Abah dan Komitmen Shalat Berjamaah

Istimewa

Tidak ada kenikmatan terbesar selain nikmat iman dan tidak ada agama yang sempurna kecuali Islam. Sesuai dengan kandungan dalam QS. al-Maidah ayat 3, yang penggalan ayat akhirnya sebagai berikut:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Salah satu ajaran Islam yang sempurna, yang sering disepelekan adalah shalat jamaah. Seringkali terdengar perdebatan mengenai hukum shalat berjamaah, apakah fardhu ‘ain, fardhu kifayah, atau sunnah muakkad. Perdebatan ini sebenarnya tidak perlu diperpanjang, karena esensinya menganggap shalat jamaah sebagai sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam, yang kalau dikerjakan akan mendapatkan pahala atau akan ada dampak positif dan signifikan bagi kehidupan kaum muslim.

Kita bisa belajar betapa shalat jamaah itu menjadi kebutuhan seorang muslim yang harus dipenuhi sekalipun dalam keadaan perang, sebagaimana Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya mengenai shalat khouf:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka denganmu.” (QS. al-Nisa’: 102)

Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya berjudul al-Shalat wa Hukmu Tarikiha menjelaskan bahwa ayat ini menujukkan wajibnya wajibnya shalat jama’ah. Menurutnya, Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah [dan hukum asal perintah adalah wajib yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi [dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat,perintahkan mereka shalat bersamamu”].

Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur, yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah, maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.

Jika dalam keadaan perang (takut) saja Allah memerintahkan umat Islam melaksanakan shalat dengan berjamaah, lalu bagaimana kalau dengan keadaan aman sentosa, tidak ada halangan suatu apapun? Tentu ini logika yang sangat masuk akal. Jika masih menganggap tidak wajib atau bahkan menyepelakan shalat jamaah, betapa jauhnya umat Islam sekarang dengan masa sahabat, sejak dalam pikiran (baca: pemahaman). Nastghfirullah.

Rasulullah sangat menganjurkan bagi umat Islam untuk shalat berjama’ah dan hal itu sudah Nabi terapkan sejak dulu bersama para sahabatnya. Pada waktu hijrah dari Mekah ke Madinah dengan ditemani shahabat beliau, Abu Bakar, Rasulullah s.a.w. melewati daerah yang disebut dengan Quba di sana beliau mendirikan Masjid pertama sejak masa kenabiannya, yaitu Masjid Quba. Selanjutnya, setelah di Madinah beliau juga mendirikan Masjid, tempat umat Islam melaksanakan shalat berjama’ah dan melaksanakan aktivitas sosial lainnya.

Abu Hurairah r.a. berkata: “Bersabdalah Rasulullah s.a.w.: “Seberat-berat shalat atas para munafiqin, ialah shalat ‘Isya dan shalat fajar (Shubuh). Sekiranya mereka mengetahui apa yang dikandung oleh kedua shalat itu, tentulah mereka mendatanginya, walaupun dengan jalan merangkak. Demi Allah sesungguhnya saya telah berkemauan akan menyuruh orang mendirikan jama’ah beserta para hadirin, kemudian saya pergi dengan beberapa orang yang membawa berkas kayu api kepada orang-orang yang tidak menghadiri jama’ah shalat, lalu saya bakar rumah-rumah mereka, sedang mereka berada di dalamnya””. (HR: Bukhari & Muslim).

Melihat hadis nabi di atas bisa ditarik benang merah bahwa shalat jama’ah itu sangat penting dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, Rasulullah SAW bersabda: “Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (H.R Bukhari Muslim dari Ibnu Umar ra).

Berpijak dari argumentasi yang rasional dan supra rasional berdasarkan teks suci Islam tersebut, Dr. KH. Mohammad Nasih, seorang guru yang akrab disapa oleh para santrinya dengan sebutan “Abah Nasih” mengajarkan dan menekankan untuk mengistiqamahkan shalat berjamaah, mengusahakan dengan segala kemampuan. Abah mengajarkan kepada para discipeles agar selalu berjamaah, bukan hanya dalam hal shalat tapi juga dalam melakukan aktivitas lain. Dengan berjama’ah semua hal akan terasa ringan, meskipun sesuatu itu sulit dan serasa mustahil untuk diwujudkan.

Abah menggambarkan tentang jama’ah itu bagaikan seseorang yang melubangi mutiara yang akhirnya akan menjadi perhiasan indah ketika dipakai. Meskipun melubanginya bukanlah hal yang mudah tapi ia yakin bahwa pada saatnya akan memberikan keindahan yang lebih baik. Nah, begitupun dengan jama’ah. Sangat berat dan sangat sulit dilakukan bagi orang-orang yang imannya belum kuat ataupun orang-orang yang masih mengedepankan rasa malasnya. Padahal apabila mereka tahu betapa besar pahala orang yang shalat berjama’ah pastilah mereka akan menunaikan shalat lima waktu berjama’ah  dengan istiqamah.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbir pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani di kitab Shahih Al Jami’ II/1089, Al-Silsilah al-Shahihah: IV/629 dan VI/314).

Begitu luar biasa pahala orang yang mau shalat berjam’ah. Namun, semua itu tidaklah mudah dan pasti butuh proses yang panjang lagi berat. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk selalu sabar dalam menjalankan shalat berjama’ah. Karena, jika orang tersebut tidak komitmen pasti akan susah diajak jama’ah. Sehari jama’ah sehari lagi tidak, itulah tanda atau ciri orang yang belum bisa komitmen.

Abah Nasih menerapkan konsep berjama’ah di Monash Institute dengan sangat ketat. Ia pernah mengatakan kepada para disciples, “Jika ada temanmu belum shalat jama’ah, maka jadilah imam atau makmum baginya, yang terpenting dia bisa shalat jama’ah. Meskipun kau harus memberinya upah.”

Adzan itu Panggilan untuk Berjamaah

Dewasa ini, sering muncul argumentasi guyonan yang sebenarnya tidak pas jika ditelisik lebih dalam, yaitu soal adzan. “Orang Hindu merasa paling dekat dengan Tuhan karena mereka memanggilnya ‘Om’. Orang Kristen apalagi, mereka memanggil Tuhannya dengan sebutan ‘Bapak’. Orang Islam? Boro-boro dekat, manggil Tuhannya aja pakai Toa.” Itulah candaan yang sering diumbar di pengajian-pengajian umum. Kalau ini hanya sebatas candaan tentu tidak perlu ditanggapi serius, juga tidak bisa dijadikan dasar untuk menyikapi sikap keberagamaan umat Islam.

Menurut Abah, telah terjadi miskonsepsi umum, seolah-olah adzan menggunakan toa atau speaker itu digunakan untuk memanggil atau berkomunikasi dengan Allah. Padahal, jelas bahwa adzan adalah tanda masuk waktu shalat sekaligus memanggil umat Islam untuk shalat berjamaah di masjid. Benar bahwa adzan adalah tanda memasuki waktu shalat, tetapi apakah hanya sebatas itu? Misalnya, ada adzan lalu shalat sendiri di rumah? Mari kita cari tahu jawabannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».

Wahai Rasulullah, saya  tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama’ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun  ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya,“Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab,”Ya”. Rasulullah bersabda,”Penuhilah seruan (adzan) itu.

Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».

“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.”

Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan bahwa laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena  dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya.

Beberapa hadis itu tampak menjelaskan firman Allah swt:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ (42) خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ (43)

Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera .” (QS. Al Qalam [68]: 42-43)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menghukumi orang-orang tersebut pada hari kiamat. Mereka tatkala itu tidak bisa sujud karena ketika di dunia mereka diajak untuk bersujud (yaitu shalat jama’ah), mereka pun enggan. Jika memang seperti ini, maka ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan mendatangi masjid yaitu dengan melaksanakan shalat jama’ah, bukan hanya melaksanakan shalat di rumah atau cuma shalat sendirian. Yang dimaksud dengan memenuhi panggilan adzan (dengan menghadiri shalat jama’ah di masjid).

Demikian pula yang diajarkan Abah Nasih kepada santri-santrinya. Kepada santri-santri yang sedang KKN di Planet NUFO, Abana menegaskan: “Kalian boleh berkerja dan belajar siang malam, tetapi kalau sudah terdengar suara adzan, tinggalkan segala perkerjaan dan penuhi panggilan shalat itu.” Perintah ini tidak hanya mengalir untuk para santrinya, tetapi komitmen itu telah tertancap di dalam diri Abah Nasih. Dalam keadaan apapun, termasuk keadaan luar biasa, misalnya di stasiun atau bandara, Abah berusaha untuk jamaah dengan mencari orang yang belum shalat untuk diajak shalat berjamaah. Ini bukan melebih-lebihkan, melainkan penulis merasa malu belum bisa sepenuhnya mengikuti apa yang Abah ajarakan dan lakukan itu.

Jamaah memang mengajarkan kita untuk disiplin memprioritaskan Tuhan di atas segalanya yang ada di dunia. Selain itu dengan jama’ah juga mengandung pelajaran agar kita tidak menjadi orang yang individualis. “Memang tidak mudah untuk istiqamah dalam jamaah dan jamaah tidak akan bisa dilakukan kecuali hanya orang-orang yang berkomitmen”, begitulah kata Rasulullah. Selalu dengan memberikan contoh hidup dengan konsep jamaah. Jika seseorang mampu shalat berjamaah dengan konsisten dan tepat waktu maka tidak dapat dipungkiri jika orang tersebut juga akan mudah diajak untuk berjamaah dalam melakukan hal-hal yang lain. Karena rasa individualisnya semakin berkurang.  Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Oleh: Diah Inarotul Ulya, Disciple 2016 Monash Institute, Wakil Sekretaris Umum PW Corps GPII Putri Jawa Tengah

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *