Terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang sederhana dan biasa-biasa saja, tidak berarti menghilangkan harapan saya sebagai manusia. Berangkat dari keinginan dan cita-cita yang sederhana, tepatnya sejak masih duduk di bangku SLTA, saya punya mimpi kelak ketika lulus dari MA Riyadlotut Thalabah Sedan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena keluarga belum dapat menyanggupi keinginan sederhana itu, maka besar harapan saya untuk bisa meneruskan jenjang pendidikan melalui jalur beasiswa.
Sejak lulus dari pendidikan SLTA, dengan penuh semangat saya mencari informasi mengenai beasiswa apapun. Atas bantuan bapak dan ibu guru, serta dukungan moral maupun spiritual dari orang tua, akhirnya saya disarankan untuk mendaftar kuliah di kampus manapun yang memberikan beasiswa. Hari demi hari saya jalani untuk mengikuti tes dengan harapan lulus dan bisa melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan. Berbagai macam program beasiswa sudah saya tempuh. Namun, Tuhan berkehendak lain, belum ada satupun program beasiswa yang menyatakan bahwa saya lulus selesksi.
Hampir rasanya diri ini berputus asa dan sempat terbesit dalam angan untuk memilih bekerja, membantu perekonomian keluarga. Dalam pikiran sempit saya saat itu, hanya lewat jalur beasiswa lah saya bisa melanjutkan pendidikan. Mengingat kondisi keluarga yang biasa-biasa saja, maka berat bagi saya untuk selalu membebani mereka.
Seiring berjalannya waktu, saya dapat kabar menggembirakan dari seorang teman dekat yang kebetulan lulusan satu almamater. Dia bercerita bahwa ada program beasiswa yang siap menerima siapapun asalkan punya niat yang tulus dan tekad sungguh-sungguh untuk kuliah. Saya masih sedikit ingat perkataannya yang kurang lebih seperti ini, “(Jare kuwe pengen kuliah, dijajal sek, sopo ngerti ketrimo, (Katanya kamu ingin kuliah, dicoba dulu, siapa tahu diterima)”.
Dia bercerita sedikit mengenai program beasiswa itu, bahwa nanti semua penerima beasiswa wajib tinggal di asrama dan kuliah di kampus IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang. Asrama itu bernama Monash Institute, sebuah lembaga perkaderan yang diasuh oleh Bapak Dr. Mohamad Nasih. Akhirnya, dengan keteguhan hati, saya memutuskan untuk mengikuti program beasiswa itu dengan segala syarat dan ketentuannya.
Singkat cerita, usai saya menjalani test seleksi beasiswa itu, maka tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja. Setelah beberapa hari menunggu, tiba saatnya kabar itu. Alhamdulillaah, kabar yang sangat menyejukkan hati, saya dan beberapa teman saya diyatakan lulus dan diminta segera datang ke Semarang keesokan hari. Segera saya mempersiapkan diri dan minta doa restu dari orang tua untuk pergi ke Semarang dengan niat kuliah. Harapan yang salama itu saya sematkan, sepertinya berbuah menjadi kenyataan.
Atas izin orang tua, pagi betul saya bergegas untuk kembali menuju Semarang. Berangkat bersama dua teman saya yang kebetulan lulusan satu almamater, dengan penampilan dan wajah yang sangat ndeso alias kampungan. Meski demikian, kami sedikit bangga dan menjalani dengan sangat senang sekali. Dalam benak hati, di sepanjang perjalanan saya selalu berkata, “Alhamdulillaah, akhirnya saya bisa kuliah”. Hehe
Beberapa jam kemudian, akhirnya sampai juga kami di Semarang. Saat itu, kami dijemput oleh salah satu seorang yang kebetulan dia juga penerima beasiswa. Sesampai di asrama, saya dan beberapa teman yang lain saling ngobrol santuy ke sana dan ke sini meskipun sekadar basa-basi. Satu sama lain saling perkenalan dan mencoba mengakrabkan diri. Hingga kemudian, satu sama lain sudah saling kenal, meskipun sekadar ingat nama. Karena tinggal di satu atap, tak lama kami sudah saling mengerti dan saling akrab.
Hidup di asarama Monash Institute bisa dikatakan layaknya tinggal di pondok pesantren pada umumnya. Meskipun saya belum pernah mondok, namun saya lahir di desa yang kebetulan dipenuhi dengan lingkungan pesantren, yaitu Desa Sedan, Kabupaten Rembang, yang sering dikenal kebanyakan orang sebagai “Kota Santri”, padahal desa. Karena itu, sedikit banyak saya sudah sering mengikuti kajian-kajian maupun tradisi yang dilakukan di pondok pesantren. Setidaknya saya lebih mudah untuk beradaptasi dengan atauran main dan kegiatan apapun yang ada di asrama.
Awal mula di asrama, saya dan teman-teman tidak langsung disambut oleh pengasuh asrama, yaitu Bapak Dr. Mohamad Nasih. Meskipun sebelumnya sudah sempat bertemu pada saat menjalani test seleksi. Di asrama, kami ditemani beberapa mentor, di antaranya Bapak Muhammad Abu Nadlir, Bapak Mansyur syarifuddin, Bapak Misbahul Ulum, Bapak Faedurrahman, juga Bapak Attabik Imam Zuhdi. Mereka itulah mentor generasi pertama, yang setiap hari selalu menemani dan membimbing kami.
Di antara agenda rutinitas, kami harus shalat wajib berjama’ah yang diimami oleh mereka secara bergantian. Kegiatan belajar mengajar kami dimulai dari selesai shalat maghrib hingga hampir tengah malam. Tidak berhenti di situ, kegiatan berlanjut kembali setelah jama’ah shubuh hingga terbit matahari. Ditambah lagi, siang hari kami masih belajar kajian-kajian berbagai keilmuan. Meskipun belum begitu mengerti dan mencoba terus memahami, saya secara pribadi merasa bersyukur dan beruntung sekali dipertemukan dengan orang-orang hebat, yang tidak pernah merasa capek dan bosan mengajarkan kami berbagai disiplin ilmu.
Selang beberapa hari kemudian, kurang lebih satu minggu, barulah kami bertemu dengan pengasuh asrama. Saya masih sedikit ingat, waktu itu tepatnya sore menjelang petang, ketika kami sedang berkumpul dengan para mentor, terdengar suara mobil yang masuk ke asrama. Seketika itu para mentor langsung bergegas menyambutnya. Dan ternyata yang datang adalah pengasuh kami, Bapak Dr. Mohamad Nasih.
Datang, duduk, salam, kemudian langsung menyampaikan pesan-pesan kepada kami tanpa ada sedikitpun basa-basi, tidak seperti para mentor atau mungkin selayaknya orang lain pada umumnya. Ketika bertemu dengan orang yang belum pernah dikenal, sewajarnya ada perkenalan atau forum tanya jawab. Namun pengasuh ini tidak. Batin saya, “Wong iki kok sombong temen cah, (Orang ini kok sombong sekali, ya)”.
Saat itu, dia tidak begitu lama berbicara dan terkesan buru-buru. Dia bercerita kalau baru pulang dari Jakarta, sesampai di rumah langsung naik mobil untuk mampir di asrama. Memang tak banyak dia berbicara, namun ada sedikit pesan yang masih saya ingat. Dia menyampaikan kesibukan kesehariannya hanya untuk belajar dan mengajar. Setiap pekan, dia bolak balik Jakarta-Semarang, tiada lain hanyalah untuk mengajar. Tidak sesekali, bahkan dia diundang untuk mengisi kajian keilmuan di lintas provinsi, meskipun tidak dibayar. Tak lama kemudian, dia menutup salam dan langsung pulang.
Guru Teladan
Setelah pertemuan pertama dengan Pak Nasih, sapaan kami (angkatan 2011 kepada Dr. Mohammad Nasih), saya belum bisa menangkap pesan itu. Yang ada bahkan kesan negatif terhadapnya. Mungkin karena saking polosnya, saya masih beranggapan kalau sikap dan cara dia ketika menyampaikan pesan-pesan itu, terlihat angkuh atau bahkan riya’. Pikir saya kala itu.
Tak lama setelah itu adzan maghrib berkumandang, tiba-tiba pengasuh datang kembali ke asrama. Kemudian meminta kami segera bersiap-siap untuk shalat jama’ah. Usai jamaah, dia langsung mengajar kitab Tafsir Jalalain. Dia mengajarkan tafsir jalalain yang dikemas dengan berbagai macam pemikiran. Kajian berlanjut kembali setelah jamaah Shubuh hingga batas jam yang tidak ditentukan.
Kajian-kajian tentang pemikiran keislaman, baik oleh ilmuan muslim maupun Barat selalu menjadi fokus pembelajaran kami ketika dia yang mengajar. Meskipun sesekali diselingi dengan disiplin keilmuan yang lain, seperti ilmu sosial politik, jurnalisitik, ekonomi, dan lain sebagainya. Yang jelas, setiap Pak Nasih di semarang, maka kegiatan apapun yang sudah dijadwalkan oleh para mentor, seringkali “dilibas” olehnya, demi mengajar kami. Ketika di asrama, kami benar-benar digembleng habis-habisan agar bisa memahami dan memahamkan berbagai ilmu yang sudah diajarkan, baik oleh pengasuh maupun para mentor.
Ketika mengajar, Pak Nasih seringkali bercerita tentang latar belakang dan masa lalunya, serta maksud dan tujuan melakukan semua kegiatan ini. Dari situ, kami bisa mengerti dan memahami betul tujuan visioner yang dia kehendaki. Hingga akhirnya, dugaan saya pertama kali mengenai sikapnya yang sombong itu luntur dengan sendirinya.
Tidak hanya sibuk di asrama, kami juga digiring untuk aktif dalam organisasi. Masuk kuliah di semester 1, kami sudah diperkenalkan dengan organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di HMI, kami tidak hanya didorong untuk sekadar aktif diskusi, namun harus bisa menjadi pengajar (Instruktur) di dalamnya.
Karena sudah terlalu asyik dan nyaman belajar dengan Pak Nasih dan juga para mentor, akhirnya kami lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan. Kami semakin semangat dan antusias saat belajar, baik ketika belajar di asrama maupun diskusi di HMI. Saya baru menyadari, itulah mengapa Pak Nasih dan para mentor begitu menikmati ketika mengajar kami. Meskipun tanpa dibayar sepeserpun. Tujuannya hanyalah agar kami bisa paham, lalu memahamkan yang lain dengan secara bergantian menerangkan materi yang sudah dipahami kepada kelompok-kelompok kecil yang dibuat.
Memasuki kuliah di semester 3, Monash Institute melakukan perekrutan mahasiswa baru, sehingga jumlah santri mulai bertambah lumayan banyak. Beberapa dari angkatan saya ada yang diamanahi untuk mengajar santri baru sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Sebagian dari kami juga sudah ada yang menjadi instruktur di HMI. Sehingga kesibukan kami harus dibagi dan di-manage sebaik mungkin sesuai dengan profesionalitas dan proporsionalitas. Itu semua juga salah satu yang menumbuhkan Pak Nasih sewaktu menjadi aktivis mahasiswa mengambil peran sebagai instruktur di HMI, sehingga jiwa pengkader itu benar-benar telah melekat.
Pak Nasih selalu berpesan kepada kami dengan berkata, “Jangan sesekali kalian mengaharap imbalan ketika mengajar, namun mengajarlah karena panggilan hati”. Pak Nasih selalu mewanti-mewanti agar para santrinya mengajar tidak berorientasi pada materi, namun untuk menjalankan misi profetik para rasul, yaitu mengajar. Saya masih ingat betul mengenai pesan beliau yang mengutip dari Hadits Nabi yakni, “Allim majjaanan kamaa ullimta majjaanan”, artinya bahwa mengajarlah dengan gratis, sebagaimana kamu diajar secara gartis.
Itulah salah satu pesan Pak Nasih tentang kaderisasi yang selalu saya ingat terus sampai saat ini. Dan mengapa Pak Nasih berusaha memaksimalkan waktu kapanpun dan dimanapun. Karena, baginya kaderisasi itu harga mati dan sudah tidak bisa ditawar lagi. Menurut Pak Nasih, mengajar itu jangan dijadikan sebagai profesi, namun jadikanlah sebagai hobbi. Agar ketika mengajar bisa menjadi lebih happy (bisa menikmati).
Tahun demi tahun, santri Monash Institute semakin bertambah. Hingga saat ini (hampir sepuluh tahun) jumlahnya sudah mencapai ratusan. Tidak hanya santri saja yang bertambah, tetapi lembaga pendidikan yang dikelola sudah berkembang luas dan berjenjang. Mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Tak hanya itu, soal tempat, Pak Nasih bersama santri-santrinya juga sudah mulai melebarkan sayap di berbagai kota. Termasuk di kota Rembang, kini sudah berjalan Pendidikan SMP, yang dinamai dengan istilah unik, yaitu “Sekolah Alam Planet Nufo”.
Semua yang dilakukan tiada lain untuk memberdayakan umat dan bangsa, hanya semata mencari ridla Allah Swt. Jalan yang dipilih oleh Mohammad Nasih adalah kaderisasi. Bung Hatta pernah menyatakan kaderisasi dalam kerangka kebangsaan sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam. Oleh sebab itu, kaderisasi tidak lain berfungsi untuk mempersiapkan calon-calon (embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi, termasuk negara.
Lalu apa signifikansi dari kaderisasi? Apakah perlu atau malah harus dilakukan? Dilihat dari penyataan Bung Hatta di atas, kaderisasi adalah keniscayaan. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, harus ada. Apalagi di tengah krisis kepemimpinan bangsa seperti sekarang ini, kaderisasi menjadi harga mati yang harus dibayar mahal, bahkan harus dengan akselerasi dan dijalankan secara super intensif. Pak Nasih melalui Monash Institute mengambil peran kaderisasi itu dengan membangun sistem yang benar-benar memberdayakan, bukan memperdayakan.
Pak Nasih sebelumnya pernah memulai kaderisasi dengan memberikan beasiswa untuk anak-anak yang sedang menempuh pendidikan SMA, tetapi mendapatkan hasil yang tidak menggembirakan. Karena itu, Pak Nasih melakukan kaderisasi pada jenjang perguruan tinggi, dengan asumsi bahwa mahasiswa telah memiliki kerangka logika yang cukup untuk diajak berpikir dan bertindak, agar proses kaderisasi berjalan seimbang. Sebab, kaderisasi tidak melulu doktriner, tetapi bagaimana mengupayakan pikiran-pikiran rasional masuk ke dalam benak yang dikader, sehingga menggerakkan mereka.
Kader-kader itu harus memiliki kerangka berpikir yang jauh lebih besar di masa depan. Ini sesuai dengan definisi kader menurut AS. Hornby dalam kamus Oxford Advanced Learners Dictionary, yakni sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. Dengan demikian, cara yang ditempuh harus benar-benar intensif, masif, dan revolusioner.
Pak Nasih sering menjelaskan, kaderisasi berasal dari kata cadre, berarti bingkai, kerangka, atau figura. Maka kader bisa juga disebut sebagai figur yang menjadi representasi sebuah organisasi. Kaderisasi, karena itu, adalah proses untuk menjadikan anggota organisasi kerangka yang berfungsi untuk menjaga agar para anggota yang belum sampai pada status kader tetap bisa berpikir, bersikap, dan berperilaku lurus atau tegak, tidak bengkok seperti kertas tipis yang berada di dalam bingkai apabila dikeluarkan dan dilepaskan darinya. Anggota yang selalu dijaga dengan pembinaan yang benar, akan terhindar dari infiltrasi paradigma dan ideologi yang sesat dan menyesatkan.
Proses kaderisasi itu akan terus berlanjut tanpa ada batasnya. Kader yang sudah siap “tempur” harus menjalankan tugas mengkader para calon kader selanjutnya untuk sampai memeliki kualitas sebagaimana dirinya, sokor-sokor bisa melampauinya. Dengan kata lain, kader yang sudah berdaya harus memberdayakan generasi berikutnya sampai berdaya. Semua itu diatur secara sistematis dan kerkala. Demikian terus berlanjut sampai kekuatan tidak berada pada diri seorang kader, alias kader itu telah mati. Inilah yang kemudian disebut sebagai “long life caderization”.
Benar memang, kaderisasi tidak boleh berhenti. Besar harapan Pak Nasih, agar para santrinya bisa ikut berjuang bersamanya untuk membesarkan Monash Institute dengan program kaderisasi super intensifnya. Lebih-lebih, kaderisasi yang diterapkan itu ditiru oleh orang lain dan dibangun di setiap daerah di seluruh Indonesia, demi kemajuan umat dan bangsa. Semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan, kenikmatan, dan perlindungan kepada kita semua. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Muhlisin Lahuddin, Disciple 2011 dan Presiden II Monash Institute, Ketua PW GPII Jawa Tengah
Editor: Anzor Azhiev