata bahwa Gajah itu seperti tiang listrik yang tinggi menjulang. Tergantung bagian tubuh Gajah yang mana yang telah disentuh. Mirisnya, hal inilah yang kemudian menjadi sumber petaka selama berabad-abad. Orang yang meyakini bahwa Tuhannya seperti tiang menjulang, akan menghujat bahkan membunuh atas nama Tuhan yang diyakininya. Meminjam bahasa Karen Amstrong, mereka rela berperang demi Tuhan. Namun sesungguhnya, mereka bukan berperang demi Tuhan, akan tetapi secuil gambaran tentang Tuhan.

Menurutku, gambaran-gambaran di atas – tentang Tuhan, neraka dan surga – masih terlalu kekanak-kanakan. Nuraniku merasa tidak setuju dengan gambaran-gambaran yang demikian. Namun, apalah daya karena keterbatasan bahasa manusia. Akupun terus mencari dan berusaha menghilangkan rasa gundah dan gelisah. Serta terus memantapkan hatiku. Kemudian, Kant menyadarkan ku bahwa usaha untuk mencari gambaran tentang Tuhan adalah sia-sia belaka. Karena Tuhan tidak bisa dijangkau oleh rasio. Jadi, tidak perlu terlalu dipikirkan. Keberadaan Tuhan tetap kita butuhkan karena Dia merupakan muara dari segala tindakan manusia.

Selaras dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib, yang menyatakan bahwa; kalau manusia mencari kebenaran objektif tentang Tuhan, lebih baik sekalian tidak tahu saja tentang Tuhan. Manusia tidak akan mampu, karena pikiran kita tidak bisa menjangkau logikanya. Sistem nilai kita dengan Allah itu dibatasi. Maka, janganlah kita mengejar Allah dengan logika. Melainkan, kerjarlah Allah dengan cinta. Karena Dia, menciptakan manusia, asal-usulnya dari cinta. Urusannya adalah tentang cinta. Bukan tentang pemahaman.

Maka, tidak perlu mengetahui definisi cinta untuk merasakan jatuh cinta. Tidak perlu mengetahui pedas untuk merasakan apa itu pedas. Tidak perlu pula mengetahui sakit untuk merasakan apa itu sakit. Mungkin, juga berlaku untuk tidak perlu mengetahui tentang Tuhan agar dapat merasakan kehadiran-Nya. Secara naluriah, manusia memiliki dorongan untuk mencari sesuatu yang lebih dari dirinya.

Jadi, yang perlu kita lakukan saat ini adalah rasakan saja kehadiran-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Libatkan Dia dimanapun kaki kita berpijak dan melangkah. Aku kini berada dalam fase menganggap Tuhan sebagai sahabat dan partner terpercaya. Sahabat yang selalu mendengar keluh kesah serta gundah gulanaku. Sahabat yang selalu memberikan harapan dan janji-janji indah masa depan. Partner yang tak akan pernah mengecewakan serta selalu menolong dalam setiap kesulitan. Aku lebih nyaman dan santai dalam beragama. Karenan Tuhanku adalah sahabatku. Partner seumur hidup yang senantiasa menuntunku menuju kehidupan lebih baik. Sebagaimana layaknya sahabat, tentu aku akanmenjaga hubungan baikku dengan-Nya. Serta berusaha untuk tidak menyakiti perasaannya sekecil apapun. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *