Istimewa

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah MONASH INSTITUTE Semarang.

Bahwa belajar harus dilakukan sampai masuk liang lahad. Karena itu, bukan berarti orang yang sudah dikenal sebagai ‘alim (baca: ‘ulama’) atau cendekia lantas berhenti belajar. Justru karena status itulah mereka jadi kecanduan belajar. Santri abadi yang dimaksud pada judul di atas adalah orang yang tidak mengalami perubahan status menjadi kiai, berhenti pada satu titik yang tidak memungkinkan berubah dari sebagai murid menjadi mursyid, istilah yang dikenal dalam tarekat/tasawuf.

Selamanya hanya menjadi pengikut, karena tidak memiliki kemandirian secara intelektual/keilmuan, walaupun sudah belasan, bahkan puluhan tahun secara lahiriyah belajar (baca: mengaji). Dorongan untuk belajar dan/kemudian mengajarkannya bahkan datang dari Nabi Muhammad, dengan menegaskan: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an, dan/kemudian mengajarkannya.” Al-Ghazali juga memuji manusia kategori “rajulun yadrii wa yadrii annahuu yadrii, orang yang tahu dan dia tahu bahwa dirinya tahu”, karena ia memiliki kesadaran tentang tanggung jawab sosial untuk mengajarkan yang ia ketahui.

Namun, faktanya dari sekian banyak yang telah menjalani proses belajar, dengan menjadi santri atau murid, bahkan dalam waktu yang relatif lama untuk tidak mengatakan sangat lama, hanya sangat sedikit saja yang memiliki kualifikasi untuk mengajar. Sebenarnya bukan karena tidak bisa untuk memenuhi kualifikasi itu disebabkan kapasitas yang kurang. Namun, karena kesalahan metode yang dilakukan oleh banyak pendidik, sehingga para santri menjadi sekedar anggota jama’ah pengajian. Dengan kata lain, mereka menjadi santri abadi yang bahkan tidak pernah terlibat dalam pengkajian. Dalam istilah yang lebih sederhana dan luga, mereka hanya mengaji, tetapi tidak pernah beranjak kepada level mengkaji.

Ada dua faktor paling dasar yang menyebabkan murid tidak bisa “naik pangkat” menjadi guru, yaitu:

Pertama, tidak mendapatkan sentuhan optimal dari guru (ustadz, kiai, mursyid). Ini disebabkan oleh terlalu banyaknya murid di pesantren, sementara jumlah guru sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit pesantren yang pengajian di dalamnya diselenggarakan secara massal oleh kiai pemilik pesantren yang solitair. Kiai dianggap sebagai pusat segalanya. Mengikuti pengajian bahkan sering dianggap sebagai sarana tabarukan semata. Mengikuti pengajian dianggap sekedar untuk mendapatkan pahala mendatangi majelis ilmu, tanpa ada target untuk menguasai ilmu, apalagi mengembangkannya, agar lalu mengajarkannya.

Baca Juga  MENINGKATKAN DIRI MENJADI SOCIOPRENEUR

Pengaruh intensitas sentuhan secara langsung kepada murid sangatlah besar. Dan kemungkinan itu hanya bisa ada apabila jumlah murid tidak terlalu besar. Itulah sebab, negara-negara dengan rasio guru:murid yang besar, mendapat prestasi sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Finlandia misalnya, yang rasio guru:muridnya adalah 1:11. Bandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih besar. Problem inilah yang masih terjadi di pesantren. Dan itu pun masih ditambah dengan masalah model pengajaran yang feudalistis dan kualitas SDM santri.

Tidak ada sentuhan yang memadai menyebabkan berbagai implikasi, di antaranya adalah tidak menguasai ilmu alat, utamanya sharaf dan nahwu. Padahal jika tidak menguasai keduanya mustahil bisa memahami teks-teks Islam, baik al-Qur’an maupun hadits yang menjadi sumber utama, maupun kitab-kitab ulama’ salaf yang umumnya menggunakan bahasa Arab fushhah.

Mempelajari sharaf sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit. Namun, nampaknya telah terjadi kesalahan metode yang cukup fatal, sehingga menyebabkan sharaf dan juga nahwu dianggap sebagai momok yang sangat menjemukan. Karena diajarkan dengan tidak tepat, biasanya untuk bisa menguasai keduanya diperlukan waktu belajar yang sangat lama. Bahkan bisa 3 sampai 6 tahun dengan hasil yang tidak terukur dan tidak fungsional.

Kesulitan itu terjadi terutama karena pembelajaran sharaf tidak diseiringkan dengan praktek membaca teks kitab-kitab yang diajarkan. Sharaf dipelajari dengan menghafalkan pecahan-pecahan kata yang pada akhirnya menyebabkan kebosanan. Padahal, jika proses menghafal itu dilakukan secara bersama-sama atau berjama’ah, waktu sebulan pun sudah terlalu lama untuk santri usia di atas kelas III SD, apalagi SMP. Sebab, mereka sudah bisa diajak untuk memahami perbedaan antara tunggal (mufrad), dua (tatsniyah), dan plural (jama’). Bersamaan dengan itu, mereka mestinya diajak untuk memahami teks-teks Arab yang sederhana dengan memfungsikan hafalan-hafalan yang sesungguhnya berisi teori.

Al-Qur’an, terutama surat-surat yang berisi tentang kisah, walaupun tidak secara keseluruhan, misalnya QS. Hud, Yusuf, dan al-Qashash, bisa jadikan sebagai pilihan untuk mempraktekkan pelajaran sharaf dan juga nahwu. Dengan demikian, para santri belia langsung memahami bahwa manfaat yang mereka hafalkan itu adalah untuk memahami teks. Dan teks itu memberikan pemahaman yang hampir bisa dipastikan akan membuat mereka sangat tertarik. Sebab, dari bacaan itu, mereka mendapatkan cerita atau pemahaman baru yang akan membuat mereka terpicu untuk belajar dengan lebih semangat. Belajar kemudian menjadi kebutuhan tak ubahnya kebutuhan bermain. Cinta kepada ilmu akan lahir dari pemahaman ini, sehingga kesenangan kepada bermaian akan tergulung oleh kesenangan kepada belajar.

Baca Juga  Peran Santri dalam Politik dan Pembangunan

Jika ketertarikan membaca sudah tumbuh dan menguat, maka mereka akan bisa menyelami lautan ilmu Islam dengan tanpa rasa bosan. Bahkan akan mengalami kecanduan. Sebab, semakin dalam menyelam dalam samudra ilmu Islam, maka akan ditemukan mutiara-mutiara hikmah yang makin menakjubkan. Akibatnya, menyiakan sedikit saja waktu untuk aktivitas selain belajar menjadi terasa sebagai kerugian amat besar.

Kedua, tidak memiliki sarana latihan intelektual (intellectual exercize). Kajian keislaman meniscayakan kecerdasan linguistik verbal. Sebab, al-Qur’an terutama adalah kitab suci dengan gaya bahasa yang bernilai seni sangat tinggi yang sampai saat ini dan sampai kapan pun tak tertandingi. Karena itulah, kecerdasan bahasa sangat diperlukan. Tidak hanya menulis, tetapi juga berbicara. Dengan kata lain, seorang ulama’ haruslah fasih secara lisan dan tulisan.

Kemahiran menulis bisa dilatih secara mandiri dengan terus-menerus menuliskan apa saja yang dipikirkan secara kontinue. Bahkan, menulis seringkali membutuhkan suasana yang hening, terbebas dari keterhubungan dengan banyak orang. Sebab, mereka bisa saja malah mengganggu konsentrasi dalam berkontemplasi. Namun, sebaliknya kefasihan dalam berkata-kata memerlukan sparing partner berupa auidens untuk berinteraksi, baik berdialog untuk menajamkan argumen dan logika maupun sekedar tatapan mata yang menunjukkan ketertarikan kepada materi yang disampaikan, sehingga membuat pembicara menjadi lebih bersemangat.

Pengajian adalah wilayah mutlak guru berbicara. Sementara murid hanya menjadi pendengar pasif. Jarang sekali terjadi dialog apalagi perdebatan. Sebenarnya di pesantren ada istilah muhadlarah. Agenda ini diselenggarakan untuk sesama santri. Namun, yang bisa menjadi peserta dalam forum ini juga tidak banyak, karena hanya sedikit saja yang memenuhi kualifikasi untuk menyampaikan pandangan, disebabkan keterbatasan akses kepada kitab-kitab karya ulama’ besar. Apalagi kitab-kitab besar dengan jumlah berjilid-jilid. Tidak hanya kemampuan membacanya saja yang menjadi masalah dalam mengakses, tetapi juga kemampuan finansial untuk membelinya. Yang memiliki kitab-kitab itu hanyalah kiai-kiai besar saja.

Baca Juga  Muhammadiyah NU di RT Kami

Era internet telah menyebabkan perubahan sangat besar. Kitab-kitab besar yang sebelumnya hanya ada di perpustakaan, bahkan di ruang-ruang pribadi kiai, saat ini telah berada di ujung jari setiap orang yang memiliki HP android. Kitab-kitab tafsir yang biasanya menjadi rujukan utama ulama’ pesantren, seperti Ibnu Katsir, al-Thabari, al-Qurthubi, al-Baghawi, dan lain-lain bahkan sudah menyatu dengan al-Qur’an android. Karena itu, sesungguhnya semua orang memiliki kesempatan yang kian luas untuk melakukan lompatan tinggi untuk menjadi ulama’. Santri tidak lagi hanya bisa mengakses kitab tafsir Jalalain yang hanya satu jilid, sehingga menjadi kitab umum para santri, tetapi juga bisa mengakses kitab yang diakses para ulama besar, tanpa ada batas sama sekali. Jika sebelumnya hanya anak-anak kiai yang berpeluang besar, karena di rumah mereka ada kitab-kitab yang lengkap, kini anak siapa pun memiliki kesempatan yang sama. Hanya satu yang membedakan, yaitu adanya murid-murid yang bisa menjadi sarana intellectual exercize.

Anak-anak kiai bisa dengan sangat mudah mendapatkan kesempatan mengajar di pesantren, bahkan di luar pesantren, karena pengaruh orang tua. Sedangkan yang bukan anak kiai harus memulai dari awal atau dari nol. Namun, bukankah keberadaan kiai yang sekarang ini juga merupakan kelanjutan saja dari kiai yang memulai dari nol? Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali bahwa semua santri harus memulai.Semua harus menjalani proses sebagai santri yang benar dalam belajar, sehingga tidak membutuhkan waktu yang relatif lama untuk bisa mandiri secara intelektual dan berubah status menjadi ulama’-ulama’ baru untuk memperkuat kajian keislaman. Dengan demikian, pendidikan Islam akan bisa diakselerasi untuk mendapatkan kemajuan yang signifikan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang.

    Tim KKN MIT-9 UIN Walisongo Sukssekan Agenda Posyandu di Enam Dukuh Kalisari, Sayung, Demak

    Previous article

    Jamaah dan Meraih Sukses Bersama

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi