Kaderisasi Berbasis Al-Qur’an Dan Sunnah

Baladena.DI/Istimewa

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Kaderisasi membutuhkan ideologi yang jelas dan tegas. Ideologi itulah yang akan menjadi pembeda dibandingkan komunitas atau kelompok lain, bahkan dalam aksi yang secara kasat mata sama. Di dalam ideologi ada orientasi, motivasi, dan juga spirit yang membuat orang bersedia mengorbankan apa saja, termasuk harta dan juga jiwa, demi mewujudkannya.

Namun, jika ideologi itu buatan manusia belaka, maka akan terdapat banyak sekali celah-celah kelemahan. Sebab, dalam perspektif manusia dengan cerapan panca indera yang terbatas, pun dengan akal yang memberikan pandangan yang berbeda-beda bahkan bertentangan, bisa melahirkan ideologi yang sangat beragam. Karena itulah, diperlukan ilmu pengetahuan dari Yang Maha Tahu. Allah telah memberikan ilmu pengetahuan itu melalui para rasulNya. Dan petunjuknya yang paripurna ada dalam Islam dengan sumber al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw..

Dalam dua sumber itu, di antara ajaran Islam ditegaskan dalam bentuk ketetapan yang jelas (al-kitab al-mubin). Bahkan, al-Qur’an dalam beberapa redaksi dan gaya yang sangat tegas memberikan tekanan bahwa sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulNya harus dijalankan dengan sepenuh ketundukan, tidak boleh ada pilihan lain. Jika manusia tidak mengikutinya, maka konsekuensinya akan ditanggung sendiri.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab: 36)

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (al-Hasyr: 7)

Dengan menerima apa pun keputusan Allah, mengimaninya dengan sepenuh hati sebagai kebenaran yang akan mendatangkan kebaikan untuk kehidupan manusia dan akhirat, maka persengketaan tidak akan terjadi. Sebab, dengan ketetapan dari Allah, segala persoalan menjadi jelas dan pasti jawabannya. Allah memberikan ketetapan, agar manusia terhindar dari segala tindakan yang sia-sia, padahal telah menyebabkan waktu, tenaga, dan pikiran terbuang. Lebih dari itu, persengketaan itu bisa menyebabkan permusuhan yang menyebabkan kekuatan menjadi lemah.

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (al-Anfal: 46)

Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (al-Nur: 54)

Maksud menjadikan al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai basis kaderisasi adalah segala ajaran keduanya dijadikan sebagai kerangka berpikir, berperilaku, sampai menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad pun, sampai kemudian memiliki kebiasaan atau sunnah yang Qur’ani karena beliau selalu menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt.. Istrinya, Aisyah, ketika ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad, menjawab sebagaimana dinyatakan al-Qur’an bahwa akhlaknya adalah al-Qur’an.

Kebiasaan yang kemudian jadi peradaban unggul yang melampaui zamannya itulah yang dibangun oleh Nabi dengan cara membangun jama’ah. Dengan hidup bersama sahabat, melakukan berbagai aktivitas, baik terutama yang rutin maupun yang insidentil, Nabi Muhammad membangun karakter mereka. Karena itulah, lahir pemimpin-pemimpin handal setelahnya. Setidaknya empat khalifah yang pertama, katena kualitas mereka, disebabkan oleh bimbingan langsung Nabi, mereka mendapat predikat sebagai khulafa’ al-rasyidin.

Untuk bisa mengikuti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad itu, maka yang dijadikan sebagai materi utama kaderisasi adalah:

Pertama, membaca al-Qur’an. Al-Qur’an, sebagaimana arti literalnya bacaan, memang menginginkan untuk dibaca. Sebab, diantara kemukjizatan al-Qur’an akan terasa jika ia dibaca dengan benar. Bahasa sastranya yang sangat tinggi akan sangat menggetarkan jika ia dibaca sesuai dengan cara orang Arab yang fasih dalam membacanya.

Kedua, memahami makna literalnya. Bagi orang non-Arab, untuk bisa memahami makna literal ayat al-Qur’an tentu harus ada upaya tersendiri. Tidak seperti orang Arab yang sehari-hari telah menggunakan bahasa Arab, muslim non Arab tentu saja harus menjalani usaha khusus agar bisa menerjemahkan al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab dengan gaya sastra yang luar biasa indahnya.

Ketiga, menghafalkan al-Qur’an. Dalam disiplin keilmuan Islam, menghafalkan al-Qur’an adalah sebuah prasyarat utama. Sebab, hanya dengan apabila seluruh ayat al-Qur’an berada di dalam dada, maka menjadi memungkinkan untuk melakukan yang berikutnya:

Keempat, merenungkan (tadabbur) al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an perlu direnungkan secara mendalam, karena banyak sekali ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipahami secara mandiri, apalagi hanya sepenggal. Kadang sebuah ayat memerlukan untuk dipahami dengan menggunakan ayat atau ayat lain. Kadangkala ayat al-Qur’an baru bisa dipahami dengan melibatkan hadits Nabi. Maka dalam konteks ini, menghafalkan hadits Nabi Muhammad juga menjadi hal sangat penting.

Bahkan seringkali untuk memahami ayat al-Qur’an atau hadits Nabi, memerlukan konteks yang menyebabkan ayat turun (asbab al-nuzul) atau sebuah hadits hadir (asbab al-wurud). Dengan perenungan yang mendalam, maka pemahaman yang benar bisa diupayakan.

Kelima, mengamalkan al-Qur’an. Al-Qur’an dan juga hadits Nabi bukanlah japa mantra sebagaimana anggapan sebagian orang. Keduanya merupakan ajaran yang harus dilaksanakan dalam praktik kehidupan, bahkan sampai menjadi kebiasaan. Dengan pemahaman yang benar kepada keduanya, maka praktiknya dalam kehidupan juga akan mengarahkan kepada kebaikan.

Keenam, mengajarkan al-Qur’an dan hadits. Rasulullah bahkan menekankan tentang ini dengan berbagai ungkapan yang sangat memotivasi, di antaranya “Sampaikan dariku walaupun satu ayat” dan “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Jika keenam hal itu telah dilakukan dalam proses kaderisasi, maka para kader dari proses kaderisasi ini bisa diharapkan untuk menjadi orang-orang yang menjalankan peran yang bisa dikatakan sebagai yang terbesar dalam kehidupan karena bisa mempengaruhi seluruh warga negara, yaitu memperjuangkan ajaran Islam agar mewarnai setiap kebijakan politik kenegaraan.

Menjadikan al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai basis kaderisasi, sesungguhnya secata otomatis juga menjadikan keduanya sebagai penangkal bagi paradigma-paradigma lain yang sesat dan menyesatkan. Karena itu, para kader dilatih untuk memiliki sikap kritis untuk tidak memberikan celah sempit sekalipun bagi paradigma yang secara sepintas menarik padahal sesungguhnya menyesatkan. Kader yang diharapkan dalam konteks ini haruslah memiliki kapasitas lengkap, tidak hanya muslim, tetapi harus muslim intelektual profesional. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *