Polemik Kosmetik: Halal atau Dihalalkan

Dewasa ini kita sering mendengar istilah Halal lifestyle atau gaya hidup halal. Gaya hidup adalah suatu hal yang menunjukkan bagaimana cara hidup, bekerja dan bertingkah laku seseorang dalam setiap harinya. Sedangkan halal diartikan sebagai hal yang dibolehkan dan sah menurut hukum Islam. Halal  bukan hanya seputar makanan atau minuman tetapi juga merefleksikan semua aspek dalam hidup kita. Dapat disimpulkan bahwa halal lifestyle  adalah pola hidup seseorang mulai dari makan, minum hingga segala aktifitanya tidak menggar hukum Islam.

Halal lifestyle saat ini tengah menjadi tren global. Negara-negara di berbagai belahan dunia tengah berupaya menerapkan system halal lifestyle dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat fenomena menarik, ternyata yang berupaya menerapkan halal lifestyle tidak hanya dari kalangan Negara Muslim saja. Tetapi Negara-negara yang berpenduduk mayoritas non Muslim  juga tengah berupaya menerapkan halal lifestyle dalam kehidupan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa dunia merespon positif terhadap suatu sistem yang berbasis syariat Islam. Semakin berkembangnya halal lifestyle di dunia, maka penerimaan dunia terhadap Islam diperkirakan semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penganutnya. Data dari The Future of World Religions and PEW Research Center (2017) memperkirakan Islam mengalami peningkatan jumlah penganutnya pada tahun 2050 menjadi sekitar 2,7 miliar.

Berkembangnya halal lifestyle di dunia ini membuka peluang besar bagi perkembangan industri terkait. Selain itu, semakin bertambahnya jumlah muslim di dunia juga memberikan peluang pasar lebih besar bagi pelaku usaha atau industri untuk menyambut tren gaya hidup halal. “Diperkirakan tahun 2019 makanan halal bernilai US 2,357 milyar atau 21% dari pengeluaran global. Pasar kosmetik halal bisa mencapai US 73 miliar atau 6,78% dari pengeluaran global syariah,” kata Nurhayati, dalam Focus Group Discussion Halal Toursm and Lifestyle di Jakarta Convention Center, Selasa (12/5).

Dalam hal tren gaya hidup halal, pemerintah mengatur melalui Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal. Melalui undang-undang ini pemerintah menjamin kehalalan produk agar warga negaranya yang mayoritas muslim bisa beribadah dan menjalankan ajaran agamanya. Indikator jaminan kehalalan suatu produk adalah sertifikat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Setiap produk/jasa berhak untuk mengajukan pengakuan sertifikasi halal. Produk/jasa yang dimaksud adalah barang dan/jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pernahkah kita mempertanyakan, apakah kosmetik yang kita pakai setiap harinya tergolong halal? Jika tidak halal, apakah kita akan menggantinya dengan yang halal? Perkara halal pada akhirnya menjadi keharusan bagi setiap Muslim, seiring dengan kesadaran beragama pada diri seorang Muslim guna menjalankan syariat sesuai agama Islam.

Mulai dari pakaian, makanan, jilbab, sampai pada kosmetik yang lengkap dengan label bahkan sertifikat halal seolah penanda bagaimana konsep halal mulai dijadikan patokan oleh masyarakat. Memilih kosmetik misalnya, tak ayal setiap perempuan akan memikirkan bagaimana bedak dan foundation yang disapukan ke wajah tentu harus terlindung sekaligus melindungi, mengandung bahan alami, serta tidak merujuk pada bahan penyusun yang dianggap haram.

Lengkap dengan tagline untuk menegaskan kehalalan suatu produk, sebut saja iklan pada salah satu brand kosmetik turut mempresentasikan visual dari sejumlah endorser melalui artis pendukung yang tampil secara muslimah. Seolah memunculkan indikator bahwa seorang muslimah dapat dan harus tampil secara cantik, mampu memilih dan menggunakan make up, lalu syaratnya adalah dengan make up yang halal.

Suka atau tidak suka, konstruksi ini yang secara nyata muncul untuk membuat sebuah iklan kosmetik berlabel halal menjadi memiliki kekuatan untuk pasaran konsumen yang dituju. Terlebih, terdapat salah satu brand yang mendapuk dirinya sebagai brand kosmetik halal tahun 2019 dan cukup memiliki posisi kuat dalam pasaran kosmetik di Indonesia.

Merujuk pada konsep halal sebuah kosmetik tentu sebenarnya ini sah-sah saja. Mengapa demikian? Jika yang disasar adalah mayoritas muslimah guna mempertahankan brand awareness atas segmentasi iklan para muslimah tersebut, tentu ini sah untuk sebuah rivalitas pada sejumlah produk kosmetik. Namun muncul lagi pertanyaan, apakah pelebelan halal pada merek-merek kosmetik dapat menjamin bahwa kosmetik tersebut benar-benar halal? Bisa saja pelebelan halal pada kosmetik hanya untuk menarik pembeli.

Pasar memungkinkan adanya persaingan antar brand sejenis guna berlomba untuk menawarkan produknya agar dikenal masyarakat. Syukur-syukur, masyarakat perhatian, tertarik, berekspektasi, dan pada akhirnya beraksi untuk membeli.

Namun demikian, makna awal yang disampaikan kepada masyarakat tentu tidak sejauh untuk sampai pada bagaimana kuasa iklan bekerja. Masyarakat tak terlalu peduli dengan apakah iklan yang disampaikan memuat wacana tersendiri atas pesan yang disampaikan, atau justru mengandung maksud tertentu di luar hanya sekedar informasi yang menghibur dan informatif.

Konsumen dalam hal ini cenderung dan cukup hanya sebatas tertarik serta berminat pada suatu merek barang tertentu dan lalu membelinya. Perkara puas atau tidak, itu urusan belakangan. Sesederhana bahwa masyarakat memilih barang atas pengaruh bahasa persuasi dalam promosi iklan, yang mana dalam hal ini, konsep dan istilah “halal” menjadi bumbu pemanis yang ada di dalamnya, namun justru menjadi pemikat minat yang luar biasa.

Perkara kosmetik identik dengan perempuan dan muslimah. Dengan jenis ataupun merek apapun, konsep halal yang tersemat dalam produk kosmetik pada akhirnya menjadi sebuah pemakluman yang justru mengukuhkan kekuatan produk di mata masyarakat. Sebagai konsumen yang baik kita harus tahu mana produk yang benar halal dan mana yang dihalalkan. Jangan sampai kita tertipu iklan apalagi terjebak perang promosi.

Oleh: Siti Rohmah, Sekretaris Umum Kohati HMI Komisariat Dakwah Walisongo Semarang, Nyantri di Pondok Pesanten Ibnu Hajar (PPIH) Ngaliyan, Kota Semarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *