TANAM BELASAN RIBU POHON KELOR UNTUK MAKANAN HARIAN DI PLANET NUFO

Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon, atau lebih dikenal dengan Planet NUFO, Mlagen, Rembang terus menunjukkan diri sebagai lembaga pendidikan yang di samping menekankan prinsip berbasis al-Qur’an dan hadits, juga sains dan teknologi. Itu diwujudkan dengan membangun pola makan yang sesuai dengan anjuran al-Qur’an, yaitu memakan makanan yang tidak hanya halal, tetapi juga thayyib. Thayyib dipahami secara saintifik mengandung gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehingga bisa menunjang kesehatan jasmani dan rohani. Dengan mangonsumsi makanan yang halal dan thayyib ini, diharapkan para santri akan menjadi SDM yang sehat dan juga cerdas, sehingga menjadi muslim intelektual profesional.

Karena itulah, Pengasuh Planet NUFO menggalakkan penanaman pohon kelor yang kini dikenal sebagai pohon dengan kandungan nutrisi yang sangat menakjubkan. Planet NUFO kini memiliki belasan ribu pohon kelor yang setiap hari bisa dipanen dan dijadikan sebagai makanan harian untuk para pendidik dan santri-murid Planet NUFO. Jangan heran kalau setiap hari pasti aktivitas bergelut dengan daun kelor. Ada santri yang bertugas untuk memanen dari kebun, ada yang memisahkan daun dari tangkainya sambil simaan al-Qur’an, dan kemudian baru diserahkan kepada petuga dapur untuk dimasak sesuai dengan menu yang telah ditentukan.

Berikut ini wawancara baladena.id dengan Pengasuh Planet NUFO, Dr. Mohammad Nasih, M.Si. yang juga dosen di FISIP UMJ, Jakarta. Berikut petikan wawancara dengan pria lima anak yang akrab disapa oleh para santrinya dengan Abah Nasih atau Abana:

Baladena.id: “Abah Nasih, ada apa lagi ini, sehingga para santri diajak menanam dan makan daun kelor?”

Bacaan Lainnya

Abana: “Hanya sekedar menjalankan prinsip-prinsip yang dianut oleh Planet NUFO. Kami ingin hidup sesuai dengan panduan al-Qur’an, memenuhi kebutuhan kami dengan hasil kerja tangan sendiri, dan memastikan sesuai dengan data saintifik. Hubungannya dengan daun kelor adalah al-Qur’an memerintahkan kita untuk makan yang tidak hanya halal, tetapi juga thayyib. Petunjuk al-Qur’an ini sungguh sangat penting untuk kita jalankan. Kualitas hidup kita ini sangat ditentukan oleh makanan. Kualitas hidup kita ternyata sangat ditentukan oleh asupan makanan kita. Dan itu tidak instan. Ada rentetan panjang, bahkan dimulai sejak sebelum pembuahan.”

Baladena: “Kelor ini mengandung gizi tinggi ya?”

Abana: “Berdasarkan berbagai riset, ternyata demikian. Nah, sejak awal mendirikan Planet NUFO ini, saya ingin agar para santri memelihara kambing, sapi, dan hewan ternak lain yang bisa digunakan sebagai sumber asupan gizi mereka secara mandiri. Namun, tidak semuanya berhasil. Kami harus akui belum bisa memenuhi kebutuhan daging dan susu sendiri. Tapi ternyata kelor bisa digunakan sebagai pengganti karena mengandung nutrisi yang terdapat dalam daging dan susu. Bahkan lebih tinggi. Setelah kami menanamnya, ternyata bisa tumbuh dengan sangat baik, bahkan melebihi ekspektasi saya.”

Baladena: “Sekarang sudah menanam berapa pohon kelor?”

Abana: “Belum banyak. Baru belasan ribu saja. Di belakang Planet NUFO kira-kira ada 6000-an. Di dua lahan lagi ada jumlah yang sama. Dan semuanya sudah mulai dipanen dan digunakan untuk bahan makanan para santri, terutama untuk mengganti sayuran yang tidak bisa kami produksi sendiri, seperti kol, brokoli, dan sawi.”

Baladena: “Memang santrinya berapa kok menanam sampai belasan ribu pohon kelor?”

Abana: “Santri sih belum banyak. Baru hampir 200 anak. Kalau diasumsikan setiap orang perlu satu pohon per hari, dan satu bulan kemudian sudah bisa dipetik lagi, maka diperlukan kurang lebih 6000 pohon. Hanya kira-kira separuh saja dari pohon yang ada. Nah, itu saya sengaja agar anak-anak bisa latihan berwirausaha. Saya ingin mereka mengolahnya menjadi produk-produk turunan seperti teh, bubuk kelor, dan lain-lain. Semua produk itu bisa dijual, sehingga menghasilkan uang untuk pemasukan pesantren dan juga pribadi santri yang terlibat dalam usaha di sektor kelor ini”.

Baladena: “Apa aktivitas ini tidak mengganggu proses belajar mereka?”

Abana: “Ini adalah bagian dari proses belajar juga. Kalau kita memahami sejarah hidup Nabi kita, Nabi Muhammad saw., maka kita akan tahu bahwa Nabi Muhammad sejak kecil sudah diajari untuk memiliki keterampilan, mulai dari menggembala domba sampai berdagang ke luar negeri. Ini yang tidak ada dalam lembaga pendidikan kita. Karena itu, pesantren dan sekolah alam ini saya pilih sebagai konsep lembaga pendidikan yang kami dirikan, agar anak-anak tidak hanya belajar al-Qur’an, sains dan teknologi, tetapi juga berwirausaha. Sebab, sains dan teknologi pada dasarnya juga bertujuan untuk membuat hidup manusia menjadi lebih mudah. Dan berbagai macam bentuk wirausaha ini sesungguhnya memanfaatkan waktu mereka yang biasanya digunakan untuk bermain. Kalau ini bisa dinikmati anak-anak, semua seperti bermain saja. Jadi tidak ada yang terganggu sama sekali. Bermain, tapi dapat duit. Ketrampilan hidup mereka meningkat, dan bisa jadi bekal hidup nyata nanti setelah lulus dari pesantren.”

Baladena: “Setiap hari makan daun kelor, apa mereka tidak bosan?”

Abana: “Kalau bentuknya hanya daun kelor saja, kemungkinan besar bosan lah ya. Karena itu, saya minta para guru atau ustadz/ah mengadakan lomba kreativitas membuat menu berbahan dasar daun kelor. Sekarang ini kan semua serba mudah. Tinggal dicari di internet. Tutorialnya ada di youtube. Kembali lagi mereka mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru. Dan mereka saya lihat melakukannya dengan sangat seru.”

Baladena: “Apa ada rencana lebih besar lagi dengan kelor ini?”

Abana: “Sejak awal, saya mengajak para santri senior untuk menjadikan usaha kelor ini bahan ekspor. Sebab, kami sudah mendapatkan cukup banyak informasi bahkan kebutuhan kelor di berbagai negara di Eropa sangat besar. Ada salah satu santri senior yang memiliki pengalaman ekspor tepung ketela. Maka anak-anak juga optimis, kelor ini akan bisa mereka ekspor juga. Ini akan menjadi jalan bagi para santri untuk tidak hanya berilmu, tetapi juga berharta; agar mereka menjadi pribadi yang mandiri secara intelektual dan finansial.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *