Abah Nasih, begitulah Para Mahasantri memanggil pengasuh sekaligus Guru Utama Rumah Perkaderan Monash Institute. Sebagai seorang cendikiawan muslim, Abah Nasih sangat elok dalam mempraktikkan sikapnya. Abah Nasih yang mengambil contoh dari manusia yang paling sempurna Muhammad bin Abdullah dalam membangun jamaah itu, tidak pernah patah semangat dan surut dalam membangun jamaah. Ditambah dengan kesadaran bahwa perkara jamaah juga ditegaskan dalam QS. An Nisaa’ ayat 103 “dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.”
Soal berjamaah ini, Sahabat Umar bin Khattab ra. juga berkata:
إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah, dan tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada (gunanya) kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.
Perkataan di atas dikutip dari Kitab ad-Darimi dan merupakan Atsar yang shahih, namun banyak kalangan yang keliru memahami Atsar tersebut. Dan akhirnya banyak kalangan yang menuntut pengikutnya untuk berjamaah serta berbaiat kepada pemimpin jamaahnya. Misalkan saja komunitas ISIS yang minta dibaiat, komunitas NII yang minta dibait, komunitas Ahmadiyah yang minta dibaiat, dan masih banyak jamaah lainnya yang minta dibaiat. sebab, semua merasa dan menginginkan klaim sebagai pemilik khalifah yang sah dan yang paling berhak dibaiat.
Lebih ekstrim lagi kalangan-kalangan itu berpendapat: jika belum melakukan baiat kepada mereka, maka dituduh kafir, karena mereka berpedoman pada Atsar Sahabat Umar bin Khattab dengan pemahaman yang salah. Seharusnya pemahaman Atsar di atas itu harus menggunakan pemahaman yang komprehensif. Pemahaman sesungguhnya, yaitu apabila seseorang menyatakan keislamannya, maka dia telah menyatakan keimanannya. Begitupun dengan Atsar di atas, peniadaan Islam berarti adalah peniadaan Iman. Sedangkan yang dimaksud peniadaan pada Atsar di atas bukan keseluruhan iman, namun hanya sebagian iman saja. sebab, iman itu bertingkat dan memiliki banyak cabang. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
عن أبي هُريرة رضي اللَّه عنه ، أنَّ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « الإيمَانُ بِضْع وسبْعُونَ ، أوْ بِضْعُ وَسِتُّونَ شُعْبةً ، فَأَفْضَلُها قوْلُ لا إله إلاَّ اللَّه ، وَأدْنَاها إمَاطةُ الأَذَى عنَ الطَّرِيقِ ، والحياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمَانِ » متفق عليه
Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah bersabda : “Keimanan itu ada tujuh puluh lebih, tiga sampai sembilan atau keimanan itu cabangnya ada enam puluh lebih, tiga sampai sembilan. Seutama-utamanya ialah ucapan La ilaha illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan apa-apa yang berbahaya semacam batu, duri, lumpur, abu kotoran dan Iain-Iain dari jalanan. Sifat malu adalah suatu cabang dari keimanan itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Seharusnya kalangan manapun tidak laik menarik pemahaman apabila hilang salah satu imannya, maka menjadi terhapus keseluruhan imannya dan akhirnya menjadi kafir dan bukan muslim. Memahami Atsar Sahabat Umar bin Khattab, itu apabila seorang muslim tidak berjamaah, maka tidaklah sempurna keimanannya, bukan menjadi kafir atu musyrik.
Dengan berjamaah seorang muslim dapat mencapai tingkat keimanan yang sempurna, maka berjamaahlah. Namun, banyak orang mengira bahwa dengan memisahkan diri dengan jamaah, atau bahkan dengan tidak berjamaah dan bergerak sendiri itu akan membuat capaian yang cepat dan melesat. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya, memisahkan diri dengan jamaah justru akan mempersulit seseorang untuk mencapai capaian yang cepat.
Contoh saja Grab yang mengakuisisi Uber, sehingga dia mampu menjadi decacorn pertama di Asia tenggara. Setelah menyatakan bergabung dengan Uber dan berhasil mengakuisisi platform dan sistem operasi Uber di delapan negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, Grab memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.
Lagi-lagi tentang pentingnya berjamaah, mengambil pelajaran dari kasus Nokia,yaitu salah satu perusahaan terdepan yang berinovasi dibidang teknologi yang sempat dipuncak keemasaan. Akan tetapi, karena sikap Nokia yang masih kekeh dan tetap menuai keuntungan dari Symbian, akhirnya Nokia pun ketinggalan dan lenyap. Walaupun Symbian diperbaiki, tetap saja Symbian tidak bagus, dan kalah dengan iPhone yang telah merevolusi industri smartphone dengan layar sentuhnya yang sangat inovatif.
Dari bergagai kasus di atas, Abah Nasih selalu menwanti-wanti kepada dirinya dan juga kepada anak didiknya agar tetap dalam bariasan jamaah. Meskipun peringatan sering Abah Nasih lontarkan kepada anak didiknya, namun, masih ada anak didik yang beranggapan bahwa dengan memisahkan diri dari jamaah dan bergerak sendiri akan menghasilkan capaian yang tepat dan cepat. Padahal, anggapan itu justru salah. Yang tetap dalam barisan jamaah justru mengalami hal-hal yang tidak terduga. Ada dua anak didik Abah Nasih yang memiliki standar kecerdasan yang setara. Akan tetapi, satu anak didik memutuskan untuk tidak melanjutkan belajar dan jumud dalam berkontibusi dengan berbagai alasan, baik memperbaiki ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Satunya lagi tetap belajar dan mengajar di rumah perkaderan.
Beberapa tahun kemudian, dua anak didik yang memiliki kecerdasan yang setara ini mengalami laju hidup yang berbeda. Anak didik yang memilih keluar dari shaf tidak megalami perbaikan ekonomi dan pendidikannya juga tidak meningkat. Sedangkan, anak didik yang masih beredar dalam atmosfer perkaderan justru mengalami hal yang sangat melejit, ia mampu menamatkan program pendidikan hingga pascasarjana, bahkan akan melanjutkan ke sekolah doktor. Begitulah yang terjadi, orang yang individualistik dan meninggalkan barisan, karena ingin dan mengira bisa lebih cepat. Namun, faktanya yang mereka dapat adalah lebih lambat.
Memang bertahan dalam jamaah bukanlah perkara yang mudah. Jamaah itu indah diibaratkan dengan kalung yang indah. Kalung itu indah saat sempurna melingkar dileher. Namun, untuk bisa melingkar indah dan meliuk di leher harus melewati proses yang menyakitkan, karena antara manik satu dengan manik yang lainnya harus direnteng dan ditusuk dengan jarum, dimasukkan senar dan kemudian diikat. Begitupun dengan jamaah, agar menjadi indah maka tahanlah sakit dan perihnya direnteng dan ditusuk. Maka nikmat dan indahnya berjamaah akan dapat dirasakan.
Jamaah itu saling Menanggung Renteng
Dalam rangka memperat jamaah dan meraih sukses bersama, Abah Nasih membangun sistem tanggung renteng kepada anak didiknya. Setiap anak didik masuk ke dalam kelompok tanggung renteng, dan di dalam kelompok taggung renteng tersebut antara anak didik satu dengan lainnya harus saling menanggung. Apabila ada anak didik satu atau dua yang sukses, maka ia memilki tanggung jawab untuk membuat orang lain sukses, kalaupun tidak sukses melampaui dirinya, minimal sama sukses seperti dirinya.
Dalam jamaah harus mewakafkan diri untuk saling menanggung renteng. Sekali lagi beliau mengingatkan dan menegaskan: “Mengusahakan Multiplier effect, usaha personal sangatlah kecil efeknya, harus dibangun struktur jamaah, agar yang kecil membesar tanpa batas.” Dan tetap optimalkan perjuangan dalam jamaah, meskipun saat ini kelihatan terbelenggu dan tertinggal. Percayalah! Perjuangan adalah modal besar dan daya besar untuk melakukan akselerasi dan melesat ke depan dengan senyuman dan keriangan. Dan semoga dengan jamaah akan muncul peradaban yang membanggakan.
Oleh: Uli Maghfiroh