Metode pemerintah yang itu diikuti oleh NU dan PERSIS adalah Imkanur Rukyat. Sedangkan Wujudul Hilal adalah metode yang digunakan Muhammadiyah. Keduanya tidak ada yang keliru karena memiliki argumentasi yang berdasarkan nash dan masuk akal.
Kekeliruan itu justru terjadi apabila penganut imkanur rukyat merasa bahwa metodenyalah yang benar-benar mengikuti anjuran nabi. Sebab, berdasarkan hadis yang beredar, Rasulullah Saw memerintah untuk melihat (rukyat) dalam menentukan pergantian bulan.
Padahal, metode wujudul hilal juga tetap berdasarkan kepada nash, hanya saja punya tafsir yang berbeda. Adanya dorongan Alquran untuk menghitung peredaran Matahari dan Bulan (Ar-Rahman: 5) dan kondisi zaman Nabi yang ummy dengan perkembangan teknologi yang juga minim menjadikan alasan wujudul hilal juga masuk akal.
Penganut wujudul hilal pun bisa keliru apabila seolah menganggap kalangannya lah yang tepat secara sains. Memang, peredaran benda langit terbukti bisa dihitung dengan tepat. Waktu terjadi konjungsi dan data posisi hilal, apakah sudah berada di atas ufuk, itu sudah bisa diketahui dari jauh-jauh hari.
Bulan sabit yang muncul setelah konjungsi dan sudah berada di atas ufuk pada waktu Magrib walaupun tingginya belum 3 derajat dijadikanlah sebagai kriteria wujudul hilal. Tapi masalahnya, apakah itu tanda masuknya awal bulan hijriah? (Pahami kata “bulan” yang tanpa huruf kapital di awal kata dalam makna bulan yang ada di kalender, bukan Bulan yang sebagai satelit Bumi).
Perlu diingat bahwa penentuan angka, jam dan hari itu merupakan penamaan dari kesepakatan kelompok saja yang mungkin jarang disadari karena sudah terulang dan terlembaga dalam kurun waktu yang lama. Pemahaman asal usul Bahasa (secara teologis, naturalis, konvesional) dan sejarah waktu (baik penentuan angka, jam, hari dan bulan) harusnya bisa memahami maksud penulis.
Tahukah bahwa jumlah hari dalam setiap kelompok itu dulunya berbeda, ada yang tujuh hari, ada yang 10 hari. Tahukah bahwa, sebelum ada angka 0 sampai 9 itu ada banyak simbol lainnya juga yang dijadikan sebagai alat hitung. Taukah bahwa ada angka 1-12 dalam jam itu dilatarbelakangi oleh tiga garis tangan yang ada pada manusia?
Taukah bahwa 12 bulan dalam kalender masehi itu dulunya hanya 10 bulan saja, nama-nama bulan dan hari diambil dari nama-nama dewa? Sementara nama-nama hari di Indonesia itu 4 hari diambil dari angka yang diarabkan, 2 hari didapat dari pengenalan langsung melalul Alquran dan 1 dari Bahasa Portugis
Alam tidak pernah mengatur penamaan waktu manusia. Waktu memang akan terus berjalan maju, tetapi kentuan waktu dalam keseharian manusia itu ditentukan sendiri oleh manusia. Ketentuan awal bulan hijriah itu murni dari semangat intelektual muslim untuk menghasilkan kalender umat Islam yang berdasarkan tuntunan syariat.
Problemnya, syariat menyampaikan bahwa hilal merupakan pertanda waktu, tetapi tidak mengatur secara jelas berapa derajat yang harus dijadikan patokan. Apabila hilal dipahami sebagai bulan sabit, maka hari kedua pun dapat dikatakan sebagai bulan sabit. Disinilah, anjuran Rasul “berpuasalah dan berbukalah saat melihat hilal..” itu menjadi pembatasnya.
Metode pemerintah yang diterapkan saat ini bukanlah metode yang diambil karena kepenting kelompok tertentu saja. Imkanur rukyat bukan metode rukyatul hilal. Penyebutan metode ini memang lebih cocok dikenalkan dengan nama Hisab Imkanur Rukyat agar tidak terjadi kesalapahaman atau rasa iri salah satu kelompok.
Metode imkanur rukyat adalah hasil ijtihad pemerintah untuk menjembatani kelompok hisab dan rukyat. Hisab dilakukan untuk menghitung waktu ijtimak dan posisi hilal saat terbenamnya Matahari. Sementara Rukyat dijadikan sebagai verifikator dan keyakinan penentuan awal bulan.
Tidak hanya itu, kriteria Hisab Imkanur Rukyat saat ini (Neo-MABIMS), yakni tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6.4 derajat itu tidak bisa dipisahkan dari metode hisab dan rukyat. Tinggi hilal di bawah 3 derajat masih sangat tipis untuk dilihat. Sementara sudut elongasi 6.4 derajat didapatkan dari jarak terdekat hilal yang memungkinkan wujudnya tidak terganggu dengan cahaya syafaq.
Oleh sebab itu, dengan asumsi bahwa Hisab Wujudul Hilal dan Hisab Imkanur Rukyat sudah sesuai dengan anjuran syariat, maka penulis lebih condong untuk memilih hisab imkanur rukyat sebagai penentuan awal bulan hijriah. Asas kemaslahatan menjadi pertimbangan tambahan penulis. Metode Hisab Imkanur Rukyat tidak menafikan bahwa di Indonesia ada kelompok hisab dan juga rukyat yang keduanya memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara syariat.
Oleh: Kodrat Alamasyah, Ketua Asosiasi Falak Mahasiswa Islam (AFMI) 2018-2019