Guru, Mata Air, dan Air Mata

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah MONASH INSTITUTE, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ

Di antara tugas paling dasar dalam kehidupan ini adalah mendidik. Al-Ghazali secara tidak langsung menempatkan pendidik pada posisi tertinggi dalam stratifikasi manusia hubungannya dengan ilmu. Ia menyebutnya sebagai “rajulun yadrii wa yadrii annahuu yadrii, orang yang tahu dan tahu nahwa dia tahu”. Karena dia sadar bahwa dirinya tahu, maka kemudian terpanggil untuk mengajarkan. Aktivitas mendidik dimulai dengan transfer pengetahuan yang biasanya lebih dipahami sebagai mengajarkan dilanjutkan juga dengan nilai. Maka terbangunlah konsepsi pendidikan sebagai tak hanya transfer pengetahuan, tetapi juga nilai.

Proses itulah yang dilakukan oleh Allah kepada Adam. Setelah Allah menciptakan Adam yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah mengajarkan kepadanya nama-nama, seluruhnya (al-Baqarah: 31). Dalam tahap berikutnya, agar manusia tetap hidup sesuai dengan keinginan Allah, maka Allah kemudian memberikan berbagai ketetapan yang harus dijalankan. Dalam tahap kehidupan manusia selanjutnya, Allah juga mengutus para Rasul untuk menyampaikan firmanNya.

Dalam bahasa Yunani, firman itulah logos yang biasanya dimaknai dengan ilmu. Firman, karena itu, sesungguhnya adalah ilmu yang berasal dari Allah untuk membuat manusia yang tidak tahu menjadi tahu. Pengetahuan kepada nilai membuat manusia menjadi mungkin untuk menjalankan segala ketentuan Allah. Sayangnya, ilmu pengetahuan, dalam sebagian perspektif, menjadi bersifat sekularistik. Paradigma yang dikembangkan hanya sebatas yang positivistik.

Para utusan Allah sebagai penyampai risalah kepada ummatnya sejatinya adalah “guru pertama”. Para rasul menyampaikan ajaran yang merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui wahyu. Para ilmuan (baca: ulama’) mendapatkan sebutan sebagai waratsat al-anbiya’ (para ahli waris para nabi). Yang menjadi warisan, tentu saja bukan harta kekayaan yang bersifat material. Sebab, sebagian rasul bahkan wafat dalam keadaaan tanpa harta warisan. Di antaranya Nabi Muhammad, wafat dalam keadaan baju perangnya masih tergadai pada seorang Yahudi. Warisan itu berupa ilmu pengetahuan yang menjadi jalan hidup (way of life) yang bisa menjadi koridor untuk sampai kembali kepada Allah.

Menjadi guru, karena itu, sesungguhnya adalah memilih untuk menapaki jalan kenabian (profetik). Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, seorang guru ibarat mata air yang selalu mengeluarkan dan mengalirkan air yang jernih, segar, menyegarkan, suci, dan menyucikan. Bukan hanya fisik, tetapi bahkan yang utama adalah menyegarkan dan menyucikan jiwa agar bisa sampai kepada pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.

Karena itulah, guru memiliki tugas yang tidak ringan, bahkan bisa dikatakan sangat berat dan paling berat. Ia harus menjadi pribadi yang tidak pernah kering sebagai mata air ilmu pengetahuan. Dan cara untuk selalu memancarkan ilmu pengetahuan baru dan kontekstual adalah dengan terus merenungkan firman Allah yang di antara hal yang sangat ditekankan adalah akan adanya tuntutan pertanggungjawaban indera-indera yang telah dianugerakahkan, akal budi yang menjadi kekhasan, dan memikirkan penciptaan alam semesta. Semua itu akan ditanyakan di hari pembalasan.

Lebih dari itu, seorang guru, harus menjadi rujukan keteladanan dalam perilaku dalam kehidupan keseharian. Karena itulah, muncul akronim guru dalam bahasa Jawa sebagai yang bisa “digugu (dipercaya omongan) dan ditiru (dicontoh)” dalam moralitas, etika, integritas, dan secara keseluruhan adalah karakter (akhlak). Jika yang dijadikan sebagai guru pertama atau rujukan utama dan paripurna adalah Nabi Muhammad, maka karakternya adalah al-Qur’an. Dan al-Qur’an itulah sumber ilmu pengetahuan yang jika dituliskan dengan tintas sebanyak air laut yang dilipatgandakan pun tidak akan selesai (al-Kahfi: 109).

Sebagai tugas kenabian, tentu saja idealnya menjadi guru bukanlah profesi untuk mendapatkan gaji. Namun, seorang guru juga bukan seorang dengan kemampuan yang jauh di atas rata-rata dengan kompetensi multi. Karena itu, tugas kenabian itu memerlukan topangan agar bisa berjalan dengan baik, dengan guru tidak menjadi pihak yang meminta belas kasihan untuk mendapatkan gaji, bahkan sekedar berharap gaji pun jangan sampai terlintas. Namun, kehidupan mereka juga tercukupi dengan baik, agar bisa fokus melakukan pengajaran dan pendidikan.

Dalam konteks kehidupan bernegara, yang di dalam konstitusinya terdapat kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, negara memiliki kewajiban untuk melahirkan guru-guru dengan kualitas terbaik. Negara harus membangun sistem yang bisa membuat banyak generasi muda dengan kualitas terbaik terpanggil untuk menjadi guru-guru yang bisa menjadi mata air yang tak pernah kering. Menjalani kehidupan sebagai guru harus menjadi sesuatu yang membahagiakan.

Di antara caranya adalah memberikan jaminan kepada mereka kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di antara contoh penguasa yang sangat terkenal dalam menyokong kaum berilmu adalah al-Ma’mun, salah satu khalifah pada Dawlah Abbsiyah yang berkuasa pada 813-833. Karena kebijakan politik yang sangat progresif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, eranya dikenal sebagai era puncak kejayaan ummat Islam.

Kebijakan memuliakan kaum berilmu sangat perlu, karena sebagian orang hanya memiliki kecerdasan yang spesifik saja. Mereka kaya ilmu pengetahuan, tetapi tidak pandai untuk mendapatkan uang. Bahkan di antaranya malu jika terlihat sebagai orang yang seolah memperdagangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Namun, secara realistis mereka harus juga menjalani kehidupan normal yang harus ditopang dengan kecukupan materi.

Bukan untuk bermewah-mewah, tetapi cukup sekedar memenuhi yang memang diperlukan. Dengan kebijakan penguasa yang tepat, para guru akan terus menjadi mata air yang senantiasa jernih. Mereka tidak akan pernah mengalirkan air mata ketakutan dan kesedihan untuk menghadapi masa depan, karena sudah ada negara yang bisa diandalkan.

Tonton Do’a Abah Nasih dalam Acara Resepsi Ulang Tahun KAHMI ke-47

Jika pun para guru keluar air mata, itu adalah air mata yang mengalir saat mereka mendo’akan anak-anak didik mereka, agar menjadi manusia yang memiliki manfaat optimal. Sebab, seorang guru yang sejati, tidak hanya mengandalkan usaha pendidikan yang telah dilakukan untuk melahirkan murid-murid yang cemerlang, tetapi juga permohonan kepada Sang Pemilik ilmu pengetahuan agar berkenan membuka tabir penghalang pada pikiran para murid dan juga diri sendiri.

Dengan jalan itulah, guru bisa mengoptimalkan segala potensi yang ada pada diri murid dan juga diri sendiri. Mereka akan bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dengan metode yang lengkap, baik bayani, burhani, maupun juga ‘irfani. Dengan metode yang lengkap itu, yang terbangun adalah juga pribadi dengan paradigma dan keterampilan hidup yang juga lengkap. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *